Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman Alu Sa’ud (bahasa Arab: فيصل بن عبدالعزيز آل سعود), dikenal dengan sebutan Malik Faishal (Raja Faishal), dan selaku penasehat pada masa jabatannya adalah Mufti pertama Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Faishal lahir di Riyadh pada tahun 1906 dan merupakan anak keempat Raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman Alu Sa’ud, Raja pertama dari kalangan Bani Suud yang memproklamirkan berdirinya Negara Monarki Arab Saudi. Ia memiliki darah keturunan Bani Tamim dari pihak ayah maupun ibunya, dan ia pun juga adalah seorang keturunan Suku Quraisy. Wafat pada tahun 1975.
Dalam didikan keluarga dan ulama-ulama disekitarnya, Pangeran Faishal pun tumbuh sebagai anak yang baik dalam pendidikan kerohaniannya, bahkan ia sudah mampu menghafal Al-Qur’an dalam usia yang masih sangat muda. Di masa remajanya, tepatnya diusia 16 tahun, Pangeran Faishal diangkat menjadi panglima perang dan diberi kepercayaan memimpin sebuah ekspedisi untuk memadamkan pemberontakan sebuah suku di wilayah Asir, Hijaz bagian selatan.
Pengalaman militernya kembali digembleng diusia 19 tahun, ketika diberi kepercayaan mengomandani sebuah pasukan untuk merebut Jeddah dari suku Hasyimiyah yang berhaluan Syi’ah Zaidiyah yang seringkali membuat makar melawan Pemerintah di Hijaz.
Pada tahun 1932, Raja ‘Abdul ‘Aziz pun memproklamirkan berdirinya Negara Monarki Arab Saudi dengan Raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman sendiri sebagai Raja pertama pasca peresmiannya ini. Pada tahun ini pula, Pangeran Faishal diberi jabatan sebagai Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Pada sebuah pidato kenegaraannya dalam sebuah konferensi KTT Perdamaian dikota Versailles, Perancis, kharismanya berhasil memukau delegasi-delegasi negara asing yang hadir dalam konferensi tersebut.
Pangeran Faishal mencapai prestasi puncaknya dalam bidang militer pada tahun 1934, setelah beliau berhasil merebut pelabuhan Hoderida dalam waktu yang relatif singkat dari kekuasaan Negara Yaman Sekuler yang mana waktu itu Negara Yaman Sekuler dibantu oleh militer Kerajaan Inggris.
Setelah PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengeluarkan resolusi pemecahan Palestina untuk pendirian negara Israel, Pangeran Faishal pun mendesak Raja ‘Abdul ‘Aziz untuk memutuskan hubungan diplomasi dengan Amerika Serikat yang menjadi salah satu pencetus resolusi tersebut, namun permintaannya ditolak oleh Raja ‘Abdul ‘Aziz karena masih adanya hubungan timbal balik diantara kedua negara tersebut waktu itu. Selepas Raja ‘Abdul ‘Aziz tersangkut kasus skandal keuangan yang menyebabkannya turun tahta, maka Pangeran Faishal pun dilantik menjadi pemerintah sementara menggantikan ayahnya yang tengah diasingkan keluar negeri oleh keluarganya. Dan pada tanggal 2 November tahun 1964, Pangeran Faishal pun resmi dilantik sebagai Raja kedua Arab Saudi menggantikan Raja ‘Abdul ‘Aziz dengan gelar Malik Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Sa’ud.
Raja Faishal dikenal sebagai pemimpin yang shalih dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya, banyak sekali program-program baru yang dicanangkannya selepas penobatannya sebagai kepala negara. Beberapa diantaranya adalah:
- Pada tahun 1967 Raja Faishal menggalakkan program penghapusan perbudakan, program ini ia lakukan dengan membeli seluruh budak di Arab Saudi dengan kas pribadinya hingga tak tersisa satupun budak yang dimiliki seorang majikan di negara itu, bahkan ada budak yang ia beli itu memiliki harga sangat mahal (dengan nilai mata uang dimasa itu), yaitu 2.800 dollar. Kemudian ia bebaskan budak-budak yang dibelinya tersebut dan dilanjutkan dengan pemberlakuan aturan tentang pelarangan adanya perbudakan di Arab Saudi untuk selamanya.
- Raja Faishal juga melakukan penyederhanaan gaya hidup keluarga kerajaan serta melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil mewah Cadillac milik istana, dana dari hasil program diatas salah satunya terealisasi pada pembangunan sumur raksasa hingga sedalam 1.200 meter sebagai tambahan sumber air rakyat untuk dialirkan pada lahan-lahan tandus disemenanjung Arab.
- Pada tahun yang sama dengan pencanangan program penghapusan perbudakan, Raja Faishal menyerukan Agresi melawan Israel dalam rangka pembelaannya terhadap tanah suci Al-Quds (Yerusalem) dan menghentikan Israel dari program pemekaran wilayah negaranya atas daerah-daerah disekitarnya. Seruan ini dijawab positif oleh Mesir dan Syria yang kemudian tiga negara ini membentuk koalisi militer melawan Israel yang pada saat itu diback-up secara besar-besaran dalam modal dan persenjataan oleh sekutunya, Amerika Serikat.
Dalam seruan khutbah Jihadnya melawan Israel, Raja Faishal berdo’a dihadapan khalayak agar Allah menetapkan kematiannya diterima Allah sebagai orang yang terbunuh dijalanNya (Syuhada). Ia juga berdo’a agar Allah bersegera mencabut nyawanya apabila ia tak mampu membebaskan tanah suci Al-Quds (Yerusalem) dari cengkeraman Israel dalam perang yang akan terjadi saat itu.
Seruan Jihad Monumental dari Raja Faishal untuk Bebaskan Al-Aqsha!
Petikan pidato legendaris Raja Faishal Abdul Aziz yang menggetarkan dunia Islam:
“Saudara-saudaraku, apa yang kita tunggu? Apakah kita mau menunggu nurani dunia? Dimanakah nurani dunia itu?
Sesungguhnya Al-Quds yang mulia memanggil kalian dan meminta tolong kepada kalian, wahai saudara-saudara, agar kalian menolongnya dari musibah dan apa yang menimpanya. Apa yang membuat takut kita? Apakah kita takut mati? Dan adakah kematian yang mulia dan utama dari orang yang mati berjihad di jalan Allah.
Wahai saudaraku kaum muslimin, kita semua harus bangkit! demi kebangkitan Islam, yang tidak dipengaruhi oleh kesukuan, kebangsaan, dan juga partai. Tapi dakwah Islamiyah, seruan kepada jihad fi sabilillah, di jalan membela agama dan akidah kita, membela kesucian kita.
Dan aku berharap kepada Allah, jika menetapkan aku mati, maka tetapkanlah aku syahid fi sabilillah.
Saudaraku,
Maafkanlah aku, agar kalian tidak menuntutku. Karena sesungguhnya ketika aku berteriak, masjid mulia kita dihinakan dan dilecehkan, dipraktekkan di dalamnya kehinaan, kemaksiatan, dan penyimpangan moral.
Sesungguhnya aku berharap kepada Allah dengan ikhlas, jika aku tidak mampu melaksanakan jihad, tidak mampu membebaskan Al-Quds … agar dia tidak menghidupkan aku setelah ini..”
Pada awalnya pasukan koalisi Arab (kaum Muslimin) berada diatas angin dan menguasai pertempuran dengan mudah, setelah pasukan koalisi Arab dari negara Mesir berhasil memukul mundur pasukan Israel dari Syam dan berencana masuk ke wilayah negara Israel untuk memperkuat Al-Quds, tiba-tiba Amerika Serikat mengumumkan pernyataan ancaman terhadap Mesir tentang akan terjadinya pembantaian besar-besaran atas rakyat Mesir oleh Amerika jika Mesir nekat masuk ke wilayah Israel. Maka dalam rangka menyelamatkan negara dan rakyatnya, Gamal Abdul Nasir selaku pemimpin Mesir waktu itu pun menarik mundur pasukannya dan mengurungkan niatnya masuk ke wilayah Israel.
Raja Faishal yang mendengar intimidasi itupun marah dan menyerukan perang secara ekonomi melawan Amerika, yaitu dengan mengembargo ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika. Negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (N.A.T.O) yang tadinya mendukung Amerika pun berbalik diam dan meninggalkan dukungannya atas Amerika dikarenakan takut terkena embargo besar Raja Faishal tersebut. Akibat dari embargo tersebut atas Amerika Serikat adalah lumpuhnya sektor industri dan transportasi, bahkan perekonomiannya menjadi kacau hingga mengalami krisis berkepanjangan yang diperkirakan baru bisa pulih selama sepuluh tahun kedepan (sejak dimulainya embargo).
Untuk mengatasi krisis Presiden AS Richard Nixon sampai turun tangan langsung. Ia segera mengunjungi Raja Faishal di negaranya pada bulan Juni 1974 dan memintanya menyerukan penghentian embargo minyak dan perang Arab-Israel. Dengan penuh izzah Raja Faishal berkata, “Tidak akan ada perdamaian sebelum Israel mengembalikan tanah-tanah Arab yang dirampas pada tahun 1967!” Alhasil Nixon pulang ke negaranya dengan tanpa hasil. Penolakan itu jelas membuat Amerika merasa geram. Diam-diam mereka merencanakan sebuah operasi untuk menyingkirkan Raja Faishal.
Pada tanggal 25 Maret 1975, Raja Faishal wafat pada tahun itu karena dibunuh. Pembunuhnya adalah keponakannya sendiri, yaitu Faishal bin Mus’ad yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Mus’ad menyamar sebagai delegasi Kuwait yang ingin bertemu Raja Faishal secara mendadak. Pada saat Raja Faishal berjalan ke arahnya untuk menyambut, maka Faishal bin Mus’ad pun tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol dan menembakkannya ke tubuh Raja Faishal sebanyak tiga kali. Dari luka tembak tersebut, Raja Faishal kehabisan darah menghembuskan nafas terakhirnya tak lama setelah itu. Dari hasil penyidikan dan interogasi yang dilakukan, Faishal bin Mus’ad mengaku bahwa pembunuhan itu atas dasar inisiatifnya sendiri, selain teori konspirasi yang berhembus di masyarakat, petugas pun mencurigai adanya kerusakan mental pada Faishal bin Mus’ad. Akhirnya tak lama setalah itu, Ibnu Mus’ad (nama panggilan Faishal bin Mus’ad) itupun dihukum qishash (bunuh) dihadapan khalayak.
Semoga Allah merahmati Raja Faishal dan menempatkan beliau ditempat yang mulia bersama para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.