Sebuah Hadiah, Cahaya Menyulam Cahaya

Kiranya tiada siapa pun yang tidak tertarik dengan cahaya yang olehnya mata kita menemukan merah, biru, kuning, jingga, dan sederet warna lainnya. Cahaya yang memperkenankan mata menamai apa-apa yang dalam sapuan pandangan. Cahaya itu mengayakan selaksa rasa. Cahaya jua menghidupkan kegelapan.

Bagaimana jika seandainya pakaian yang kita kenakan tertenun dari benang-benang cahaya? Bagaimana jika wajah-wajah kita memendarkan kilau cahaya? Apalagi jika kita bertelekan di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya? Tidakkah kita mengingininya? Jawabnya telah mantab dan tegas. Ya!

Namun, ternyata seorang saja tiada pernah mampu memercikkan cahaya. Seorang saja hanya menarikan diam. Seorang saja tak lebih dari merayakan sepi. Lalu kisah-kisah pun surup bersama kidung sendu begitu. Suram menenggelamkan kejora, yang perlahan karam.

Allah telah mempertemukan kita pada ruang tanpa pernah ada praduga. Rasanya biasa saja, kali pertama. Kita sekadar manusia yang meminjam nyawa dari penguasanya. Lantas tiada terasa bahwa ada setitik cahaya di bilik kalbu kita. Apa itu? Aku juga tak yakin, sebagaimana denganmu juga. Kita biarkan saja. Begitu adanya. Yang ternyata titik itu menyeruak menghalau jelaga abu. Semakin benderang. Dan orang bilang itu cahaya iman.

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati-hati mereka (kaum mukminin), seandainya kamu membelanjakan dunia dan seisinya, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah lah yang mempersatukan hati-hati mereka.” (Al Anfal: 63)

Duhai kawan! Ada rasa yang damai di kedalaman jiwa, kala kita berkumpul bersama. Melingkar. Melapang dada untuk ilmu dan cintaNya. Membawa kehangatan mentari pagi. Lalu bertemu dan berpisah karena Allah.

Dialah yang memantikkan cahaya di kalbu. Selanjutnya cahaya itu timbul tenggelam membersamai kualitas keimanan. Lalu kebersamaan kita dalam iman ini mengetuk semua pintu hati dari segala penjuru. Terbuka. Dan cahaya itu menemukan kumpulannya. Semakin riuh. Semakin terang benderang. Menyulamkan cahaya.

Mungkin inilah kelezatan iman yang dinanti para peyakin. Kelezatan yang sempat diperbincangkan Rasulullah Muhammad saw. dan para sahabatnya. Kelezatan yang teramat istimewa.

“Tiga perkara yang barangsiapa mendapatinya, dia akan merasakan manisnya iman, yaitu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi daripada kecintaan kepada selain keduanya, dia mencintai saudaranya dan dia tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, dia membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia membenci untuk dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setiap bersin berarti doa kelimpahan rahmat yang saling bertimpal beradu. Setiap ucapan-ucapan berujung zikir-zikir penginsafan nan syahdu. Setiap jabat tangan berlepasanlah dosa-dosa dari kekalbu. Dan senyum perjumpaan adalah keindahan surga yang dipetik para perindu.

Ketika dekat, salam kan terucap. Ketika jauh, doa terhatur dalam senyap. Satu dua kali saling mengunjungi. Semakin kasih dengan pemberian hadiah-hadiah. Tak harus mewah. Sudah cukup untuk meneguhkan ukhuwah dan menghilangkan kekotoran hati yang bernanah.

Ah, benang-benang cahaya ukhuwah ini semoga demikian liatnya. Sampai-sampai kita lupa, bahwa kita sebenarnya berbeda darah, berbeda daerah, berbeda rupa-rupa, namun ukhuwah telah meleburkan semuanya menjadi citarasa yang demikian indah. Benang cahaya ukhuwah telah menerobos batas-batas harta maupun takhta. Benang itu mengikat hati-hati yang telah berlumuran ukhuwah.

Sungguh, kita masihlah insan-insan yang penuh salah, alpa, dan dosa. Terkadang aku menemukan air muka yang kering berkerut. Berselaput mendung. Lain kali kau yang menemukan itu di rona mukaku yang sedang kusut. Bukan. Bukan karena syaitan yang menipu kita. Mungkin ini lebih karena iman kita yang sedang dilanda kegersangan yang sangat. Sementara manisnya ukhuwah tak mungkin tersirat tanpa iman yang teramat. Maka, kemaafan dan baik sangka menyelalu dalam tabiat.

Insya Allah. Ukhuwah ini akan tetap ada walau bagaimana. Ukhuwah fillah ini satu-satunya harapan kita agar benang-benang cahaya itu kembali tersulam rapi, dalam compang-campingnya hati ini. Selama benang ini tak terputus, kita masih punya mimpi berlabuh di menara cahaya yang melukiskan aurora hijau di udara.

Maka perkenankanlah aku berukhuwah denganmu. Sehingga akan nyata sebenang cahaya yang menyulam. Terus demikian. Lagi dan kemudian. Sampai sebuah jubah tersulam dengan gemerlapnya iman. Dari cahaya.

Jiwa telah dikecam rindu akan nikmatnya ukhuwah. Kapan ia menjelma sejati-jatinya di antara kita. Sampai cahaya menyingsingkan selaput awan yang mencadari surya. Terbitlah sudah keceriaan musim semi. Wajah kita kan menyenyum berseri. Dari cahaya.

Biar saja kelak para Nabi dan syuhada iri dengan wajah kita. Wajah yang menerbitkan cahaya. Maka jagalah ia. Jangan sampai ukhuwah ini patah belah bilah. Sebab hanya ukhuwah ini yang akan merupa benang yang menyulam pakaian cahaya untuk kita. Nanti di surgaNya.

“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan nabi dan syuhada menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya disisi Allah. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, tolong kami beritahu siapa mereka ? Rasulullah SAW. Menjawab : Mereka adalah satu kaum yang cinta mencintai dengan ruh Allah tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat diantara mereka serta tidak ada hubungan harta benda yang ada pada mereka. Maka, demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa dikala orang lain takut, dan mereka tidak berduka cita dikala orang lain berduka cita” (H.R. Abu Daud)

 

Chif Rul Elhamasah

Facebook