Hidup seksualitas di zaman serba bebas ini bukanlah sesuatu yang enak dibicarakan. Tampaknya kita belum cukup tahu bagaimana mengisi kebebasan. Kebebasan sering menjadi peluang bagi keinginan fantastis yang merugikan. Dampaknya bisa kita lihat. Ada perceraian, perselingkuhan, pelecehan, pemerkosaan, dan komersialisasi seks. Praktik ini tidak kenal usia atau status sosial lagi entah itu buruh, birokrat, selebritis, eksekutif, pelajar dan mahasiswa, dsb. Ini menjadi pratanda bagi lonceng kematian generasi muda soal referensi bagi perilaku apa yang bisa mengarahkan mereka.
Perubahan penghayatan seksualitas semacam ini, yang sering dianggap sulit terkontrol lagi, tidak bisa terlepas dari konteks sosial politik yang lebih luas khususnya revolusi seksual besar-besaran. Dengan demikian terjadi pergeseran paradigma dari tabuisasi ke detabuisasi seksualitas di tingkat global yang dipermudah lewat media komunikasi sampai ke desa-desa. Dulu orang menganggap seksualitas sebagai barang tabu, yang dilarang, tidak boleh disentuh dan dibicarakan. Sekarang situasinya terbalik. Relasi, cara berpikir, dan berperilaku semakin bebas. Dampak dari detabuisasi semacam ini adalah kian melemah norma-norma moral, termasuk kontrol sosial politik. Anak-anak jauh dari kepedulian orangtua.
Detabuisasi yang mempunyai anak kandungnya subjektivisme, relativisme, dan liberalisme sangat berpengaruh terhadap pola pergaulan dan cara memandang hidup seksualitas. “Seksualitas itu urusan saya, bukan kamu. Apa hakmu mempertanyakan kebebasan saya? Darimana kamu mendapatkan hak untuk melarang saya?” Begitu kalau dikatakan secara sederhana tentang subjektivisme, relativisme, dan liberalisme.
Didukung kemajuan teknologi, remaja memperoleh kemungkinan seluas-luasnya mengakses informasi semau gue sebagai pemuas dan pemoles kepentingan pribadi tanpa sikap kritis-selektif. Saking menjadi longgarnya norma, media pun tambah ketagihan. Tayangan-tayangan film mempertontonkan aneka “adegan seru” dengan target rekrutmen sekitar anak-anak muda belia. Tema-tema film kita sebagian besarnya berkisar cinta, perebutan harta, perselingkuhan, perceraian; dengan setting cerita seputar rumah mewah, mobil mewah, restoran, bandara, rumah sakit VIP.
Seksualitas sebenarnya bukanlah barang mainan. Ia merupakan karunia luhur Sang Pencipta yang menegaskan keunggulan manusia dari makhluk infrahuman, seperti binatang. Berbeda dengan binatang, hanya seksualitas manusialah yang dibimbing oleh hati nurani dan akal budi. Gerald D. Goleman, dalam bukunya Human sexuality: An All Embracing Gift [1992: hlm. 10], menjelaskan arti seksualitas sebagai: a fundamental component of personality, one of its modes of being, of manifestation, of communicating with others, of feeling, of expressing and of living human love (sebuah komponen dasar kepribadian, suatu cara berada manusia, cara mewujudkan, berkomunikasi dengan yang lain, merasa, mengungkapkan dan menghidupi cinta manusiawi).
Karena itu, remaja mestinya dilindungi dengan suasana kondusif agar pertumbuhan moral dan seksualitasnya bertumbuh baik. Masa remaja sangat penting. Penting karena adanya transisi dari keadaan potensial pada masa kecil menjadi aktual pada masa remaja ini. Bagian penting sebagai efek perkembangan fisiologis yang mestinya diperhatikan adalah bertumbuhnya konsep tentang tubuh (body image, self-picture), yakni suatu kesadaran cantik atau tidak cantik, ganteng atau tidak, dan sejalan dengan itu tumbuhnya suatu gelombang kesadaran yang mulai muncul tentang “identitas dirinya”. Kesadaran itu membuat mereka berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang senantiasa bergejolak, “Siapakah Aku?”
Pada masa sekarang, kecenderungan remaja mencari titik tolak bagi perolehan gambarannya (self-picture) adalah pada “layar kaca” televisi, pada majalah, internet. Kebanyakan kita mempersalahkan remaja yang suka menonton film atau mengakses internet. Perhatian kita ke sana. Akan tetapi, remaja sebenarnya telah “dikondisikan” sekian oleh peradaban yang dimonopoli orang-orang berkepentingan. Kita yang lain sering hanya sampai pada membaca pengalaman yang tampak di depan kaca, lalu mengadili remaja. Kita sulit sampai menerobos suatu sistem yang bermain di balik layar [back stage], suatu sistem yang oleh sosiolog interaksionisme simbolik Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life, nyatakan cenderung ditutup-tutupi dan “dimistifikasi”. Efeknya, kita menjadi korban dari realitas yang dikonstruksi secara sistematis dari “dunia belakang layar” di mana para pemodal dan pemangku kepentingan bermain.
Ketakutan kita sekarang adalah adanya kecenderungan ke arah tribalisasi budaya media, dalam arti kebiasaan-kebiasaan yang sering ditonjolkan oleh media-media misalnya perselingkuhan, seks bebas, anarkisme sosial, mengejar harta, lama-kelamaan diterima sebagai suatu kebudayaan. Jangan salahkan sejarah [history]. Sejarah sering berarti “cerita-nya” [his-story] para penguasa yang memimpin kemajuan dunia. Mentalitas seperti ini merupakan prakondisi bagi pelbagai bentuk manifestasi. Jika tidak diperhatikan, maka kita bisa membayangkan bahwa masyarakat, kabupaten, kota, dan negara kita ke depan dipegang oleh “generasi sakit hati” yang tidak produktif, yang suka bermimpi tentang rumah mewah, yang suka memperhatikan kepuasannya sendiri. Bahkan, ketika menjadi DPR, bupati, pejabat pemerintah, dan penguasa, pemimpin perusahaan, kasus-kasus yang disoroti seputar “hubungan gelap” atau sogok-sogokan.
Maka, penting untuk melihat persoalan seksualitas dalam matarantai struktural. Tidak hanya melihatnya secara parsial. Seperti bermain drama, yang kita tangkap hanya aksi di depan panggung. Tapi kita perlu berpikir bahwa mainstream yang mengalir di depan mata sering merupakan hasil konstruksi dari “dunia di balik layar”. Sudahkah kita membenah generasi muda? Dan bagaimana mengisi ruang kosong yang semakin besar ketika para pemimpin negara mempersempir basis politis ke tingkat eksklusif-elitis, sementara di sisi lain kaum muda kurang mendapat perhatian?
Oleh: Ambros Leonangung Edu, Jakarta
Email ada di redaksi