Meski melakukan perintah Allah yang sulit, keluarga Nabi Ibrahim tetap taat pada Allah. Apa rahasianya?
Kisah keluarga Nabi Ibrahim adalah kisah ketaatan kepada Allah. Kisah melakukan apa saja demi ketaatan pada Allah. Diawali dari perintah Allah bagi Nabi Ibrahim untuk meninggalkan keluarganya di lembah Mekkah nan tandus.
Hajar, bertanya pada Nabi Ibrahim, “Apakah engkau akan meninggalkan kami di tempat yang tandus dan kering ini?”
Nabi Ibrahim tidak menjawab. Hajar terus bertanya tanpa henti. Ibrahim diam saja.
Hajar mengganti pertanyaannya,”Apakah Allah yang menyuruhmu meninggalkan kami di sini?” Demikian tanya Hajar.
Ibrahim menjawab, “Ya.”
Kata Hajar, “Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.”
Inilah keyakinan Hajar yang tangguh. Ketika memang benar perintah Allah, tidak ada jawaban selain laksanakan. Inilah sikap Hajar, istri yang shalehah. Hajar menjadi model dan inspirasi bagi istri muslimah, yaitu mendukung suaminya melaksanakan perintah Allah.
Tapi adakah yang menarik perhatikan kita dari dari dialog Hajar dan Ibrahim? Ada sesuatu yang menarik.
Dari dialog Hajar dan Nabi Ibrahim, kita bisa menangkap sesuatu yang mendorong Hajar tabah dan tegar. Perhatikan jawaban Hajar saat bertanya pada Ibrahim, “Apakah Allah memerintahkanmu?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar menjawab, “Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.” Dalam kata lain, “Kalau begitu Allah tdk meninggalkan kita.”
Ada keyakinan yang teguh di dada Hajar, hingga dia tabah menjalankan perintah. Ada iman yang kuat di dadanya. Iman yang ada di dada menjadi pondasi yang kuat bagi bangunan ketaatan. Tanpa ada iman, mustahil bisa taat. Iman inilah yang membuat manusia mau taat pada Allah. Mengenal Allah, lalu yakin dan percaya. Inilah iman.
Hajar yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang taat. Tidak meninggalkan orang yang taat pada perintahNya. Berangkat dari keyakinan itulah, Hajar mau melaksanakan perintah Allah, mau ditinggalkan di lembah tandus.
Sudahkah kita sadar bahwa ketaatan bukanlah sebuah kondisi kebetulan, tanpa ada ada iman? Ada keyakinan pada Allah di balik ketaatan. Ada iman. Maka bagaimana keyakinan kita kepada Allah?
Kisah ketaatan dimulai dengan membangun keyakinan pada Allah di dada. Keyakinan, bukan pengetahuan. Keyakinan bukanlah pengetahuan yang ada di kepala, bukan sekedar kognitif. Tapi lebih dari itu.
Iman pada Allah, itulah yang mendorong Nabi Ibrahim dan Ismail untuk patuh pada Allah saat ada perintah menyembelih. Nabi Ismail jadi Inspirasi bagi pemuda muslim, saat mengatakan, “Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan padamu. Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Begitu kata Nabi Ismail. Lihat QS As Shaaffat ayat 102.
Perintah Allah nampak berat untuk dilaksanakan. Tapi Iman pada Allah membuatnya ringan. Maka yang harus kita bangun adalah pondasi iman yang ada di dalam dada. Inilah yang harus kita prioritaskan. Ketika hati sudah beriman bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amalan, akan memberi pahala, maka jiwa akan tergerak.
Pertanyaan besar, bagaimana membangun iman di dada agar kokoh? Jawabnya ada pada doa Nabi Ibrahim pada QS Ibrahim 37, “Ya Allah, agar mereka mendirikan shalat.”
Ya, membangun iman di dada adalah dengan shalat. Begitulah yang dilakukan oleh para Nabi. Termasuk Nabi Muhammad, yang membina diri dan sahabatnya dengan shalat. Membangun iman di dada.
Shalat mengandung bacaan-bacaan yang membangkitkan iman. Inilah yang membuat iman bertambah. Shalat dilakukan setiap hari, bahkan ditambah dg shalat sunnah, karena memang jiwa perlu di-charge, sebagaimana HP.
Saat kita shalat, kita menambah iman di dada. Tapi mengapa kita tidak merasa iman bertambah setelah shalat? Mengapa kita tidak merasakan adanya tambahan iman setelah shalat?
Ada pertanyaan yang akan menjawab pertanyaan di atas , sudahkah kita shalat dengan benar? Jangan-jangan kita tidak melakukan shalat dengan benar, akibatnya, shalat tidak menambah iman kita. Jangan-jangan kita masih belum menyerap iman yang ada pada bacaan shalat. Akibatnya shalat tidak menambah iman kita. Ketika iman tak bertambah, jiwa pun akan kelaparan. Kita mencari makanan jiwa dari sumber lain, padahal di depan mata kita ada sumber iman yang tak pernah habis.
Sampai kapan kita membiarkan jiwa kita meranggas, tak mendapat tambahan asupan iman? Mari kita perbaiki shalat kita, agar bisa menambah iman dalam dada. Tambahan iman berarti sukses dalam hidup. Memberbaiki shalat adalah jalan pintas menuju sukses dalam hidup. Memperbaiki shalat adalah jalan pintas menuju perbaikan hidup dari segala sisi.
Ustadz Syarif Ja’far Baraja