Malam hari, mengitari meja makan, duduk seorang ibu bersama dua gadis kecilnya. Kebetulan sang Ayah belum pulang dari kantor karena ada lemburan pekerjaan. Beliau sudah berpesan supaya Ibu dan anak-anak makan dulu karena beliau akan pulang agak larut malam. Sambil mengambil nasi, si adik, sebut saja Atika, (7 tahun) berkata dengan malu-malu, “Bu, aku suka sama Veri”.
(Veri adalah teman sekelasnya, laki-laki)
Ibu balik bertanya, “Kenapa? Anaknya cakep ya?”
Atika menjelaskan, masih dengan malu-malu, “Iya, terus pinter juga, terus baik sama aku”.
Sambil menatap ke Atika, Ibu berkata, “Iya, suka sama siapa aja boleh. Yang penting tetap dijaga gak berlebihan, gak berduaan, terus rasa sukanya kita simpan aja dulu buat kita sendiri. Dia jangan sampai tahu ya”
“Emang kenapa bu dia gak boleh tahu?” Atika bertanya dengan wajah penasaran.
Ibu menjawab sambil mengambil sayur, “Ya biar kamu gak diledekin sama Veri itu, atau teman-teman yang lain. Kan nanti jadi malu. Jadi mending ceritanya cukup ke Ibu aja”.
Ibu berkata sambil senyum-senyum sendiri.
Sang kakak, sebut saja Nisa (10 tahun), menyambung, “Iya tuh Bu, Atika suka sama dia. Kenapa gak suka sama Aqyas aja? Kan dia hapalan Qur’annya paling banyak di kelasmu, dek?”
Atika bersikukuh, “Enggak ah, aku suka Veri aja. Bu, nanti kalau aku menikah, aku mau suami yang baik kayak Veri. Boleh?”
Weladalah, lha kok tanya tentang nikah sih? Baru juga kelas 2 SD? Ibu langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Namun Ibu tetap mencoba menjawab, “Iya, tentu saja boleh. Malah harus dapet suami yang baik. Kalau kakak, pengin suami yang kayak apa?”
Nisa dengan bersemangat menjelaskan, “Yang baik, pinter, ganteng, sholeh dong! Boleh khan, Bu?”
Sambil senyum-senyum lagi, Ibu menjawab, “Iya, boleh banget”
Sejenak berhenti, Ibu menyambung lagi, “Eh, tapi tahu nggak Kak, caranya biar dapet suami yang kayak gitu?”
Hmm, saatnya masuk arena persuasif. It’s my golden time, begitulah pikir sang Ibu.
Nisa tampak sangat antusias, “Gimana Bu caranya?”
Ternyata adiknya pun tak kalah antusias, Atika juga bertanya, “Iya bu, gimana?”
Ibu menarik nafas, lalu menjelaskan dengan perlahan, “Caranya, dari kitanya harus baik dulu. Kita harus berusaha jadi perempuan yang sholehah, pinter, cantik. Nah, jodohnya akan dapet yang setara. Allah sudah janjikan kok di Qur’an, kalau jodoh itu setara. Namanya… sekufu”
Nisa yang suka berpikir kritis langsung nyeletuk, “Tapi ada lho Bu, yang tidak begitu”
“Oh iya, ada juga yang istrinya sholehah tapi suaminya akhlaknya buruk. Atau sebaliknya. Itu namanya ujian” jawab Ibu.
Nisa menyambung lagi, “Jawabannya harus ditulis gak, Bu? Kan ujian?”
Yee, malah ngeledek ibunya nih anak.
Dengan mencoba bersabar tapi juga sambil agak tertawa, Ibu berkata, “Maksud Ibu, cobaan hidup, Kak. Pasti Allah takdirkan seperti itu dengan tujuan tertentu. Ingat nggak kisah nabi Nuh? Istri dan anaknya tidak mau mengikuti ajakan nabi Nuh kan? Istrinya tetap kafir sehingga tenggelam”
Nisa menjawab, “Iya, ingat sih. Tapi kok, mereka bisa menikah ya Bu, kan beda agama? Nabi Nuh Islam, istrinya kafir…”
Gubrak! Duh ini anak logikanya lincah meloncat kesana-kemari. Ibunya sampai kelimpungan memikirkan jawaban yang pas.
Ibu mencoba menjawab sebisanya. Sempat terpikir juga untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi, rasanya sayang melepaskan kesempatan ini begitu saja. Lalu Ibu berkata, “Ya.. tadinya kan sama-sama belum Islam. Begitu nabi Nuh dapat wahyu, dia ajak istrinya untuk masuk Islam juga, gitu. Tapi ternyata istri dan anaknya gak mau”
Duh, bener gak ya jawabannya begitu? Jawabnya sambil rada-rada gak pede euy.
“Ya Allah, mohon ampuni aku kalau jawabanku salah,“ doa si Ibu dalam hati.
Atika yang sedari tadi menyimak, tiba-tiba nyeletuk, “Jadi dulu Ibu bisa dapet Ayah, caranya juga gitu ya Bu? Harus pakai jilbab dulu, rajin mengaji dulu?”
Hah? Lha kok jadi balik ke kasus Ibu dan Ayah sih? Duh, benar-benar nih anak-anak.
Sambil tersipu malu, Ibu menjawab, “Ya iyalah. Kalau Ibu gak begitu, mana mau Ayah memilih Ibu jadi istrinya. Entar Ayah pilih gadis lain deh”
Atika nyeletuk lagi, “Aku juga suka sama Ayah. Aku mau dapet suami kayak Ayah. Soalnya Ayah paling ganteng seduniaaa! Ibu juga suka sama Ayah, kan?”
Mendadak pipi Ibu bersemu merah, tak mampu menjawab dengan kata-kata. Hufht, untung Ayahnya belum pulang. Kalau beliau ada, bisa mati kutu ini diledek habis. Untungnya pula, saat makan malam sudah selesai. Jadi Ibu bisa mengalihkan pembicaraan, “Yuk, kita bereskan meja makannya, kan sudah selesai makan, Mungkin sebentar lagi Ayah pulang”.
——&&&——
Maka, meja makan sederhana itu menjadi saksi, tempat aku dan ayahnya berdialog dengan anak-anak.. yang semoga menjadi tempat pewarisan nilai-nilai, tsaqofah dan semua bekal yang diperlukan bagi mereka, setiap hari.