Hukuman Qishas menjadi buah bibir di Indonesia seiring berita TKI bernama Ruyati yang menjalani satu di antara bentuk hukuman dalam Islam, karena dikabarkan terbukti membunuh ibu majikannya. Secara luas, publik sudah banyak mengetahui bentuk Qishas. Eye to eye atau blood to blood istilah inggrisnya. Hilang nyawa? Ya dibalas nyawa.
Muhammad Sa’ad Al-Beshi merupakan salah satu algojo ternama dan paling terkenal di Arab Saudi. Kepada Arab News, dia pernah bercerita tentang kehidupannya yang tak berbeda dengan kehidupan orang kebanyakan. Orang disekitarnya tidak takut dengan profesinya sebagai seorang penjagal.
”Di negara ini, kami memiliki masyarakat yang memahami hukum Tuhan (Rabb)” katanya. ”Tidak ada yang takut terhadap saya. Saya punya banyak saudara dan teman di masjid. Saya memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Tidak ada yang aneh dalam kehidupan sosial saya.”
Al-Beshi memulai kariernya di penjara di Thaif. Kerjanya adalah memborgol dan menutup mata terpidana sebelum menjalani eksekusi pancung. ”Karena latar belakang tersebut, saya mengembangkan semangat saya untuk menjadi algojo,” katanya.
Ketika ada lowongan, Muhammad Sa’ad Al-Beshi melamar dan langsung diterima. Tugas pertamanya pada 1998 di Jeddah. ”Terpidana diikat dan ditutup matanya. Dengan satu ayunan pedang, saya menebas kepalanya. Kepala menggelinding beberapa meter,” ceritanya. Kala itu, banyak saksi yang muntah usai menyaksikan pemenggalan tersebut. Beshi mengaku tidak tahu mengapa mereka ikut menyaksikan eksekusi kalau tak tahan.
Muhammad Sa’ad Al-Beshi mengaku sempat gemetar ketika pertama kali menjalani tugas tersebut. Namun Muhammad Sa’ad Al-Beshi, yang pernah memancung tujuh kepala sehari, kini tenang tiap kali menuntaskan tugasnya memancung kepala terpidana.
”Saya tenang menjalankan tugas ini karena saya melakukan tugas Tuhan,” katanya. ”Bagi saya, tidak masalah harus memancung berapa kepala. Selama itu merupakan tugas Tuhan, jumlah tidak menjadi masalah.”
Bukan hal yang menakutkan baginya meski harus menjalankan perintah memenggal kepala para terpidana mati, tak terkecuali wanita. Padahal secara pribadi, Al-Beshi merupakan pribadi anti kekerasan terhadap perempuan. “Saya memang menentang kekerasan terhadap perempuan. Namun, jika semua perintah (pemenggalan) datangnya dari Tuhan, saya harus melaksanakannya dan saya bangga bisa melakukan pekerjaan untuk Tuhan.”
Berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Arab Saudi, hukuman mati pantas diberlakukan untuk seorang pembunuh, pemerkosa, penyelundup narkoba, perampokan bersenjata dan pengguna narkoba.
Selain diminta memenggal kepala tahanan, tak jarang Beshi juga diminta menembak mati tahanan perempuan. “Semua tergantung permintaan. Kadang mereka menyuruh saya menggunakan pedang, kadang pula dengan senjata api. Namun, seringkali saya memakai pedang,” ujarnya.
Al-Beshi juga memiliki tradisi tiap kali akan memancung seorang terpidana. Dia akan mengunjungi keluarga korban untuk meminta maaf karena dia besok akan memancung anggota keluarga mereka.
”Saya selalu memiliki harapan hingga detik-detik terakhir pemancungan,” katanya. ”Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar narapidana mendapat harapan baru. Saya selalu menjaga harapan tersebut tetap hidup.”
Ia tidak bersedia membeberkan gaji sebagai algojo karena itu merupakan kesepakatan dengan pemerintah Arab Saudi. Namun, menurut Muhammad Sa’ad Al-Beshi, gaji bukan hal penting bagi dirinya. ”Saya merasa bangga bisa melakukan tugas Tuhan,” katanya.
Sedangkan percakapan terakhir antara Muhammad Sa’ad Al-Beshi dan korban di tempat eksekusi pemancungan adalah dia memerintahkan kepada korban untuk mengucapkan syahadat.
“Hati dan pikiran mereka diambil dengan mengucapkan syahadat. Ketika mereka menuju tempat eksekusi, kekuatan mereka semakin melemah. Saya kemudian membacakan perintah eksekusi lalu memberi aba-aba untuk memulai eksekusi.”