Ramadhan Standar Kehidupan

Di penghujung bulan Ramadhan ini mari merenung sejenak untuk mentadabburi makna bulan suci ini bagi kehidupan manusia, umat Islam khususnya. Sebagai salah satu rukun Islam, puasa Ramadhan terbilang cukup berbeda dengan rukun islam lainnya, anti mainstream bahasa anak muda zaman sekarang.

Syahadatain dan shalat wajib lima waktu yang merupakan rukun islam yang pertama dan kedua harus dilaksanakan dengan tindakan yang mengeluarkan energi dan tenaga yang ada dalam tubuh manusia. Begitu juga dengan rukun Islam yang keeempat dan kelima, membayar zakat dan haji, harus dilaksanakan dengan perbuatan, yang membutuhkan harta dan kucuran dana yang cukup untuk menuntaskan kewajiban tersebut.

Puasa ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri, ia berbeda dengan rukun Islam lainnya. Jika lainnya membutuhkan tenaga untuk bergerak dan finansial yang memadai agar dapat melunasi kewajiban tersebut—bukan berarti puasa tidak membutuhkan tenaga sama sekali, maka puasa lebih
fokus pada pengendalian diri. Ibadah puasa adalah ibadah sirriyyah (rahasia) seorang hamba yang tidak bisa dideteksi oleh orang lain sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah.
Dalam hadis qudsi Allah berfirman: Seluruh amalan anak keturunan adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. (HR. Bukhari no 1904).

Puasa merupakan ajang mengendalikan diri dari hawa nafsu yang selama ini telah banyak menjerumuskan manusia kepada keserakahan dan ketamakan duniawi. Dalam hal ini, ulama sepakat bahwa hal yang membatalkan puasa adalah makan, minum dan hubungan suami-istri sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Secara umum hawa nafsu atau syahwat terbagi menjadi 3 jenis yaitu syahwat buthuniyyah, syahwat ghadhabiyyah dan syahwat furujiyyah.

Pertama, syahwat buthuniyyah merupakan syahwat yang berupa dorongan yang ada dalam diri manusia untuk memenuhi hasrat kebutuhan perutnya seperti makan dan minum. Dalam Ramadhan pengendalian diri dari makan dan minum menjadi modal untuk mampu mengontrol nafsu makan dan minum di luar Ramadhan. Ramadhan mengajarkan kita bagaimana untuk menjaga kesehatan dan stabilitas komsumsi makanan bagi tubuh dalam pertarungan melawan hawa nafsu yang sering diluar kendali, karena tidak sedikit orang yang menderita penyakit yang berbahaya disebabkan oleh makanan yang dikonsumsinya.

Kedua, syahwat ghadhabiyyah merupakan syahwat berupa dorongan emosional yang ada dalam diri manusia untuk mengeluarkan amarah. Pengendalian terhadap anggota tubuh seperti mulut agar tidak mencela dan menghina, mata agar menundukkan pandangan, tangan tidak mengambil yang bukan hak miliknya dan perbuatan yang mungkar lainnya selama Ramadhan seharusnya juga memberikan dampak di bulan-bulan lainnya. Menjaga emosi, menahan amarah melitih kita untuk menjadi orang sabar dan tabah dalam menjalani kehidupan sosial ini. Latihan ini selama satu bulan cukup untuk menjadi bekal dalam jiwa agar mampu diterapkan dan dipraktekkan di bulan-bulan selanjutnya.

Ketiga, syahwat furujiyyah merupakan syahwat biologis dalam diri manusia yang mendorongnya untuk mencintai lawan jenisnya. Dalam era globalisasi ini, godaan syahwat furujiyyah ini dapat menyerang dari segala penjuru. Upaya ramadhan dalam mengendalikan syahwat furujiyyah ini agar manusia tidak dikuasai dan dikendalikan olehnya.

Demikian perintah puasa hadir untuk mengontol syahwat dan hawa nafsu tersebut dengan benar agar menghasilkan manusia yang mampu mengendalikan diri dari godaan-godaan syahwat tersebut.

Standar Kehidupan

Sebagai syahr al-tarbiyyah, Ramadhan merupakan ajang untuk melatih diri untuk menjadi manusia (baca: muslim) yang ideal. Pada hakikatnya ramadhan menjadi bulan latihan untuk menghadapi pertandingan yang sebenarnya, yaitu sebelas bulan selainnya. Mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu selama satu bulan penuh cukup menjadikannya sebagai bekal dan modal untuk menjadikan ramadhan sebagai standar idealitas kehidupan sehari-hari.

Dalam Ramadhan, manusia dilatih untuk menjauhi perbuatan munkar, mata tidak melihat pandangan yang banyak mudharatnya, telinga tidak mendengar yang tidak pantas untuk didengar, mulut tidak berbicara yang tidak ada manfaatnya, tangan tidak mengambil yang bukan miliknyanya, semua bekerja sesuai hukum dan fitrahnya masing-masing.

Di bulan yang penuh berkah ini umat muslim pada umumnya juga membiasakan diri dengan amalan-amalan sunnah yang tidak se-masif pada bulan lainnya. Tak heran jika di bulan yang mulia ini masjid-masjid selalu ramai dengan jamaah yang i’tikaf dan melakukan ibadah lainnya, minimal lebih ramai daripada bulan-bulan yang lain. Jumlah infaq atau shadaqah dari kotak amal juga lebih “berisi” daripada biasanya. Lantunan tilawah Al-Quran bergema dari masjid ke masjid. Majelis-majelis ilmu seakan mekar kembali, tumbuh dimana-mana. Jamaah qiyamul lail membludak di 10 malam terakhir. Maka kebiasaan baik seperti inilah yang harus tetap terjaga sepanjang tahun, agar keberkahan ramadhan tercurahkan hingga bulan lainnya.

Inilah yang seharusnya menjadi standar gaya hidup bagi manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan tidak diperbudak oleh syahwat duniawi. Jika latihan di bulan ramadhan telah membekas dalam jiwa maka ramadhan telah sukses menjadi standar kehidupan yang ideal bagi manusia. Semoga di penghujung ramadhan yang masih tersisa ini kita dapat meningkatkan kualitas ibadah dan memaksimalkan pengendalian terhadap diri kita daripada syahwat-syahwat duniawi dalam menjalani kehidupan di dunia ini sehingga memperoleh derajat taqwa yang telah dijanjikan Allah. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Oleh : Fadhli Espece

Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga