Padahal saat ini, mungkin hanya tinggal Indonesia saja, sekali lagi, HANYA TINGGAL INDONESIA SAJA, satu-satunya negara di dunia dimana ummat Islam-nya masih tetap belum juga bersepakat dan bersatu dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
***
Insya Allah akan terjadi perbedaan lagi antar kaum Muslimin Indonesia dalam mengawali puasa Ramadhan 1433 ini, antara tanggal 20 dan 21 Juli 2012. Meskipun, dan ini yang menggembirakan, perayaan idul fitri-nya nanti, hampir bisa dipastikan insya Alllah akan terjadi secara seragam, serempak dan kompak, pada tanggal 19 Agustus 2012.
Prediksi nyaris pasti akan terjadinya perbedaan awal Ramadhan tahun ini, disebabkan karena saat matahari terbenam pada hari Kamis 29 Sya’ban nanti, yang bertepatan dengan 19 Juli 2012, menurut para ahli hisab, hilal (bulan) berada pada posisi yang “sangat tidak aman”. Dimana ketika itu hilal sudah wujud (ada/muncul) di atas ufuk (horizon), namun disepakati belum memungkinkan untuk bisa dirukyat (dilihat), karena ketinggiannya memang masih kurang dari 2 derajat.
Nah, dengan posisi hilal seperti itu, para pencetus sekaligus penganut madzhab hisab hakiki wujudul hilal (penentuan bulan baru berdasar wujud-nya hilal diatas ufuk seberapapun kadar ketinggiannya), telah menetapkan dan memutuskan bahwa, hari Jum’at 20 Juli 2012 sudah merupakan hari pertama puasa Ramadhan 1433. Sementara itu, dengan hasil hisab yang sama tentang posisi hilal, para pengikut madzhab rukyat dan juga madzhab hisab imkan rukyat (penentuan bulan baru berdasar wujud-nya hilal diatas ufuk pada ketinggian yang telah memungkinkan untuk bisa dilihat), tentu saja sama-sama menetapkan keharusan istikmal (penggenapan) bulan Sya’ban 30 hari. Sehingga dengan demikian, awal puasa Ramadhan, menurut mereka yang merupakan jumhur (mayoritas ummat), baru akan jatuh pada hari Sabtu-nya 21 Juli 2012.
Adapun prediksi yang juga hampir pasti akan terjadi, yakni tentang kesamaan dan kebersamaan dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri 1433, adalah karena pada saat maghrib hari Jum’at 17 Agustus 2012, yang bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan bagi yang memulai puasa tanggal 20 Juli 2012, di seluruh wilayah Indonesia, hilal disepakati masih berada di bawah ufuk atau belum wujud. Sehingga dengan begitu, semua pihak pasti sepakat satu kata bahwa, hari Sabtu18 Agustus 2012 masih merupakan hari terakhir puasa Ramadhan bagi semuanya, meskipun dengan perbedaan umur atau jumlah hari Ramadhan-nya. Karena bagi jumhur (mayoritas) Muslimin yang mengawali puasa tanggal 21 Juli 2012, hari terakhir itu adalah hari ke-29 mereka berpuasa Ramadhan. Sedangkan bagi ummat yang memulainya lebih dulu sehari, yakni tanggal 20 Juli 2012, akhir Ramadhan tersebut merupakan hari ke-30 puasa mereka. Jadi dengan kondisi tersebut, insya Allah Idul Fitri 1 Syawal 1433 akan seragam jatuh pada hari Ahad 19 Agustus 2012.
Dengan pemaparan singkat diatas, yang tampak bahwa, perbedaan yang selama ini sering terjadi diantara kaum Muslimin di negeri ini dalam memulai puasa Ramadhan dan berhari raya, adalah karena perbedaan metode penetapan bulan baru, antara madzhab rukyat dan hisab. Tapi sebenarnya penyebab utamanya bukanlah itu. Karena terbukti dengan keadaan atau kondisi yang sama atau serupa, ternyata ummat Islam di luar Indonesia yang juga beragam-ragam madzhabnya, tetap bisa selalu sepakat bersama-sama dalam mengawali puasa Ramadhan dan dalam berhari raya.
Jika begitu, lalu apa sejatinya faktor penyebab itu di sini, di negeri mayoritas Muslim ini?
Tidak lain dan tidak bukan, adalah karena yang masih lebih diutamakan, dikedepankan dan dimutlakkan disini adalah cara, metode dan madzhab penentuan awal bulan yang diikuti oleh masing-masing, antara rukyat dan hisab, atau antara rukyat lokal dan rukyat global, atau antara hisab imkan rukyat dan hisab hakiki wujud hilal. Sedangkan bagi jumhur ulama dan Muslimin di dunia, dalam hal puasa Ramadhan dan hari raya, yang lebih diprioritaskan, dikedepankan dan dimutlakkan adalah prinsip kebersamaannya. Adapun cara, metode dan madzhab penentuan, maka sepakat disikapi sebatas sebagai wasilah dan sarana yang bersifat relatif, dan yang harus bisa ditoleransikan serta dikompromikan!
Saya tidak ingat benar kapan tepatnya pertama kali menulis dan atau concern berpromosi tentang tema ini. Yakni tema tentang seruan persatuan Ummat terkait dengan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul ‘Adha. Yang jelas, sejak beberapa tahun terakhir, dan insya Allah seterusnya, wallahu a’lam, sampai kapan, dalam berbagai forum, saya selalu mengangkat topik ajakan penyatuan dan persatuan Ummat ini pada setiap momentum menjelang Ramadhan dan dua hari raya. Dengan satu target dan harapan, semoga segera terwujud sebuah pola kesepakatan tertentu antar seluruh komponen Ummat Islam bersama Pemerintah, yang akan menjamin selalu terjadinya kesatuan dan persatuan serta kesamaan dan kebersamaan, secara by design dan bukan sekadar by accident, dalam mengawali setiap puasa Ramadhan, dalam mengakhirinya dan dalam berhari raya.
Namun, mengapa masalah penetapan awal puasa Ramadhan dan hari raya jadi demikian penting dalam konteks harapan persatuan Ummat? Ya karena, menurut saya, memang disinilah antara lain terletak pertaruhan harapan besar itu. Sebab terwujudnya persatuan dan kebersamaan dalam konteks ini semestinya dan seharusnya adalah yang paling dekat dan riil, dibandingkan dengan aspek-aspek lain. Dimana jika telah bisa dicapai kesepakatan yang membuat seluruh Ummat selalu bersama-sama dalam memulai puasa dan dalam berhari raya, maka berarti terjadinya persatuan dan kebersamaan dalam hal-hal dan bidang-bidang lainpun, insya-allah semakin dekat. Adapun bila kesepakatan dan kebersamaan soal penetapan Ramadhan dan hari raya, yang sebenarnya di depan mata ini, ternyata masih juga sulit tercapai, seperti yang terjadi sampai detik ini, maka berarti harapan yang lebih besar akan terwujudnya persatuan dan kebersamaan Ummat Islam di negeri ini dalam berbagai aspek lainpun, lebih jauh lagi dan lagi!
Tapi bagaimanapun harapan tetap tidak boleh redup. Kita tetap tidak boleh berputus asa. Ya, kita tetap wajib terus dan terus berharap seoptimis mungkin – dan sekaligus berupaya riil – akan terjadinya kesepakatan dan persatuan itu suatu saat. Yakni melalui pola kesepakatan dan kesefahaman tertentu atas dasar semangat toleransi dan kompromi, yang akan menjamin selalu terwujud dan terjadinya kebersamaan indah yang didamba-damba itu. Dan semoga itu tidak jauh dan tidak lama. Karena secara syar’i (menurut syariat) dan waqi’i (tuntutan realita), memang semestinya ummat Islam di Indonesia selalu bersepakat dan bersatu serta bersama-sama dalam mengawali shaum Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha. Disamping memang sangat mungkin dan dekat sekali realisasinya, hal itu adalah juga merupakan tanggung jawab dan kewajiban kita bersama. Setidaknya karena tiga alasan:
Pertama, shaum Ramadhan dan ‘Idain (dua hari raya) adalah ibadah-ibadah dan momen-momen syi’ar kebersamaan (sya’aa-ir jamaa’iyyah), dimana semestinya seluruh kaum Muslimin selalu memulai puasa secara bersama-sama, mengakhirinya secara bersama-sama, dan bergembira dalam merayakan ‘Iedain juga secara bersama-sama, dan tidak sendiri-sendiri atau masing-masing. Tentu itu khususnya atau minimal dalam satu negara atau wilayah tertentu. Itulah tuntunan syariat Islam berdasarkan hadits-hadits dan praktik ummat Islam sejak generasi salaf dan seterusnya sepanjang sejarah panjang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Ash-shaumu yauma tashuumuun, wal-fithru yauma tufthiruun, wal-adh-haa yauma tudhahhuun” (Puasa Ramadhan adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama berpuasa. Idul Fithri adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Fitri. Dan ‘Idul Adha adalah juga pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Adha) (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani).
Oleh karena itu kita tidak menemukan dalam sejarah Islam adanya perbedaan dalam berpuasa Ramadhan dan berhari raya dalam satu wilayah, satu kota, satu kampung, apalagi dalam satu rumah, sebagaimana yang terjadi disini saat ini. Yang pernah terjadi semenjak masa sahabat hanyalah perbedaan antara wilayah yang berjauhan, seperti yang kita dapati dalam hadits Kuraib (HR Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi) dimana Ibnu ‘Abbas dan para sahabat di Madinah menetapkan Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan hasil rukyat khusus di Madinah yang berbeda dengan hasil rukyat Khalifah Mu’awiyah dan kaum Muslimin di Syam. Sehingga dengan demikian, untuk saat ini tentu saja ditolerir jika perbedaan itu terjadi antar negara di dunia. Tapi untuk masing-masing negara tidak semestinya hal itu masih juga terjadi.
Kedua, masalah perbedaan dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, adalah salah satu contoh masalah dimana adanya perbedaan (ikhtilaf) hanya ditolerir dalam hal metode dan cara penetapan di tingkat teori dan wacana saja. Tapi tidak ditolerir terjadinya perbedaan tersebut di tataran praktik dan realita serta implementasi di lapangan riil. Inilah yang kita tahu dan catat dari praktik imam-imam dan ulama-ulama berbagai generasi sepanjang sejarah ummat Islam. Dimana sejak dulu telah terjadi perbedaan dan perselisihan antar madzhab para imam dalam teori dan wacana penentuan, antara metode rukyat dan hisab, bahkan antara metode rukyat global dan rukyat lokal. Dimana sebagai konsekuensinya, tentu saja sangat logis jika terjadi perbedaan dalam hasil dan keputusan akhir. Namun ternyata perbedaan itu jika terjadi, hanya berhenti di tataran teori dan wacana saja, dan sama sekali tidak terlihat di tataran realita. Karena secara praktik dan fakta sejarah, para ulama, dan seluruh ummat bermakmum pada mereka, yang biasa berbeda secara teori dan dalam wacana, selalu saja bersepakat dan bersama-sama dalam mengawali puasa Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha, kecuali antar wilayah yang berjauhan.
Ketiga, kita ummat Islam di Indonesia, yang nota bene sebagai negara Muslim terbesar, rasanya patut malu, seraya berintrospeksi diri, karena bahkan dalam hal ibadah dan momen kejamaahan, kebersamaan dan persatuan seperti shaum Ramadhan dan dua hari raya inipun masih saja kita “bersikeras” untuk “memilih” berbeda-beda dan berselisih, serta belum siap atau “belum mau” bersepakat dan bersatu. Padahal saat ini, mungkin hanya tinggal Indonesia saja, sekali lagi, HANYA TINGGAL INDONESIA SAJA, satu-satunya negara di dunia dimana ummat Islam-nya masih tetap belum juga bersepakat dan bersatu dalam hal ini . Sedangkan ummat Islam lain di tiap negara di dunia, bahkan termasuk di sejumlah negara daratan eropa, umumnya telah bisa selalu bersepakat, bersatu dan bersama-sama dalam memulai shaum Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha.
Akhir kata, meskipun andai faktanya, sesuai prediksi dan bukan harapan, memang benar-benar kita masih belum bisa bersepakat, bersatu, dan bersama-sama, namun tetap saja perbedaan dan perselisihan yang terjadi harus tetap kita semua sikapi dengan arif, bijak, dewasa, dan proporsional. Dengan mengedepankan sikap toleransi terhadap pendapat lain, sesuai kaedah penyikapan terhadap setiap masalah khilafiyah. Sehingga tidak terjadi dampak-dampak yang lebih buruk lagi. Dan di saat yang sama, harapan tetap dan terus kita gantungkan pada rahmat Allah, lalu pada sikap hikmah para ulama kita, para tokoh kita, dan pada para pimpinan ummat Islam! Semoga Allah merahmati kita semua untuk bisa bertemu dengan bulan Ramadhan dengan pertemuan yang istimewa dan berbarakah, serta mampu menggapai taqwa nan istimewa pula di bulan penempaan diri yang mulia dan suci nanti. Aamiin!