Sebelum 'Post Power Syndrome' Menyapa

Agama dan kekuasaan adalah dua keping mata uang yang tak dapat dipisahkan. Agama takkan mungkin dapat dilaksanakan dengan baik, bila tidak ada kekuasaan yang menjaganya. Oleh karena itu, banyak kader dakwah yang menempati pos–pos kekuasaan baik tingkat daerah hingga pusat. Kekuasaanpun tidak akan baik bila tidak ada landasan agama didalamnya.

Roda pasti berputar. Tongkat estafet dakwah harus dijalankan. Tidak ada kesejatian, apalagi masalah kekuasaan. Ada masanya, kekuasaan (baca : amanah) akan berakhir.

Tidak dapat dipungkiri, kader dakwah adalah seorang insan biasa. Yang dengan keshalihannya bisa menyaingi malaikat, namun dengan kebobrokannya, dapat lebih rendah derajatnya dari binatang.

Setelah amanah yang diembannya selesai, bagi beberapa kader mungkin senang dan bahagia, karna pertarungan pertambahan dosa karna maksiat atau penambahan amal karna bermanfaatnya ia juga usai. Sehari dua hari tidak ada perubahan berarti. Hingga sampai suatu saat ketika ada titik jenuh di mana seorang kader yang biasanya berjubel amanah, tidak lagi memegang satupun amanah dakwah. Yang ada hanyalah kekosongan mengisi waktu dengan hal–hal yang bermanfaat. Tibalah futur menyapa perlahan, menggoda sang ikhwah yang sendiri menyepi dari jama’ah. Hingga post power syndrom terjadi.

Secara harfiah, post power syndrom adalah sindrom yang dirasakan oleh seseorang yang telah usai memegang suatu kekuasaan. Yang biasanya suaranya didengar, pendapatnya dijadikan pertimbangan dan kehadirannya dinantikan banyak orang, kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah goresan sejarah yang terkenang dan perasaan yang bercampur aduk, resah mencari ke mana lagi ada tempat untuk mengaktualisasi diri.

Yang perlu dilakukan sebelum post power syndrom menyapa adalah membuat kesibukan dimana ikhwah dapat berkontribusi untuk masyarakat luas, sehingga tidak ada kevakuman dalam beramal jama’i dan pensiun dakwah. Hati–hati dengan kesendirian. Domba yang sendiri lebih mudah diterkam oleh serigala daripada domba yang bergerombol.

Jika manusia tahu bahwa kematian akan menghentikannya dalam beraktivitas, maka ia pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah ia mati (Ibnu Al – Jauzi)

Tidak ada yang namanya kehabisan amanah, yang ada hanyalah belum terdistribusinya amanah secara merata. Coba tengok lingkungan rumah kita, betapa banyak remaja yang butuh bimbingan langsung dan intensif untuk merubah hidupnya. Sekarang lihat kembali tempat kita pernah bersekolah dulu, berapa banyak ikhwah yang mengurusi dakwah disana? Sepenglihatan saya, kebanyakan mereka orang–orang yang berjumlah minim dan pastinya dengan kapasitas terbatas.

Saudaraku yang senantiasa dirahmati Allah, cobalah buka mata hati di sekitar kita. Bila futur menyapa karna kehampaannya amanah, bergeraklah mencari ladang–ladang baru. Ladang–ladang itu tidak hanya bisa dicari, namun juga bisa diciptakan. Yakinlah begitu banyak kewajiban kita menyeru yang belum tersampaikan, dengan itu kita bisa terus bergerak untuk kemaslahatan umat. Semangat selalu untuk umat.

 

Oleh: Amalia Dian Ramadhini