Setelah kenaikan secara bertahap per dua bulan sejak Juli hingga November kemarin, pemerintah akhirnya menetapkan bahwa per Januari 2015 nanti, tarif dasar listrik untuk rumah tangga 1.300 VA ke atas serta untuk industri akan dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jadi, tarif listrik yang kita bayar per bulannya mulai awal tahun nanti tidak lagi flat, melainkan akan naik turun mengikuti tiga indikator, yaitu kurs Rupiah, harga minyak dunia, dan besaran inflasi.
Dan listrik bukan satu-satunya komoditas menyangkut hajat hidup orang banyak yang harganya akan dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Hal serupa juga akan berlaku pada harga LPG. Setelah berhasil mendekatkan harga Premium kepada harga pasar pada 17 November 2014 kemarin, pemerintah kemungkinan juga akan segera menaikkan harga LPG, termasuk untuk LPG bersubsidi tabung 3 kg.
Seperti halnya yang terjadi pada subsidi BBM, pemerintah juga telah memproduksi sejumlah wacana melalui berbagai media, yang pada intinya sedang membangun opini bahwa telah terjadi penyelewengan LPG bersubsidi tabung 3 kg, sehingga karenanya kenaikan harga tak akan terhindarkan lagi. Bisa kita lihat, mekanisme pasar dijadikan satu-satunya solusi untuk mengatasi penyelewengan. Padahal, pasar memiliki persoalannya sendiri, dan relatif tak mudah diawasi.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif kereta ekonomi per Januari 2015 dalam besaran hingga 150 persen akhirnya menjadi penggenap yang sempurna. Rencana itu sekaligus mengkonfirmasi tuduhan lama bahwa pemerintah memang tidak serius dalam mendorong masyarakat untuk beralih ke moda transportasi publik.
Ujung dari semua itu sesungguhnya sudah terlalu sering kita bahas, yaitu bahwa “subsidi” semakin terkonstruksi sebagai konsep “haram” dalam perekonomian, sehingga konsekuensinya rakyat diminta legowo untuk membayar berbagai komoditas yang menguasai hajat hidup mereka sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh mekanisme pasar.
Ya, sementara kita akan kembali ramai berdebat mengenai pembahasan Perpu Pilkada di DPR awal tahun depan, Pasar (dengan “P” besar) secara tidak berisik terus saja bekerja dan bergerilya, karena ia memang bisa bekerja di semua model politik dan rezim kekuasaan.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari kelas menengah terdidik kita yang berisik ketika meributkan demokrasi politik tapi membisu ketika membahas gerilya Pasar. Padahal, sejak zaman Revolusi Perancis, demokrasi politik sudah dibajak untuk melayani kepentingan Pasar.
Atas pernyataan terakhir itu, pasti akan ada kelas menengah kosmopolit kita yang membantah: betul, tapi Pasar kini sudah mengubah wataknya, tak lagi sama seperti yang dulu, misalnya, pernah disoal oleh Marx. Ya, betul, di tanah kelahirannya, Pasar memang sudah mengubah wataknya. Tapi tidak demikian halnya ketika mereka bekerja di negara-negara Dunia Ketiga!
Selamat bersantap siang!
Tarli Nugroho