Awalnya Raja Kristen Ferdinand mengutus mata-matanya untuk mengetahui kondisi Kerajaan Islam Granada di Spanyol, mereka mendapatkan seorang bocah menangis, lalu si mata-mata bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis?”
Sang bocah menjawab, “Saya menangis karena anak panah saya tidak tepat sasaran.”
Si mata-mata berkata, “Kenapa Anda tidak mencoba lagi? Nanti panah Anda akan menancap pada sasarannya.”
Sang bocahpun memberi jawaban monumental, “Jika satu panahan gagal mengenai musuh, apa mungkin musuh memberi kesempatan kepada saya untuk memanahnya lagi?”
Mendapatkan jawaban ini, si mata-mata kembali ke Ferdinand dan merekomendasikan untuk tidak melakukan penyerbuan saat ini, karena bangsa Arab sedang bersiap siaga, bahkan bocah-bocahnya sekalipun.
Setelah beberapa tahun kemudian, si mata-mata kembali lagi untuk mengetahui kondisi ummat Islam di Granada. Si mata-mata menemukan orang tua yang sedang menangis. Si mata-mata bertanya apa gerangan yang membuatnya menangis? Si orang tua menjawab, “Aku menangis karena ditinggalkan kekasihku.”
Setelah mendapatkan kondisi ini, si mata-mata kembali ke Ferdinand dan menyerukan, “Sekaranglah waktunya kalian melakukan penyerbuan, dunia dan keremehtemehannya telah membuat kaum Muslimin sibuk sehingga mereka berada dalam kondisi yang sangat tidak siap untuk menghadapi gempuran musuh-musuh mereka.”
Arab terbangun dari kelalaiannya yang memilukan oleh pekikan suara tentara Ferdinand dan Isabella yang sudah memenuhi seluruh pelosok Granada yang menjadi tempat pertahananan terakhir kaum Muslimin di Eropa saat itu. Pasukan Salib menggempur kaum Muslimin dalam kondisi yang sangat tidak berimbang karena kaum Muslimin tidak memiliki unsur-unsur kemenangan sama sekali, cuma bersenjatakan keputusasaan, dan sangat jauh dari ajaran nenek-moyang mereka untuk menjadi pemenang.
Granada jatuh pada 21 Muharram 897 H.
Raja terakhir Granada yang bernama Abu Abdullah menandatangani Perjanjian Penyerahan Granada kepada Kerajaan Salibis Kastilia yang terdiri dari 67 poin, yang antara lain menjamin keamanan beragama kepada kaum Muslimin, menjaga keamanan harta benda mereka, akidah, dan kebebasan beribadah.
Namun tidak satupun dari poin-poin perjanjian itu diterapkan.
Lalu dibentuklah Inguisition (inkuisisi, pengadilan yang dibentuk gereja untuk membantai siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan gereja) dan kaum Muslimin pun dibantai. Hari-hari terakhirnya Raja Abu Abdullah hanya mampu berdiri terpaku di atas bukit di kaki gunung Raihan termangu setelah menyerahkan kunci benteng Granada kepada Ferdinand dan Isabella, meratapi kerajaannya yang terampas terngungu-ngungu bagai seorang perempuan, dan ketika itu bundanya berucap secara monumental, “Menangislah layaknya seorang wanita, pada kerajaanmu yang tidak mampu engkau jaga secara jantan!”
Ustadz Syafruddin Ramly