RUU KKG, Adil Tak Harus Setara

Menyoal permasalahan bangsa ini, nampaknya semakin bertambah saja dengan munculnya salah satu Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Suara pro-kontra mulai bermunculan sejak RUU ini dibahas secara terbuka di Senayan. Ketika mendengar pertama kali, mungkin banyak diantara kita mengangap bahwa ini merupakan Rancangan Undang-Undang yang merupakan solusi bagi kaum hawa untuk mensejajarkan diri dengan kaum adam dimana selama ini dirasakan bahwa banyak hak kaum hawa yang “dikebiri” selama ini baik oleh kebudayaan. Namun, ketika kita menelisik lebih jauh lagi, maka RUU ini malah akan menimbulkan berbagai masalah yang akan timbul di masyarakat.

Istilah gender sendiri memiliki arti yang berbeda dari jenis kelamin. Jenis kelamin memiliki sifat yang kodrati dan membedakan kaum adam dan kaum hawa dari segi biologis seperti mengandung bagi kaum hawa, dan mimpi basah bagi kaum adam. Sedangkan gender membedakan kaum adam dan kaum hawa dari sifat non-biologi, seperti peran, tugas dan tanggung jawab sosial. Brdasarkan RUU KKG pasal 1 ayat 1, Gender diartikan sebagai berikut, “Gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat diprtukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari suatu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam cuplikan ayat tersebut, dinyatakan bahwa gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Terdapat hal yang janggal disini, karena kita tahu bahwa agama – dalam hal ini Islam – juga mengatur peran baik bagi kaum hawa dan kaum adam. Islam mengatur tugas, peran dan tanggung jawab anatara kaum hawa dan adam baik di ruang domestik (baca: keluarga) maupun di ruang public (baca: masyarakat) brdasarkan sudut pandang Sang Pencipta Alam Semesta yang tertuang dalam Al Qur`an. Sehingga tidak semua tugas, peran dan tanggung jawab merupakan hasil konstruksi budaya, seperti yang terjadi pada bangsa Barat. Dengan tidak adanya kata “agama” ini cukup menunjukan bahwa ada kepentingn kaum feminis dalam rancangan undang-undang ini.

Menelaah konsep adil dalam undang-undang ini, adil diartikan sebagai penyamaan atas semua hal yang mencakup hak dan kewajiban antara kaum adam dan kaum hawa tanpa batasan dan tanpa adanya pembedaan. Cukup aneh jika adil berarti setara atau sama dan tanpa batasan maupun pembeda.

Menurut Jubir (juru bicara) Hizbutahrir Indonesia (HTI), Ust. Ismail Yusanto, dalam diskusi terbuka di Gelanggang Mahasiswa UGM tentang RUU KKG, menjelaskan bahwa konsep adil dalam islam itu jelas meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ini menunjukkan bahwa adil itu membedakan yang beda dan menyamakan yang sama sehingga ketika kata adil dan setara itu diletakkan pada satu kalimat maka hal itu akan menimbulkan kontradiksi.

Hal demikian dapat dianalogikan sebagai berikut. Seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga dianalogikan sebagai penjaga gawang dalam tim sepak bola, dan seorang pria sebagai kepala rumah tangga dalam keluarga dianalogikan sebagai penyerang dalam tim sepak bola. Maka jika peran penjaga gawang dan penyerang disetarakan, maka seorang penyerang diperbolehkan pula memgang bola layaknya penjaga gawang dan tentu saja semua pemain termasuk gelandang dan pemain bertahan juga memiliki hak yang sama. Tentu saja jika hal ini terjadi maka yang tercipta bukanlah tim sepakbola lagi, melainkan tim rugby.  Begitu pula keluarga, jika peran seorang istri dan suami disamakan, maka keluarga tersebut tak akan menjadi keluarga yang utuh.

Menyoal diskriminasi dalam rancangan undang-undang ini, diskriminasi diartikan sebagai berikut, “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawin an atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”

Konsep diskrimisasi ini menunjukan bahwa salah satu bentuk diskriminasi adalah pembedaan antara kaum hawa dan kaum adam. Menurut Islam, pembedaan ini bukan menjadi suatu bentuk diskriminasi, tetapi itu merupakan upaya mengatur tatanan sosial agar lebih baik dan terstruktur. Misalkan dalam sebuah rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri. Islam telah mengatur tugas pokok keduanya yang memang berbeda, suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu maka sebuah rumah tangga akan terstruktur dengan baik. Hal serpa juga diungkapkan Helgeson (2005), bahwa penggunaan gender adalah untuk menata kehidupan sosial yang merupakan aspek yang mendasar dalam kehidupan manusia. (Helgeson,VS. 2005. Psychology of Gender (2nd.ed). New York: Prentice Hall)

Menurut  Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel berjudul “The Real Truth About Women Bodies” mengungkapkan bahwa wanita secara alamiah, biologis, dan genetik memang berbeda. Perbedaan ini yang mengakibatkan tidak mudah mengubah faktor tersebut dalam kehidupan sosial wanita. Terlebih lagi factor psikologis dan sifat antara kaum hawa dan kaum adam yang memang berbeda.  Oleh sebab itu, perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak  mungkin, melainkan juga tidak realistis.

Intinya adalah keadilan yang diusung dalam RUU ini bukanlah keadilan yang merepresentasikan makna keadilan sesungguhnya. Karena keadilan tidak selalu dapat diidentikan dengan kesetaraan. Dan jika RUU ini tetap dipaksakan untuk disahkan, hanya akan menjadi racun bagi tatanan social masyarakat di negara ini.

Oleh: Agung Nugraha S
Mahasiswa Elektronika dan Instrumentasi UGM
FacebookTwitterBlog