Saatnya Orang Tua Berhenti ‘Meracuni’ Anak

Seperti biasanya, sebagai seorang dokter kesehatan keluarga di PKPU, sebuah lembaga kemanusiaan nasional yang berlisensi Ecosoc PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), saya ditugasi untuk menjalankan program kesehatan anak dan remaja di Penjara Anak di Tangerang.

Setelah beberapa kali berinteraksi dengan anak-anak yang ada dalam penjara itu, saya pun semakin nyaman, bisa berkomunikasi dan melakukan program kesehatan anak dan remaja dengan baik. Ini  dikarenakan, adanya dukungan yang sangat luar biasa dari para abdi negara yang sedang bertugas di penjara anak tersebut.

Sambil melakukan program kesehatan, pikiran saya bertanya-tanya, apa sebab anak-anak yang rata-rata seusia 10 tahun sampai 16 tahun itu sampai dapat di-masukkan ke dalam penjara anak ini.

Maka, dalam sesi program kesehatan berikutnya, berupa konsultasi kesehatan fisik dan psikologi secara langsung, saya membuat berapa pertanyaan yang harus dijawab oleh anak-anak.

Diantara pertanyaan itu bunyinya sebagai berikut: Apakah anak-anak mengetahui tempat tinggalnya saat ini dan apa namanya? Sebagian besar mereka mengetahui dan menjawab bahwa mereka tinggal di penjara anak.

Pertanyaan berikutnya, mengapa anak-anak harus tinggal di penjara anak ini? Beberapa anak menjawab bahwa ia melakukan kesalahan dan sudah selayaknya kalau ia harus tinggal di penjara anak.

Memang, ia di lahirkan untuk menjadi anak yang kurang ajar, pencuri, pencopet, anak yang senang perkelahian dan masih banyak “gelar-gelar” lainnya. Saya katakan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang baik, bisa berbuat kebaikan dan bisa berprestasi untuk masa depannya.

Dengan penuh keyakinan, mereka kembali menyampaikan “gelar-gelar” di atas itu dan menambahkan bahwa orangtuanya atau bapak/ibunya sering mengatakan “gelar-gelar” itu berkali-kali. Bahkan ada anak yang mengatakan bahwa ia tidak layak lagi menjadi anak orangtuanya karena ibunya mengatakan bahwa ia adalah anak yang durhaka dan pasti akan masuk neraka! Astaghfirullah..

Sahabat Indonesian Golden Family, dari cerita di atas  mengingatkan saya dalam sebuah tulisan yang berjudul The Toxic Words (Kata-kata Beracun). Tulisan ini, meskipun hanya beberapa lembar namun merupakan hasil wawancara terhadap anak-anak yang ada di penjara. Sang peneliti mengajak anak-anak untuk “mengingat kembali” apa-apa yang terjadi sebelum mereka masuk di dalam penjara. Kemudian, ia menyusun kata demi kata menjadi satu kelompok kata-kata yang dianggap mengantarkan anak-anak tersebut masuk dalam penjara.

Susunan kata-kata itu disebutnya sebagai The Toxic Words (Kata-kata Beracun).

Benar saja, bahwa anak-anak yang masuk dalam penjara itu dalam kesehariannya sering mendapatkan kata-kata yang buruk yang menyangkut dirinya, seperti:

“Dasar kamu! Memang anak pembawa sial!”

“Kamu selalu menyusahkan orangtua!”

“Kamu memang anak terkutuk! Pasti hidupmu akan sengsara!”

Serta masih banyak lagi kata-kata yang buruk lainnya.

Lalu, apa hubungannya antara kata-kata yang buruk itu dengan perilaku anak yang buruk?

Ketika saya belajar NLP (Neuro Linguistik Programming), pembimbing saya mengatakan bahwa manusia melakukan proses berpikir dengan tiga cara yaitu pertama, Berpikir Visual adalah berpikir dengan cara kita membuat gambaran di dalam pikiran kita.Kedua, Berpikir Auditori adalah berpikir dengan cara kita melakukan dialog internal (self-talk). Ketiga, Berpikir Kinestetik adalah berpikir dengan cara melibatkan perasaan atau emosi kita.

Pembimbing saya juga mengatakan bahwa gambaran masa depan seseorang ternyata dapat di prediksi dari hal-hal yang dia yakini. Ketika kita meyakini sesuatu maka seluruh “sumberdaya” dalam tubuh kita sampai level sel terkecil pun akan mendukung apa-apa yang telah kita yakini itu.

Dan sebagian besar, suatu keyakinan dibentuk dari perilaku yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya setiap hari khususnya yang menyangkut tentang diri kita. Jika perilaku buruk atau kata-kata buruk yang sering diterimanya, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti bahwa perilaku burukpun akan terwujud dan begitu pula sebaliknya.

Inilah jawaban, mengapa anak-anak itu sering melakukan pelanggaran-pelanggaran kehidupan sehingga ia harus merasakan hidup di dalam penjara. Pada saat orangtuanya terlalu sering mengatakan kamu memang anak kurang ajar, kamu memang anak pembawa sial atau kata-kata buruk lainnya, perlahan-lahan ia akan menyakini bahwa ia anak kurang ajar, ia anak pembawa sial da akhirnya iapun menjadi perilaku yag kurang ajar.

Sungguh, bila saya membahas masalah seperti ini saya merasa ngeri, kasihan, melihat fakta-fakta diatas amat sering terjadi di sekitar kita.

Masih sangat banyak para orangtua yang bila sedang memarahi anaknya maka keluar semua kata-kata beracun seperti itu. Kalau sudah demikian, kira-kira siapa yang salah, anak yang berperilaku buruk atau orangtua yang salah dalam mengajari anak agar bisa berbuat baik?

Ajaran para Nabi kita mengatakan bahwa anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita siapkan agar ia menjadi manusia yang berprestasi di dunia dan di akhirat.

Oleh karenanya, saya sendiri juga sedang mengingat-ingat kembali berapa banyak kata-kata buruk telah terucapkan pada anak-anak saya, pada istri saya. Sungguh, terasa ngeri sekali bila kita mengetahui dampak dari kata-kata buruk itu, bagaikan “racun” yang siap membunuh anak-anak kita.

Membunuh sifat manusianya sebagai makhluk spiritual ciptaan Tuhan, yang memiliki potesi dasyat dalam dirinya. Maka, solusi terbaik adalah adanya kesungguhan akan perubahan cara berpikir dan bersikap kita dari kekerasan menjadi kasih sayang.

Bagi ummat Muslim, sarana berpuasa, utamanya di bulan Ramadhan, adalah sarana yang paling tepat untuk melakukan perubahan itu.

Mengapa? Karena puasa (Ramadhan) merupakan salah satu “produk” dari Tuhan sebagai sarana paling tepat untuk “memprogramkan kembali” diri kita. Dari yang biasanya mudah mencaci-maki pada anaknya menjadi bertutur kata yang lembut, dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik lagi, seperti pesannya Nabi kita bahwa “Puasa adalah perisai.”

Apabila salah seorang diantaramu sedang berpuasa, hendaklah ia tidak berkata-kata keji dan tidak pula memperolok orang lain. Kemudiaan apabila ada seseorang yang hendak mencaci-makinya, hendaklah ia berkata: “Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.”