Sudah hampir empat bulan saya dan teman-teman SGI3 penempatan Dompu, NTB, mencoba mengabdi. Berbagai shock culture telah kami temui dan lewati. Mulai dari bahasa, makanan, tempat tinggal, hingga budaya di masyarakat. Termasuk budaya siswa meliburkan diri dari sekolah pada Bulan Ramadhan. Oleh karena itu, memaintain siswa untuk berangkat ke sekolah pada Bulan Ramadhan menjadi PR utama untuk saya.
Sejak sebelum memasuki bulan ramadhan saya sudah sering mendengar keluhan para guru (sekaligus untuk meyakinkan saya) bahwa pada Bulan Ramadhan tidak ada siswa yang mau berangkat sekolah. Sekolah menjadi mati suri. Peraturan pemerintah yang meliburkan pada H-3 lebaran tetap harus dijalankan. Para guru datang tanpa ada siswa. ketika saya bertanya kenapa bisa begitu, para guru yang meyakinkan saya berkata anak-anak mengikuti siswa MI (sekolah swasta) yang libur pada bulan ramadhan. Selain itu, menurut hasil pengamatan saya seringnya tidak ada kegiatan di sekolah turut menjadi penyebab. Siswa datang ke sekolah, bermain, dan dua jam kemudian datang kepada guru untuk bertanya: “Ibu guru ule kelas dua?” (”Ibu guru pulang kelas dua?”, Bahasa Lombok). Jawaban guru yang biasanya menyatakan “Belum”, akan mendapat tambahan keluhan dari para siswa yang kemudian kembali bermain. Fenomena seperti ini terjadi secara merata, setidaknya di sekolah-sekolah yang saya temui di pelosok.
Saya memutuskan untuk mengadakan pesantren kilat. Mengirim surat pemberitahuan tetap sekolah kepada wali murid gagal dilaksanakan karena awal ramadhan bersambung dengan waktu liburan semester. Alhasil, saya menuliskan pengumuman jadwal masuk sekolah beserta kegiatan yang akan diikuti siswa di setiap papan tulis kelas. Setelah itu, saya kumpulkan dan menjelaskan pengumuman pada siswa yang hanya hadir 50 orang saja dari 144. Sambutan mereka luar biasa. Saat itu juga mereka saya minta pulang untuk membawa tikar dan perlengkapan shalat. Karena akan ada kegiatan wudhu setiap sebelum masuk kelas, kami (saya dan para siswa) menyepakati untuk ke sekolah memakai sandal selama pesantren kilat.
Rangkaian kegiatan pesantren kilat kami mulai dengan shalat dhuha, kemudian dilanjutkan dengan ceramah dari guru agama, kemudian mengaji. Kegiatan mengaji saya bagi ke dalam tiga kelompok. yang pertama kelompok Iqra’, kelompok Al-Quran, dan kelompok khataman. Kelompok khataman terdiri dari siswa-siswa yang sudah lancar membaca Al-Quran dan menargetkan satu kali khatam pada bulan ramadhan ini. Metodenya bergiliran membaca satu ayat sambil duduk melingkar, sementara kelompok yang lain di bimbing oleh para guru. Saya juga menargetkan para siswa hapal surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan Al-Kautsar. Metode pembelajaran cooperative learning sangat efektif dalam praktek hapalan surat pendek ini, dimana siswa yang sudah hapal mengajari teman/adik kelas yang belum hapal. Shalat dhuha setiap pagi dengan suara dikeraskan juga sangat membantu siswa kelas rendah untuk cepat menghapal.
Satu minggu pertama, kedatangan siswa terus meningkat hingga mencapai hampir 80 orang. Walaupun demikian, tetapi masih ada yang menyangsikan kedatangan siswa di minggu selanjutnya. Minggu kedua, kedatangan siswa menurun kembali seperti di awal ramadhan. Tetapi saya tetap optimis, karena kedatangan siswa setiap hari fluktuatif, rata-rata sekitar 50 orang, jauh lebih baik daripada sekolah mati suri, he he. Karena di awal minggu ketiga saya harus pergi kota untuk ke diknas dan tidak masuk satu hari, secara mengejutkan keesokan harinya siswa yang datang hanya 17 orang saja. Pada saat ini tentu saja kembali banyak suara-suara pesimis yang muncul terhadap siswa. Padahal saya sudah menitipkan dengan hati-hati kepada para guru agar menjalankan agenda ramadhan seperti biasa saat saya tidak hadir.
Akhirnya, saya putuskan untuk mengumumkan di masjid desa agar wali murid memberangkatkan anak-anaknya ke sekolah sampai pada waktu libur yang telah ditentukan oleh pemerintah. Karena guru yang saya mintai tolong menolak, maka saya menyampaikan pengumuman sendiri di masjid dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sementara wali murid banyak yang tidak berbahasa Indonesia. Para guru di daerah transmigrasi orang Lombok ini pun kebanyakan orang Dompu. Pengumuman ini kurang efektif. Siswa yang datang akhirnya sekitar 20 orang saja.
Rangkaian kegiatan pesantren kilat ini di tutup dengan lomba semarak ramadhan. Tidak tanggung-tanggung, berkerjasama dengan teman SGI3 yang satu kecamatan, saya membuat lomba satu kecamatan untuk SD/MI. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan dirapat para kepala sekolah mendapat sambutan positif. Meskipun dalam kenyataannya, hanya 1/3 sekolah saja yang ikut. Penyebabnya beragam, mulai dari pihak sekolah yang tidak datang sewaktu sosialisasi sampai dengan sekolah-sekolah di daerah transmigrasi orang Bali dimana semua siswanya beragama Hindu. Lomba yang diadakan adalah lomba adzan, da’i cilik, tilawah dan saritilawah. Sumber dana untuk hadiah kami sampaikan dengan jujur berasal dari biaya pendaftaran para peserta, yaitu Rp.10000/mata lomba. Sehingga hadiah yang akan didapat menyesuaikan dengan jumlah peserta lomba.
Alhamdulillah, lomba berjalan cukup meriah, para siswaku dengan setia menjadi tuan rumah dan suporter yang baik bagi teman-temannya yang ikut lomba. Sekolah menjadi sangat ramai dengan gema nasyid yang berkumandang sebelum lomba dimulai. Selama tiga hari, kegiatan ini ditutup dengan ceramah dari seorang ustad sahabat kami di Dompu, yang ikhlas memberikan sumbangsih tanpa di bayar. Atas ridho Allah, hadiah yang diterima para pemenang cukup semarak, yaitu alat tulis lengkap: kotak pensil, buku, pena, pensil, penghapus, penggaris, dan peruncing pensil.
Hikmah terbesar yang saya dapatkan adalah komitmen awal yang menjadi kenyataan. Asal ada kegiatan pasti yang konsisten dijalankan di sekolah, para siswa pasti akan masuk sekolah. Dengan cara yang sangat sederhana, Allah mewujudkan mimpi saya, mendobrak realitas budaya siswa meliburkan diri pada Bulan Ramadhan. Dengan pesantren kilat, terbukti sudah, sekolah kami tidak lagi mati suri.
Oleh: Clara Novita
Relawan Guru SGI3 Dompet Dhuafa