Ketika banyak orang mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan pelatihan, saya justru menganggap bulan Ramadhan adalah bulan keringanan.
Maaf jika anggapan saya terbalik dengan orang kebanyakan, tapi saya tidak sedang memaksakan diri untuk selalu berbeda agar disebut orang unik atau kreatif. Apa yang saya rasakan mengenai bulan Ramadhan adalah betul-betul jujur bahwa bulan Ramadhan adalah bulan keringanan.
1. Ramadhan Sebagai Bulan Cutinya Syetan
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Jika malam pertama Romadhon datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup…” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (682), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1642). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1960)]
See? Betapa mudahnya kita menjalankan ibadah saat bulan suci. Bukan maksud saya menyepelekan ibadah, hanya memastikan bahwa Allah tak akan menyulitkan hamba-Nya, termasuk dalam hal ibadah.
Saat bulan Ramadhan, kita tak perlu lagi repot melawan setan. Kita hanya perlu memerangi hawa nafsu. Walaupun begitu, memang hawa nafsu lebih kuat daripada setan. Hal inilah yang menyebabkan kita bisa menyaksikan ketika bulan Ramadhan masih saja ada orang yang asik berbuat maksiat. Mungkin gambar dibawah ini bisa sedikit memperjelas.
Mungkin karena itu Nabi Muhammad saw pernah bersabda yang kurang lebih:
“Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar.”
Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah?”
Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi) *ket
Mengapa melawan hawa nafsu? Bukan peperangan melawan setan? Padahal dalam Al-Quran, Setan tetap di sebut setan misalnya dalam Q.S. Fatir ayat 6 “Sesungguhnya syetan itu musuh kalian, maka jadikanlah dia musuh, sesungguhnya syetan itu menggoda agar kalian menjadi penghuni neraka.”
Mungkin setan memang musuh yang nyata, tapi peperangan terbesar kita bukan melawan musuh, tapi melawan nafsu yang ada di diri kita masing-masing (setidaknya itulah yg dirasakan penulis pribadi ^^).
2. Dukungan Untuk Beribadah Sangat Kuat
Ketika Ramadhan, orang jahat menjadi baik, orang baik semakin baik, orang pelit jadi dermawan, yang dermawan semakin rupawan (eh ga nyambung ya?).
Acara televisi yang tadinya sinetron tampar-menampar, jadi sinetron salam-salaman. Tadinya acaranya aneh-aneh, jadi penuh ceramah.
Pakaian wanita-wanita mendadak tertutup, tempat hiburan malam tutup, rumah makan tutup di siang hari, hidangan berbuka tersedia di setiap masjid, jam kerja kantor dikurangi, bos jadi jarang marah-marah.
Bedakan ketika berpuasa sunah di bulan lainnya, orang sekitarnya bebas makan dan minum, acara televisi aneh-aneh, rumah makan wangi semerbak, jadwal kerja tak ada kompensasi, hidangan berbuka beli sendiri (ga ada ta’jilan).
Jelas bahwa berpuasa sunah di bulan lain, jauh lebih berat daripada berpuasa di bulan Ramadhan.
3. Bonus Pahala Berlimpah
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda:
“Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Pahala di Bulan Ramadhan berlipat ganda. Satu kebaikan dibalas 10 sampai 700 kali lipat. Shalat yang sunah berpahala shalat wajib, yang wajib berlipat 70 kali.”
Subhanallah, siapa yang tidak mau beribadah di bulan Ramadhan? Bandingkan dengan amalan sunah di bulan lain? Tetap akan dianggap seperti sunah. Waulohu’alam, hanya Allah yang tahu pahala setiap ibadah. Tapi jika kita berpikir secara “bodoh-bodohan”, lebih untung mana, ibadah di bulan Ramadhan atau bulan yang lain?
Dari 3 poin di atas, jelaslah bahwa Ramadhan bukan bulan pelatihan.
Karena latihan yang baik, seharusnya lebih berat daripada event yang dilatihkan.
Seperti prinsip tentara, “Lebih baik bermandikan keringat di medan latihan, daripada bermandikan darah di medan pertempuran.”
Saya berkali-kali menerapkan prinsip ini dalam persiapan saya menghadapi berbagai perlombaan pramuka, ataupun melatih kontingen untuk sebuah perlombaan pramuka. Latihan yang kami laksanakan selalu lebih sulit, lebih menyebalkan dan lebih mengenaskan daripada perlombaan yang sesungguhnya. Dan ketika perlombaan yang sesungguhnya tiba, kami bisa tersenyum puas, lega, tenang dan sangat bergembira, karena kami bisa melewati perlombaan itu dengan sangat mulus, dan pada akhirnya kami berhasil meraih kemenangan.
Mungkin inilah yang dilakukan Nabi Muhammad. Beliau rajin melaksanakan puasa senin-kamis sepanjang tahun, kemudian pada bulan Rajab beliau meningkatkan intensitas puasanya, dan pada bulan Sya’ban beliau berpuasa hampir sebulan penuh.
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Saya tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956)
Rasulullah berlatih keras sebelum perlombaan dimulai, dan ketika perlombaan tiba, Allah meringankan perlombaan itu dengan berbagai keringanan seperti poin-poin yang saya bahas sebelumnya. Betapa senangnya hati Rasulullah. sampai-sampai beliau bersabda:
“Apabila umatku tahu akan keistimewaan Ramadhan niscaya mereka mengharap sepanjang tahun menjadi bulan Ramadan semuanya.”
Hingga pada saat hari kemenangan, Hari Raya Idul Fitri, beliau mampu meraih kemenangan yang telak, kemenangan yang penuh piala ampunan dan pahala. Menjadi pribadi pemenang yang hakiki.
Tentu kita bisa mencontoh Nabi Muhammad saw. karena tugas beliau memang menjadi suri teladan yang baik untuk kita.
So, mari kita tingkatkan latihan lebih keras di 11 bulan lain, kemudian berlomba meraih berbagai bonus pahala dan ampunan dalam bulan Ramadhan, dan pada akhirnya kita mampu meraih kemenangan yang memuaskan pada hari raya Idul Fitri.
Semoga kita tidak termasuk kaum yang sedih ketika akan datang bulan Ramadhan. Karena mereka lalai berlatih di bulan sebelumnya, sehingga tak siap menghadapi perlombaan di bulan Ramadhan. Mereka merasa berat menjalani ibadah puasa, padahal pada Bulan Ramadhan, segalanya telah diringankan untuk kita.
Sebuah keringanan yang diberikan Allah swt,
Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Wallohu’alam Bishawab
Ket:
Dalam banyak kitab dijelaskan bahwa ini bukanlah hadits shahih, sebagian mengatakan ini merupakan perkataan Ibrahim bin ‘Ablah.