Bagaimanakah teori belajar yang baik menurut Islam? Sementara para guru yang kuliah di FKIP, memperoleh berbagai pelatihan, dan membaca buku tentang pendidikan dan teori-teori belajar dari pemikir kafir. Misalnya teori belajar dari Gagne, Bruner, Thorndike, Pavlov dan sederet ilmuwan kafir (bahkan ada yang atheis) lainnya. Bahkan para guru juga mengajarkan ilmu-ilmu dari para pemikir non Islam tersebut!
Apa yang diungkapkan sebenarnya dirasakan oleh semua pengajar di negeri kita. Mereka bertanya-tanya, kenapa kita selalu diajari berbagai teori ilmu pengetahuan dari orang kafir? Apakah memang tidak ada ilmuwan muslim yang maju dan bisa dijadikan ikutan?
Tentu saja jawabnya ada, bahkan sangat ada. Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa sebenarnya fenomena semacam ini perlu kita lihat secara lebih luas. Tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
Dunia Islam adalah dunia yang dijajah oleh barat. Dan penjajahan itu bukan hanya sekedar pendudukan secara militer. Penjajahan itu sampai juga ke level ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan.
Dulu sebelum Portugis mendarat di negeri kita, negeri kita ini adalah negeri Islam, di mana para sultan muslim menjalankan negeri ini dengan menerapkan segala khazanah peradaban besar dunia Islam, termasuk ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan.
Ketika kemudian parade penjajah itu mulai menguasai negeri ini, maka mereka pun masuk juga ke dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Belanda getol sekali membangun kampus dan sekolah.
Dan peninggalan mereka sampai hari ini masih ada, meski kita sudah merdeka, bahkan kita juga sudah punya pemerintahan sendiri, punya lagu kebangsaan sendiri, punya wilayah, rakyat, bendera dan diakui oleh PBB.
Tapi yang terjadi justru malah penjajahan di dunia pendidikan tetap masih berlangsung. Nyaris semua ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi masih saja ‘dijajah’, sehingga yang terjadi memang ‘broken link’ yang luar biasa dahsyat, antara generasi Islam dan sisa peradaban masa lalunya.
Memutus Rantai Peradaban lewat Penjajahan Bahasa
Contoh paling sederhana dari masih berlangsungnya penjajahan adalahkenyataakn bahwa bangsa kita yang muslim ini kita tidak bisa bahasa Arab. Inilah hasil penjajahan yang tidak bisa dipungkiri. Rupanya para penjajah tahu betul bahwa kunci untuk memutus mata rantai peradaban Islam dengan generasi mudanya adalah dengan menghilangkan bahasa Arab dari dunia Islam.
Di negeri Islam yang dalam kesehariannya sudah berbahasa Arab, para penjajah menghidup-hidupkan bahasa Arab ‘pasar’, atau yang lebih kita kenal dengan bahasa ‘ammiyah. Kita kenal ada ‘ammiyah Mesir, ‘ammiyah Saudi, ‘ammiyah Yaman, Sudan, Irak, Maghrib dan seterusnya. Nyaris satu sama lain tidak bisa saling komunikasi.
Dan yang pasti, kalau memakai bahasa ‘ammiyah itu, dijamin kita tidak mampu mengerti Al-Quran, Sunnah, dan literatur keIslaman lainnya. Coba saja para TKI Timur Tengah itu disuruh membaca kitab tafsir, pasti mereka geleng-geleng kepala.
Sebaliknya, di negeri muslim lain yang belum semua rakyatnya berbahasa Arab, mereka menghapus semua pelajaran bahasa Arab dari kurikulum pendidikan.
Dan meski sang penjajah yang asli sudah pergi, dan kita merdeka selama bertahun-tahun kemudian, penguasa negeri ini sama sekali tidak pernah mau memasukkan kurikulum pendidikan bahasa Arab ke dalam pelajaran sekolah. Sebaliknya, kurikulum bahasa Inggris justru diajarkan mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Aneh bin ajaib. Sebuah negeri yang mengaku sebagai negeri Islam, masih mempertahankan tradisi yang dibawa penjajah.
Maka terjadilah putusnya jalur peradaban. Kita yang lahir setelah penjajahan, tidak mengenyam sistem pendidikan Islam. Semua kurikulum datang dari barat, bahkan termasuk suatu yang di barat sana sudah dianggap sampah, ternyata kita masih saja memakainya.
Di dalam otak para penguasa di negeri ini sudah tertanam doktrin utama, yaitu ilmu pengetahuan hanya ada di barat. Dan inilah titik pangkal kelemahan.
Belajar Dari Mentalitas Jepang
Tapi mentalitas sebagai ‘bangsa terjajah’ itu tidak terjadi di Jepang. Meski pernah diluluh-lantakkan dengan bom atom, bangsa Jepang tetap merdeka cara berpikirnya, mereka bisa cepat belajar dan bertekad untuk mandiri.
Mereka mengirim mahasiswa dan pelajar ke Barat, bukan untuk menjadi ‘penyembah’ barat, tetapi justru untuk ‘mencuri’ ilmu pengetahuan mereka. Dan ‘pencurian’nya bukan saja ilmu, tapi mereka berhasil mendatangkan juga para profesor dan sumber-sumber ilmu pengetahuan barat ke Jepang.
Tidak seperti bangsa kita, konsepnya si Jepang ini matang sekali. Yang diimpor oleh Jepang bukan produk teknologinya juga bukan hafalan teori-teorinya, tetapi sumber-sumber asal-usul ilmunya. Pemerintah Jepang sangat terbuka dengan riset dan pengembangan teknologi itu.
Apa yang di Amerika masih berupa proposal pengembangan yang belum disetujui pendanaannya, di Jepang langsung dibiayai dan dijalankan. Inilah bentuk ‘penjajahan balik’ Jepang kepada Barat. Akibatnya, teknologi lebih berkembang di Jepang. Bahkan Jepang menjadi pengekspor produk teknologi ke Barat. Amerika malah mengimpor mobil, motor, dan barang elektronik dari Jepang.
Bandingkan dengan Indonesia, alih-alih belajar teknologi dan membawa pulang ilmunya, bangsa kita malah lebih tertarik belajar ilmu yang sosial dan budaya. Lucu juga, Amerika dan Barat terkenal paling tidak punya kepekaan sosial dan berbudaya rendah, karena tangannya masih berlumur darah akibat penjajahan ratusan tahun, kok kita malah belajar budaya dan moral dari mereka. Apa yang menarik?
Tokoh-tokoh sekuler di negeri kita malah lebih gila lagi. Bagaimana tidak, mereka malah mengirim para mahasiswa muslim untuk belajar ‘agama Islam’ kepada para yahudi kafir di Barat. Padahal para yahudi barat itu terkenal perusak dan penghina agama Islam, kok bisa-bisanya mahasiswa dikirim untuk belajar kepada para pembenci Islam?
Maka kalau sepulang dari Amerika dan Barat itu mereka jadi ‘tukang bikin gara-gara’, bikin sensasi tidak jelas ujung pangkalnya, wajar saja. Lha wong ngajinya sama yahudi laknatullah.
Praktis dari segi pengembangan teknologi, nyaris tak ada satu pun ilmu pengetahuan yang kita ambil dari barat. Kita tetap saja jadi pengimpor produk teknologi dari mereka. Mulai dari kendaraan bermotor, sampai barang elektronik kecil-kecil, kita impor semuanya.
Kita tidak pernah mandiri untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk juga tidak pernah mengembangkan kurikulum pendidikan sendiri.
Akibatnya, tokoh-pokoh ilmu pengetahuan yang kita kenal juga itu-itu saja, semuanya hasil jiplakan total dari Barat.
Pengembangan Dunia Pendidikan Yang Asli
Kita semua sepakat bahwa kalau kita mau membangun bangsa ini, tentu kita harus mulai dari membangun dunia pendidikan. Selagi dunia pendidikan kita amburadul, maka selama itu punya pendidikan kita akan acak-adul.
Kurikulum pendidikan kita ini perlu diarahkan secara lebih tegas, terutama dari sisi filosofinya. Apakah kita hanya sekedar mau bicara formalitas, ataukah kita mau bicara kenyataan di lapangan?
Jadi penggalian kepada akar-akar sistem pendidikan dan ke mana arahnya, adalah merupakan hal yang prioritas. Dalam dalam pada itu, sebenarnya kita bisa menggali akar ilmu pengetahuan itu dari sumber peradaban besar Islam.
Sayangnya ya itu tadi, kita ini sudah dan masih dijajah oleh Barat. bahkan bahasa Arab pun kita tidak menguasai. Jadi bagaimana kita mau menggali ilmu pengetahuan dari peradaban Islam, kalau bahasanya saja tidak kita pahami.
Alhamdulillah, kami sempat mengenyam pendidikan di Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud, Kerajaan Saudi Arabia. Dalam salah satu mata kuliah, kami diajarkan mata kuliah dasar-dasar pedagogik (ushulut tarbiyah).
Menarik sekali, karena teori-teori yang diajarkan sama sekali tidak menyebut teori orang barat. Kami malah diajak berkenalan dengan ilmuwan muslim besar semacam Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, dan lainnya. Di mana sumber acuannya jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Bukan teori-teori sekular Barat yang rancu.
Salah satu teori pendidikan Islam yang masih sangat melekat adalah bagaimana hubungan antara guru dan murid dibentuk sedemikian rupa, sehingga ada sisi keberkahannya. Sesuatu yang barangkali menjadi ‘aneh dan asing’ buat anda yang terbiasa dengan teori pendidikan barat.
Dan kalau mau dibanding-bandingkan, sejarah peradaban Islam yang gemilang tentu tidak akan pernah ada, bila tidak ada generasi yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang maju dan modern, yaitu sistem pendidikan Islam.
Sayangnya, sistem ini terkubur di dalam tanah, dan kita nyaris tidak pernah lagi bisa menemukannya. Semua adalah akibat bahwa kita adalah korban dari sistem pendidikan barat itu sendiri. Yang sejak awal memang ingin memastikan agar kita tidak bisa menemukan ‘harta terpendam’ berupa sistem pendidikan yang sangat maju di dunia Islam. Caranya dengan membuat kita tidak mengerti bahasa Arab.
Tapi, begitu anda melek bahasa Arab, maka di depan anda terbentang sebuah dunia maha luas yang berisi khazanah kekayaan intelektual Islam yang selama ini terpendam. Ada sekian banyak judul kitab yang berbicara tentang berbagai ilmu pengetahuan Islam, termasuk ilmu pendidikan dalam Islam.
Kalau menunggu terjemahan, paling-paling anda hanya bertemu dengan bukunya Abdullah Nasih Ulwan yang judul terjemahannya menjadi “dasar-dasar pendidikan Islam.” Padahal buku itu hanya mengulas sedikit saja tentang dunia pendidikan Islam. Di balik itu, masih ada begitu banyak tulisan, buku, makalah dan karya besar tentang sistem pendidikan Islam yang anda rindukan itu.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ahmad Sarwat, Lc