Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah ri’ayah, yang artinya memperhatikan ilmu dan menjaganya dengan amal, memperhatikan amal dengan kebaikan dan ikhlas serta menjaganya dari hal-hal yang merusak, memperhatikan keadaan dengan penyesuaian dan menjaganya dari pemutusan. Jadi ri’ayah adalah penja-gaan dan pemeliharaan.
Tingkatan-tingkatan ilmu dan amal itu ada tiga macam:
- Riwayah, yaitu hanya sekedar penukilan dan membawa apa yang diriwayatkan.
- Dirayah, yaitu memahami, mendalami dan menelaah maknanya.
- Ri’ayah, yaitu beramal berdasarkan ilmu yang dimiliki dan keadaannya.
Hasrat para penukil tertuju ke riwayah, hasrat orang-orang yang berilmu tertuju ke dirayah, dan hasrat orang-orang yang memiliki ma’rifat ke ri’ayah. Allah telah mencela orang-orang yang tidakmemelihara gaya hidup ala kerahiban yang diciptakannya dan yang telah dipilihnya,
“Dan, Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Isa) rasa santun dan kasih sayang. Dan, mercka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mercka sendiri yang mengada-adakannya) untuk mencari kcridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”(Al-Hadid: 27).
Dengan kata lain, Allah mencela orang yang tidak memelihara taqarrub yang diciptakan Allah dengan pemeliharaan yang semestinya.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memelihara taqarrub yang tidak disyariatkan Allah, tidak diperkenankan dan tidak dianjurkan-Nya, seperti orang-orang Nasrani yang menciptakan model kehidupan kerahiban?
”Orang-orang Nasrani menciptakan kerahiban, dengan anggapan bahwa itu merupakan sunnah Isa bin Maryam dan petunjuknya. Namun Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa merekalah yang Pengarang Manazzilus-Sa’irin berkata, “Ri’ayah artinya menjagayang disertai perhatian. Ada tiga derajat ri’ayah:
- Memelihara amal. Artinya, memperbanyak amal itu dengan menghinakannya, melaksanakan amal itu tanpa melihat kepadanya dan menjalankan amal itu berdasarkan saluran ilmu. Ada yang berpendapat, tanda keridhaan Allah kepadamu ialah jika eng-kau mengabaikan keadaan dirimu, dan tanda diterimanya amalmu ialah jika engkau menghinakan dan menganggap amalmu sedikit serta kecil. Sehingga orang yang memiliki ma’rifat memohon ampun kepada Allah dengan sebenar-benarnya setelah melakukan ketaatan. Setiap kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam usai mengucapkan salam dalam shalatnya, maka beliau memohon ampun kepada Allah sebanyak tiga kali. Allah juga memerintahkan hamb-hamba-Nya memohon ampun setelah menunaikan haji.
- Memelihara keadaan. Artinya, mencurigai usahanya sebagai riya’, mencurigai keyakinannya sebagai kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan. Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu dimaksudkan untuk riya’ di hadapan manusia. Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian yang palsu.” Sedangkan mencurigai keadaan sebagai bualan artinya bualan yang dusta. Hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari syetan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya syetan, menciptakan model kehidupan itu, ementara Isa terbebas dari hal itu, karena yang demikian itu bertentangan dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, di samping Allah tidak mensyariatkan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah. Karena itu mereka tidak akan bisa dan sekali-kali tidak bisa memelihara kehidupan kerahiban itu secara semestinya. Sebab tak seorang pun yang bisa merubah sunnatullah. Begitu pula orang-orang sufi yang juga meniru model kehidupan mereka.
- Memelihara waktu. Artinya, berhenti pada setiap langkah, melepaskan diri dari kesaksian kebersihan jiwanya, kemudian pergi tanpa membawa kotoran jiwanya.