Di banyak forum, baik formal seperti seminar atau training maupun forum non-formal seperti majelis taklim dan pengajian lepas, salah satu pertanyaan kritis yang sering diajukan untuk perbankan syariah adalah keabsahan syariahnya akibat penentuan harga produk yang diyakini masih mengacu pada tingkat suku bunga. Saya ingat sekali ketika dahulu pertanyaan inipun menjadi alat utama saya dalam mengkritisi aplikasi perbankan syariah tanah air. Bagaimana mungkin disebut syariah jika harga produk syariah ditetapkan atau dihitung merujuk pada riba? Bagaimana kita dapat membenarkan logika gerakan yang ingin memusnahkan root of evil dalam praktek keuangan yaitu riba, sepanjang riba masih digunakan sebagai rujukan harga produk? Bukankah selama ada yang memakai, selama itu pula riba akan selalu ada?
Oleh karena itu, jawaban atas kritisi ini tentu sangat utama untuk didapatkan, mengingat jawaban tersebut menjadi unsur yang substansial dalam pengembangan aplikasi keuangan syariah khususnya di sektor perbankan. Jawaban atas masalah ini boleh jadi menjadi salah satu elemen kunci pembuka wawasan baru atau bahkan logika baru dalam berfikir lebih lanjut seperti apa sepatutnya sistem keuangan dalam Islam itu menjadi. Jika memang riba sebaik tidak dirujuk sebagai harga produk, variabel apa yang tepat dijadikan rujukan?
Mari kita telusuri logika praktek keuangan syariah untuk bisa sampai pada variabel yang tepat itu. Dengan absensinya riba, maka keuntungan (profit) bisnis relatif hanya akan berasal dari aktifitas ekonomi produktif, baik yang berasal dari jual-beli, sewa menyewa atau jasa. Aktifitas investasi memang juga memberikan keuntungan berupa bagi-hasil tetapi bagi hasil itu tentu bergantung pada aktifitas utama dan pertamanya yaitu jual-beli, sewa menyewa atau jasa. Karena memang aktifitas investasi merupakan aktifitas ekonomi turunan dari aktifitas utama tadi. Oleh sebab itulah produk keuangan atau perbankan syariah juga merujuk pada aktifitas usaha berbasis jual-beli, sewa-menyewa, jasa dan investasi.
Jika aktifitas bisnis itu yang menjadi basis produk keuangan dan perbankan syariah, maka penentuan harga dari produk-produk perbankan syariah sepatutnya merujuk pada tingkat keuntungan umum yang ada pada aktifitas produktif tersebut. Sehingga secara spesifik, harga produk pembiayaan sektor properti bank syariah tentu sebaiknya bersandar pada tingkat keuntungan yang umum ada di sektor properti, begitu pula sektor lainnya, dengan tentu mempertimbangkan pula faktor lain seperti wilayah geografis dan biaya operasional. Singkatnya, perbankan syariah memerlukan sebuah rujukan atau reference rate berupa indeks sektor riil yang akurat yang mencerminkan tingkat keuntungan dari sektor-sektor usaha produktif ekonomi.
Keberadaan reference rate ini pada hakikatnya bukan hanya berguna bagi industri perbankan syariah untuk menjadi salah satu pertimbangan atau rujukan dalam perhitungan penetapan harga produk-produk mereka, tetapi juga menjadi variabel yang membuat pasar sektor riil akan semakin transparan, yang berguna dalam optimalisasi alokasi sumber daya, efisiensi pasar dan akselerasi aktifitas ekonomi. Bahkan keberadaannya akan membantu pula dalam penetapan kebijakan-kebijakan publik seperti kebijakan pasar dan perpajakan.
Jika indeks return sektor riil tersedia secara akurat berdasarkan sektoral, sub-sektor atau sampai dengan komoditasnya dan diketahui pula sebaran geografisnya, tentu indeks ini akan memberikan informasi yang kaya, bukan hanya berguna bagi pelaku bisnis swasta (baik unit usaha maupun lembaga keuangan) tetapi juga berguna bagi pihak pemerintah, dari pemerintah pusat sampai dengan daerah.
Bayangkan reference rate tersedia lengkap seperti itu, kemanfaatan apa yang mungkin didapatkan perbankan syariah? dengan adanya reference rate secara lengkap tersebut, bank syariah mampu menilai lebih akurat projek sektor riil dan daerah mana yang lebih menguntungkan, memahami karakteristik dan sebaran risiko pada berbagai sektor, sub-sektor dan komoditas atau bahkan risiko pada sebaran secara geografis. menetapkan tingkat harga yang sesuai dengan kemampuan pasar dan karakteristik biaya yang dimiliki untuk mencapai optimalisasi penyaluran pembiayaan, serta dengan lebih akurat menyesuaikan strategi bisnis berdasarkan tingkat imbal hasil di pasar dan daerahnya. Lebih lanjut ketersediaan reference rate ini akan mendorong perbankan untuk mengambil keuntungan lebih besar dengan melakukan transaksi pembiayaan berdasarkan produk berbasis bagi-hasil. Sayangnya ketika membaca argumentasi seorang petinggi salah satu bank syariah tanah air di harian Republika, Senin, 27 Februari 2012, yang menyebutkan bahwa benchmark (pricing) lembaga keuangan sepatutnya berdasarkan lembaga keuangan lain bukan berdasarkan sektor riil, saya semakin menyadari bahwa konsep ini (pricing produk menggunakan referensi keuntungan sektor riil) akan berjalan baik jika para praktisi perbankan khususnya para pimpinan bank syariah memang memiliki persepsi yang benar apa itu bank syariah. Apalagi selanjutnya jika ternyata pimpinan bank syariah salah memahami fungsi referensi rate yang cenderung diartikan sebagai sebuah price policy dari regulator. Runyam. Saat ini Bank Indonesia sedang mencoba memunculkan reference rate ini dalam satu kajian indeksasi return sektor riil sebagai benchmark pricing bagi produk perbankan syariah. semoga Allah mudahkan. Wallahu a’lam.