Saat Anak Kita Bermasalah

Menjadikan anak-anak kita sebagai generasi penerus yang penuh dengan tanggung jawab, kejujuran, dan senantiasa berbuat baik adalah pekerjaan yang benar-benar tidak mudah, karena lingkungan anak-anak hari ini jelas sangat berbeda dengan saat kita masih seusia anak-anak kita hari ini. Semakin hari, tantangan itu semakin berat.

Allah sendiri mengingatkan kita sebagai orang tua bahwa betapa besarnya pertanggung jawaban kita kelak di hadapan Allah terutama dalam hal mendidik anak dan keluarga kita .

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)

Yang terjadi di lapangan, sering kali orang tua sudah merasa mendidik anak dengan upaya maksimal dan sebaik mungkin, namun tidak jarang orang tua terheran-heran dan kebingungan menyaksikan perilaku anak yang diluar dugaan.

Pembentukan pola perilaku anak sesungguhnya tidak hanya terbentuk oleh bagaimana ayah dan ibunya mendidik dan menanamkan niali-nilai yang positif. Perlu kita perhatikan juga bahwa ternyata ada faktor pembentuk perilaku lain yang berada diluar kendali ayah ibu yaitu lingkungan si anak itu sendiri. Lingkungan memiliki peran yang begitu besar dalam pembentukan perilaku. Misal jika kita masih serumah dengan keluarga besar, maka selain ayah ibu tentu biasanya ada juga kakek, nenek, paman, bibi, suster, pembantu dan yang tak kalah adalah peran televisi dan internet.

Orang tua yang kurang memperhatikan lingkungan anak, berarti lalai dalam memberikan proses pendidikan anak yang baik.  Terlebih lagi bagi ayah ibu yang keduanya sama-sama bekerja, dan anak sering ditinggal di rumah dalam waktu yang lama bersama anggota keluarga lainnya. Jelas semua yang terjadi sangat sulit untuk kita kendalikan.

Ada sebuah kejadian sebuah keluarga kecil dengan kondisi ayah ibu keduanya bekerja. Sang Ayah sebagai karyawan diperusahaan swasta dan Ibu bekerja sebagai pramugari disebuah maskapai penerbangan nasional. Jika dilihat dari sudut pandang kemampuan finansial, keluarga ini cukup mapan. Ditandai dengan fasilitas yang termasuk kategori lengkap untuk ukuran keluarga kecil. Artinya, dari segi ekonomi keluarga ini termasuk yang berpenghasilan cukup baik. Namun karena kesibukan ayah dan ibu mengurus tanggung jawab ditempat kerja, maka anak lebih sering menghabiskan waktunya dirumah bersama pembantu.  Sementara ayah ibu hanya bisa menemani sewaktu libur saja.

Suatu ketika kedua orang tua muda itu tersadar tentang kondisi anaknya yang sangat berbeda dengan harapan mereka. Awalnya mereka menganggap dengan pemenuhan kebutuhan materi dan memfasilitasi si anak , sudah cukup untuk menjadikan anak mereka anak yang mandiri. Namun apa yang terjadi? Anak mereka sekarang menjadi anak yang penakut, manja, dan kurang bisa mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah cenderung masuk di kelompok anak-anak yang kesulitan mengikuti pelajaran, lambat dalam mengerjakan sesuatu, gandrung main game dan menonton hingga lupa waktu, semagat beribadah yang rendah, hingga saat orang tua menasehati, si anak malah membangkang. Sampai satu hari mereka menyimpulkan bahwa anak mereka termasuk anak bermasalah.

Orang tua muda itu mulai bingung dengan keadaan anak mereka, satu ide yang terpikir adalah membawa anak mereka ke seorang terapis mental untuk memulihkan si anak dari semua kondisi kejiwaan yang semakin buruk.

Ini adalah salah satu fenomena yang tidak sedikit terjadi di masyarakat kita, orang tua dengan segudang aktifitas hingga melupakan pendidikan anak dirumah.

Adalah sebuah kesalahan jika orang tua menganggap anak seperti pakaian yang saat kotor tinggal di bungkus dan di bawa ke laundry service dan dibawa pulang kembali setelah bersih. Saat anak bermasalah ada beberapa  orang tua yang dengan cepat  membawa anak mereka ke terapis mental, psikolog, psikiater, hypnotherapist dan sejenisnya. Dan memasrahkan kepada orang lain untuk mengembalikan kondisi mental anak mereka pada kondisi yang ideal.

Bagaimana mungkin kita bisa menjadi ayah ibu yang mendapatkan cinta dari anak-anak kita, ketika solusi yang kita pilih adalah solusi yang justru menjatuhkan mental si anak. Tidak jarang ada anak yang dibawa orang tuanya ke konsultan psikologi dalam keadaan yang sangat tidak bahagia karena kedatangan mereka adalah atas keinginan orangtua. Dan bisa dipastikan cara seperti ini hanya membuat mental anak kita semakin rusak, karena dia merasa kurang dihargai.

Sebagai orang tua yang baik kita perlu lebih bijak saat mendapati perilaku yang negatif  pada anak anak kita. Biasanya perilaku negatif anak jika dikelompokkan hanya ada lima saja yaitu :

  • Pola kebiasaan (makan berlebihan, ngompol, menggigit kuku)
  • Perasaan takut (takut binatang, serangga, gelap, dokter, jarum, darah,dll)
  • Perilaku (mencuri, berbohong, membantah, berteriak dll)
  • Prestasi (nilai ujian, mengerjakan PR, Olah raga dll)
  • Cinta diri (perasaan bersalah, tidak bahagia, mimpi buruk, PD, dll)

Sudah semestinya para ayah dan ibu ketika menemukan pola prilaku negatif di atas muncul pada anak anak kita, hendaknya orang tua bisa lebih bijak berusaha mencari penyebab mengapa anak sampai melakukan prilaku negatif. Biasanya anak-anak memilih untuk berperilaku negatif berangkat dari beberapa motivasi antara lain :

  • Untuk mendapatkan perhatian dari orang tua
  • Untuk mendapatkan kekuasaan dan mengalahkan orangtua
  • Untuk membalas dendam dan menghukum orangtua yang menolak memberikan anak perhatian atau yang memaksa anak menuruti kemauan mereka
  • Menjadi tidak produktif atau sakit dan memaksa orangtua merasa kasihan dan melayani mereka

Ayah ibu perlu lebih jeli memperhatikan perilaku, kemudian berusaha menemukan akar permasalahan yang menyebabkan anak berperilaku negatif. Karena kesalahan menemukan akar permasalah justru bisa mengakibatkan kesalahan pula dalam pemilihan solusinya.

Ada sebagian anak menjadi bermasalah sebenarnya adalah akibat kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.

Jika kita analogikan anak-anak kita sebenarnya memiliki sebuah ruang dalam dirinya untuk menyimpan cinta dan perasaan positif lainnya. Anggap saja bentuknya seperti tangki yang lengkap dengan kran. Disini tugas orang tualah untuk senantiasa memperhatikan apakah tangki cinta si buah hati masih penuh atau sudah kosong. Ayah dan Ibu harus memiliki perhatian khusus, memastikan tangki cinta sibuah hati tidak boleh kosong.  Saat orang tua lalai mengisi tangki cinta itu biasanya anak mulai menjadi bermasalah.

Karena sebenarnya saat anak dirumah, dia sedang mengisi tangki cintanya dan kemudian saat si anak keluar rumah, baik sekolah atau berkumpul bersama teman temannya , maka di sanalah anak menyalurkan cinta dan kebaikan yang ada dalam tangki miliknya kepada orang orang yang ada di luar rumah. Saat isi tangki cinta itu mulai menipis, anak akan kembali ke rumah untuk mengisi kembali dengan semua cinta, kebaikan dan kasih sayang orang tuanya.

Jika orang tua sibuk, maka kegiatan mengisi tangki cinta ini sering terlewatkan, dan baru tersadar saat anak mencari pengisi tangki cintanya di luar rumah. Banyak anak yang lebih dekat dan percaya pada temannya dari pada percaya kepada orang tuanya sendiri, lebih akrab dengan temanya dari pada orang tuanya.

Jika anak masih mengisi tangki cinta mereka di tempat yang positif tentu tidak ada masalah. Misal mereka datang ke masjid dan musholla, mengikuti kegiatan keagaamaan tentu baik baik saja. Namun bagaimana jika anak perempuan kita yang duduk di kelas tiga SMP misalnya, mengenal seorang lelaki SMA yang dianggap baik. Kemudian lelaki itu mengirim pesan singkat di telepon genggam anak kita  dengan tulisan :”sayang kamu dah besar, dah saatnya kamu menentukan jalan hidup kamu sendiri. Dah bukan saatnya ngikutin maunya orang tua teruzz..miss u..muuaacchhs”. Ini adalah sepenggal kisah yang pernah disampaikan seorang ibu saat sharing di kelas parenting saya beberapa bulan yang lalu. Saat anak beliau lebih percaya pada teman lelakinya dari pada orang tuanya sendiri.

Miris mendengarkan ibu yang berkisah betapa beratnya ia mebesarkan anak, kemudian setelah anak itu tumbuh akhirnya meninggalkan orang tua mereka.

Sahabatku, Anda yang telah menjadi Ayah dan Ibu atau para calon orangtua yang baik, mengisi tangki cinta itu penting dengan memberikan perhatian kepada anak kita dengan secara intensif, antara lain dengan :

  • Memberikan sentuhan fisik seperti pelukan, ciuman di pipi, bermain yang melibatkan sentuhan fisik dan lain-lain.
  • Kata-kata positif dan mendukung pada anak.
  • Waktu Berkualitas : melakukan aktifitas bersama dengan anak tanpa ada orang lain.
  • Hadiah : memberikan hadiah kesukaannya.
  • Layanan : melayani kebutuhan anak yang penting baginya.

Dalam sebuah riwayat kita bisa belajar bagaimana Rasulullah senantiasa mengisi tangki cinta anak beliau :

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagai orang tua tak perlu malu dan jaga image dihadapan anak agar terlihat berwibawa, kita perlu memupuk cinta anak anak kita dengan senantiasa membangun keakrapan dengan mereka.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Bermainlah dengan anak, tak perlu malu meski Anda terlihat lucu.

Perlu disadari  bahwa tidak mungkin ada perilaku negatif yang muncul secara tiba-tiba. Pasti semua ada penyebabnya, ada struktur dan pola terjadinya. Maka  butuh kesabaran orang tua dalam proses mengatasi masalah anak tersebut.  Saat orang tua menemukan perilaku negatif anak hendaknya dengan penuh kesadaran dan penghargaan pada anak, orang tua melakukan pendekatan hingga tercapai langkah langkah menuju solusi yaitu :

  • Orang tua dan anak menyadari bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
  • Orang tua dan anak mengakui bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
  • Orang tua dan anak Menerima bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
  • Orang tua dan anak secara sadar mau mengatasi masalah.

Dengan demikian anak tidak akan merasa dihakimi, karena anak justru merasa mendapat perhatian dari ayah ibunya.

Ada beberapa cara yang bisa dipilih orang tua dalam melakukan pendekatan kepada anak saat mereka dianggap memiliki perilaku negatif, mulailah mencari tahu informasi yang lengkap tentang masalah anak dengan melakukan :

  • Berdiskusi dengan pasangan mengenai masalah Anak
  • Berdiskusi dengan Anak
  • Cari tahu siapa idolanya, atau acara TV kesukaannya.
  • Cari tahu apa Hobinya
  • Cari tahu apa cita citanya
  • Siapa nama kawan yang dia suka dan tidak suka

Masih banyak lagi cara lain yang sebenarnya tidak baku, kita bisa berkreasi sendiri dengan mencoba cara-cara yang cocok dengan budaya yang ada di rumah kita masing masing.

Yang tidak kalah penting adalah senantiasa mengendalikan emosi kita agar kasih sayang tidak berubah menjadi kemarahan, Rasulullah mengajarkan kita agar mendoakan anak kita. Pertanyaannya adalah kapan terakhir kali Ayah Ibu mendo’akan dengan tulus anak-anak kita?

Dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian kita bisa senantiasa membangun kedekatan pada anak kita, membuat mereka lebih terbuka pada kita para orang tua. Semoga solusi-solusi yang progresif bisa hadir dalam meningkatkan kualitas anak-anak kita.

Pastikan Anak kita yakin bahwa kita adalah orang tua terbaik mereka, tempat mereka mendapatkan semua cinta, perhatian dan kasih sayang.

Wallahu’alam.