Ada kemirisan tersendiri ketika saya membaca satu status saudara kita -yang saya lupa siapa dan jikapun ingat, takkan saya tag- yang kiranya bernash seperti ini:
“Kalau sudah belajar Ushul Fiqh tapi malah menyebar syubhat, maka lebih baik saya tidak belajar Ushul Fiqh sisan.”
Itu karena melihat status beberapa yang dianggapnya mungkin menyebar syubhat. Sayang sekali kalau cara berfikirnya seperti ini. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ust. Erik, bahwa orang Indonesia ini sering gagal faham. Iya. Keseleo cara berfikirnya. Perlu diperbaiki lagi. Kalau melihat ahli bahasa Arab salah dalam berbahasa Arab, ya jangan kita katakan ‘yang ahli saja bersalah, mending kita ga usah’. Melihat seseorang tergelincir dalam ilmu (menurut kita), ya jangan kita berhenti mendaki pegunungan ilmu tersebut.
Sample buruk -di mata kita- jangan sampai menghentikan kita dari kebaikan. Itu pun jika benar itu adalah sample buruk lho ya. Jangan-jangan karena kebodohan dan ketidaktahuan kitalah yang menganggap itu buruk atau salah.
Ushul Fiqh itu ilmu penting, vital, basic dan semua yang disebut ‘thalibul ilm’ harus punya basic-nya. Thalibul ilm itu setingkat di atas awam. Maka, yang belum pernah belajar Ushul Fiqh hingga mengerti maksud dan istilah-istilahnya meski belum bisa banyak mengaplikasikan, ia termasuk awam. Jika selamanya tidak, maka forever dia awam. No matter bagaimana dan seberapa lama ia mengenal manhaj yang shahih, atau mengenal sunnah, atau mengenal pertama kali calon mertua dan anak gadisnya.
Kita yakin sekali, kajian Fiqh apapun -kontemporer atau umum; tematik atau kitab-, tidak akan sempurna dicerna oleh orang-orang yang buta akan Ushul Fiqh. Karena kajian Fiqh apapun, membutuhkan penebaran istilah-istilah Ushul dan Fiqh. Dan istilah-istilah itu ibarat ‘muraja’ah’ bagi yang sudah belajar, sementara itu ibarat ranjau bagi yang belum belajar. Jikapun ia membeli kamus Ushul Fiqh, itu takkan mengenyangkan perut dan hati. Ushul Fiqh perlu kajian rutin dan dengan kitab. Makanya, tidak ada itu kajian tematik judulnya: “Al-Amr al-Muthlaq Yufid al-Wujub”. Orang akan mengira ini promosi situs lewat judul. Tidak ada juga judulnya: “La Yasuughu al-Ijtihaad Ma’a an-Nash”.
Itulah mengapa kita berkali-kali menganjurkan, bahkan sampai membuat pahit hati rekan-rekan tematik lovers, agar segera move on ke kajian-kajian kitab rutin, terutama sekali ilmu-ilmu alat. Minimal dengar rekaman kajian sambil buka kitab yang dikaji.
Jangan menjadikan ‘bad apple’ sebagai penghakiman terhadap ‘apple tree’; karena ‘bad apple’ meskipun jatuh tak jauh dari ‘tree’nya, tapi kan bisa jadi setelah jatuh terinjak oleh massa. Makanya, yang suka menebar syubhat biasanya adalah anggota barisan sakit hati. Ya biarkan saja. Sekarang urusan kita bukan takut menjadi bad apple sehingga tidak mau merasakan naungan apple tree dan meraih fresh apples. Bisa kok, asal kita mau. Cuma kalau dari awal tidak mau, ya jangan salahkan ibu mengandung, tapi salahkan kafilah yang tetap berlalu padahal ada yang sedang mengandung.
Beberapa tahun lagi, akan muncul ustadz-ustadz muda para ahli fiqh yang setiap paragraf bicaranya mesti ada istilah dari ilmu Ushul Fiqh. Yang tidak pernah belajar Ushul ya melongo saja tidak mengerti sambil bersyukur ‘alhamdulillah saya ndak belajar Ushul, agar saya ndak sesat’.
Poor dear.
Mau move on atau terus gagal move on? Mungkin banyak rekan tematik lovers yang sudah meninggalkan ‘mbaca’ status saya karena sudah keburu sakit hati.
Tetapi saya suka beberapa dari rekan yang:
“Habis Galau Terbitlah Move On!”