Syaikh Muhammad Abdul Halim Hamid dalam Mawaqif min Hayatil Mursyid mengisahkan, Hasan Al Banna berkunjung ke sebuah desa di Sha’id. Para Ikhwan menggelar acara besar atas kehadirannya tersebut.
Setelah acara berakhir, seorang petani meminta Hasan Al Banna mampir ke rumahnya, sementara jumlah Ikhwan saat itu sangat banyak dan ada banyak janji dan pertemuan. Tapi petani itu tetap mendesaknya.
Hasan Al Banna pun mengabulkan permintaan petani itu dengan syarat datang sendirian saja dan tidak ada hidangan kecuali secangkir minuman saja.
Petani itu mengantar Hasan Al Banna ke rumahnya dengan hati gembira dan meminta kepada istrinya agar menyiapkan secangkir teh secepatnya.
Orang itu merasa senang dan Hasan Al Banna pun meminum tehnya. Setiap kali menyeruput tehnya, Hasan Al Banna tersenyum, hingga petani itu merasa senang.
Ketika kunjungan telah selesai, Hasan Al Banna kembali kepada para Ikhwan yang telah menunggunya. Petani itu mengantarnya dengan gembira.
Kemudian petani itu kembali ke rumahnya dengan cepat dan mengambil cangkir teh tadi untuk meminum sisanya. Namun, ia tidak mendapati kecuali bekas-bekasnya.
Ia memaksa menyeruput teh bekas minum Hasan Al Banna tadi. Namun ia terkejut, karena teh itu terasa asin, bukan manis!