Mata wanita itu berkaca-kaca. Beliau tengah bercerita tentang suaminya yang kemarin meninggal dunia. Suaminya dipanggil menghadap Sang Pemilik Jiwa dalam usia yang masih terbilang muda. Baru saja suaminya menyelesaikan pendidikan S2-nya di negeri sakura. Kabarnya sakit Hepatitis. Beliau meninggalkan seorang isteri dan tiga anak yang masih kecil. Sulung mereka kelas 2 SD, teman sekelas anak saya waktu kelas satu. Yang paling kecil berusia tiga tahun.
“Sebenarnya Almarhum sudah merasakan sakit sejak bulan Mei, waktu masih di Jepang. Cuma karena saat itu sibuk menghadapi ujian, beliau menunda berobat dan periksa. Beliau mengira sakit biasa saja, dan akan lekas sembuh,” ujar ibu muda itu tegar. Beliau menambahkan putri pertama mereka begitu sering menangis, merasa amat kehilangan.
“Saat mau dibawa ke pemakaman, si kecil juga bertanya, Abi naik mobil mau dibawa ke rumah sakit lagi ya Mi? Kapan Abi pulang?” tutur wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Trenyuh hati kami mendengarnya. Benar-benar trenyuh.
Saya merenung. Kesadaran tentang hakikat kematian hadir di dalam dada ini. Kematian adalah suatu keniscayaan, salah satu episode kehidupan yang sering kita saksikan, atau nantinya akan kita alami. Kita dan orang-orang yang kita cintai, suatu saat pastilah akan kembali pada-Nya. Siap atau tidak siap, rela atau tidak rela, kita akan pergi atau ditinggal pergi meninggalkan dunia ini.
Pedih, perih, dan pilu adalah hal yang memenuhi ruang hati saat orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan alam fana ini. Duka yang kita rasakan amat dalam. Rasa kehilangan pun tak henti-henti menghinggapi. Mata pun sembab karena tangisan yang terus mengalir. Semua perasaan yang wajar terjadi. Rasulullah juga meneteskan air mata ketika Ibrahim, putranya, meninggal.
Saya teringat status FB saya sekitar dua bulan lalu. Status yang saya tulis terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri.
Kematian, mesti kita memahaminya sebagai sebuah kepastian, tetapi ditinggalkan orang-orang yang kita cintai tetap saja meninggalkan duka yang teramat dalam. Bagi orang beriman yang menjadikan cinta dan ridha Rabbnya sebagai tujuan, tiada lagi pilihan kecuali ikhlas, sabar, ridha dan selalu mensyukuri setiap takdir kehidupan. Semoga Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu mencintai kita.
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali pada-Nya.
Sebuah kalimat singkat yang maknanya begitu dalam. Kalimat yang memunculkan kembali kesadaran kita akan hakikat kehidupan ini dan apa-apa yang kita miliki. Kalimat yang akan mampu menguatkan jiwa kita.
Meski umumnya wanita memiliki perasaan halus, tetapi memiliki ketegaran jiwa adalah sebuah keharusan. Pun meyakini bahwa setiap ujian adalah kesempatan yang Allah berikan untuk menaikkan derajat kita di hadapan-Nya. Allah tidak akan membebani seseorang di luar kadar kesanggupannya.
Hidup di dunia ini tidaklah seberapa lama. Rasulullah Saw bersabda,
“Perbandingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ialah seperti seorang berjalan di laut, lalu memasukkan satu jarinya ke laut kemudian mengangkatnya. Air yang melekat di jari itulah perumpamaan kehidupan di dunia, (sedangkan air yang masih tertinggal di lautan itulah kehidupan akhirat).”
Sebuah harapan selalu tertanam, semoga hayat kita husnul khatimah.
Sebuah renungan ba’da takziah ke rumah seorang teman.
Oleh: Rodhiyatunnisa, Tangerang Selatan.