Di zaman modern ini, banyak kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi oleh pasangan suami-istri. Cicilan rumah, motor, SPP anak-anak, uang saku anak, belanja bulanan, pulsa dan sebagainya harus dipenuhi. Terkadang, penghasilan dari suami saja tak cukup untuk menutup semua kebutuhan tersebut, sehingga para istri mulai berinisiatif untuk bekerja di luar rumah.
Dalam berbagai kasus, bukan hanya tentang kebutuhan rumah tangga saja yang mejadi motivasi bagi para wanita yang bekerja di luar rumah. Kebutuhan untuk aktualisasi diri lebih menjadi motivasi utama karena mungkin pendidikan istri tidak hanya pendidikan dasar 9 tahun, melainkan sudah di tingkat sarjana S1, S2, maupun S3.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan di benak para wanita, bagaimana sebenarnya pandangan islam terhadap wanita yang bekerja diluar rumah. Apakah islam membenarkan pekerjaan yang dilakukan oleh wanita di luar rumah?
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang wanita boleh kerja di luar rumah asalkan memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Pekerjaan tersebut memang dibutuhkan atau masyarakat membutuhkan peran sertanya karena tidak ada dari kaum pria yang bisa menggantikannya.
2. Kerja di luar rumah dilakukan setelah pekerjaan di dalam rumah beres karena pekerjaan rumah tersebut itulah tugas utama wanita.
3. Pekerjaan tersebut di lingkungan para wanita, tidak bercampur baur dengan pria. Seperti misalnya mengajari para wanita di sekolah, menjadi dokter dan perawat khusus untuk para wanita.”
Syaikh Shalih Al Fauzan menambahkan, “Wanita tetap dibolehkan mempelajari ilmu agama yang ia butuhkan, asalkan dengan sesama wanita. Wanita pun boleh menghadiri kajian di masjid asalkan terpisah dengan para pria. Hal ini dibolehkan karena para wanita di masa awal Islam tetap belajar dan mengajarkan ilmu di masjid.” (Tanbihaat ‘ala Ahkam Takhtasshu bil Mu’minaat, hal. 8).
Hendaknya pekerjaan yang dilakukan oleh para wanita muslim memang betul-betul dibutuhkan bagi masyarakat. Jika ada motivasi yang mendesak seperti hasil upah/gaji bekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka bekerja diluar rumah diperbolehkan.
Selain itu, wanita harus memerhatikan syarat-syarat keluar rumah saat berangkat bekerja:
- Menutup aurat. Berhijab adalah kewajiban setiap muslimah yang sudah baligh. Apalagi yang sudah menikah, tentu wajib menutup aurat dengan sebaik-baiknya. Meskipun ada aturan dari tempat bekerja mengenai seragam, udahakan tetap menutup aurat sesuai dengan syariat Islam.
- Tidak memakai wangi-wangian. Memakai wewangia dapat menarik perhatian lelaki lain di tempat bekerja, oleh karena itu wanita yang bekerja sebaiknya tak memakai wewangian secara berlebihan. Hal ini juga termasuk larangan bagi para wanita untuk bertabaruj (berdandan/berhias) secara berlebihan saat keluar rumah.
- Tidak ikhtilat, atau berbaur dengan laki-laki yang bukan mahram. Menjalin hubungan kerja yang solid, apalagi sebuah tim kerja memang penting. Namun, tetap perhatikan batasan-batasan agar tidak terjadi kemadharatan yang disebabkan oleh ikhtilat di tempat kerja.
- Tidak mengabaikan kewajiban sebagai istri dan tidak mengabaikan hak-hak suami. Bekerja di luar rumah membuat seorang wanita mengalami kepenatan, sehingga tak jarang kebutuhan mendasar dala rumah tangga seperti melayani suami, menyiapkan makan, mengurus rumah tangga dan mengurus anak menjadi terabaikan. terlalu sibuk di luar rumah juga membuat wanita tidak peka terhadap apa yang terjadi di dalam rumahnya sendiri, sehiingga ketika anak mulai sakit, kadang ibunya tidak tahu. Tahu-tahu sudah parah dan harus dibawa ke rumah sakit. Hal inilah yang perlu diperhatikan agar keseimbangan antara rumah tangga dan pekerjaan terjaga.
Hadits berikut ini bisa menjadi pengingat bagi para wanita yang bekerja di luar rumah:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi keluarga anggota suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).
Semoga para wanita yang bekerja diberikan kesadaran untuk selalu memprioritaskan keluarga diatas pekerjaannya, dan tetap profesional menjalankan peran ganda yang disandangnya.