Selamat datang, Tuan Obama. Sepertinya, Anda masih ragu bahwa kami akan menyambut Anda sebagai tamu dan memperlakukan Anda dengan baik. Betul demikian? Oh, Anda bertanya soal saudara-saudara kami yang menolak kehadiran Anda, Tuan Obama? To the point sekali Anda ini ya! Khas Amerika. Tetapi kami suka itu; sebuah gambaran sikap sangkil dan tak bertele-tele.
Baik, ini tentang mereka yang menolak kehadiran Anda. Ya, tentu saja pasti ada. Sebaik apapun, tak ada manusia di dunia ini yang bisa disukai oleh semua orang. Adalah mustahil untuk menyenangkan semua pihak. Anda tentu memahaminya. Anda pasti pernah merasakannya. Terutama saat rakyat Amerika menentukan pilihan sulit yang akhirnya memenangkan Anda sebagai presiden mereka. Kami tahu, Anda pernah ditentang secara lebih getir dan menyakitkan daripada penolakan ini. Bahkan juga dalam hari-hari ini, di negara Anda sendiri.
Dan inilah negeri kami yang menghormati kebebasan warganya untuk mengungkapkan aspirasi. Inilah negara demokrasi yang dalam banyak hal seringkali jauh lebih demokratis daripada negara Anda, Tuan Obama. Mereka, saudara-saudara kami itu, berdemonstrasi, menggelar acara di mana-mana. Ya. Pemerintah kami pun takkan bisa menghentikan itu, Tuan Obama. Kami orang Indonesia yang jamaknya Muslim ini terbiasa menenggang perbedaan, menghargai pendapat sesama, dan merembuk semua soal secara baik-baik dalam musyawarah.
Dalam hal ini, dengan tulus hati kami sampaikan, Amerika memang harus belajar dari Indonesia.
Anda bertanya,”Jadi kalian Muslim yang berbeda kelompok? Apakah mereka fundamentalis dan kalian moderat?” Kami katakan tidak, Tuan Obama. Kami Muslim, kami bersaudara, dan kami tetap satu barisan. Bagi kami, situasi tak boleh lebih penting daripada hubungan. Situasinya adalah kami berbeda pendapat tentang kehadiran Anda –juga tentang banyak hal yang lain-. Adapun hubungan di antara kami adalah persaudaraan. Untuk Anda pahami, hubungan persaudaraan kami jauh lebih kuat daripada situasi perbedaan pendapat kami itu.
Saya akan membuatnya mudah untuk Anda, Tuan Obama; ini seperti seorang isteri yang tak selalu setuju dan tak selalu menyukai tamu-tamu suaminya. Tapi mereka pantang bercerai jika hanya soal itu. Kedatangan Anda memang membuat kami berbeda pendapat, tetapi jangan ragukan persaudaraan dan ikatan cinta di antara kami. Dan, -maaf jika agak kasar-, jangan coba-coba memecah belah kami.
Tuan Obama, sesungguhnya ada banyak alasan mengapa kami bersedia menyambut dan menerima Anda. Pertama-tama tentu saja karena Anda datang sebagai tamu. Setidaknya itulah yang Anda katakan. Nabi kami sungguh berpesan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Beliau telah memberi banyak contoh kepada kami, Tuan Obama. Beliau berkenan menerima tamu bahkan yang paling tidak menyenangkan sekalipun. Di antara mereka ada ‘Utbah ibn Rabi’ah yang jahat dan suka menyiksa sahabat-sahabat beliau nan lemah. Tapi ketika dia datang sebagai tamu yang hendak bicara, Sang Nabi menerimanya dengan senyum dan tangan terbuka. “Duduklah, hai Abul Walid,” sabda beliau menyapanya dengan panggilan kehormatan, “Dan katakanlah segala yang menjadi hajatmu. Aku akan mendengarkan dan menyimaknya.”
Lalu Utbah pun bicara panjang, lebar, tinggi, dan banyak tentang keberatan Quraisy atas da’wah beliau. Setelah sekian lama bicara, ‘Utbah terdiam sementara sang Nabi mengangguk tanda mengerti. “Apakah engkau sudah selesai atau akan menambah lagi, hai Abul Walid?”
“Aku sudah selesai, ya Muhammad!”
“Jika demikian, bersediakah engkau mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan?”
“Ya.”
Lalu Sang Nabi membacakan untuknya Surat Fushilat, Tuan Obama. Itu salah satu surat dalam Al Quran yang bicara tentang visi dan misi kenabian beliau dengan nada yang sangat indah. Dan diapun mengerti, bahwa memusuhi Sang Nabi bukanlah pilihan yang bijak. Dia mengatakan kepada Quraisy, “Tinggalkan lelaki ini dengan urusannya. Sesungguhnya kejayaannya akan menjadi kejayaan kalian. Dan jika dia menang, maka bangsa Arab tak lagi membutuhkan kemuliaan selain dirinya.”
Kami tahu, Tuan Obama, yang tak bersedia mendengar takkan bisa didengar. Maka kami akan terlebih dahulu mendengarkan Anda. Katakan saja segala yang Anda keluhkan. Kami tahu, bahwa bahkan di negeri Anda, di sekitar Anda, ada begitu banyak penentang yang melawan Anda dalam mewujudkan janji-janji kampanye Anda. Mereka juga menghalangi Anda dengan segala cara setelah Anda bicara di Kairo dan mengucapkan banyak janji pada kami tentang perbaikan hubungan antara Amerika dengan Dunia Islam.
Kami tahu Anda orang yang tertekan. Maka bicaralah, kami insya Allah akan mendengarkan Anda. Setelah itu kami akan menyemangati Anda untuk melanjutkan segala yang pernah Anda impikan tentang dunia yang penuh nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Kami tahu itu berat, tapi Anda pernah menjanjikannya pada kami. Janji seorang lelaki terhormat pasti dia junjung tinggi. Begitu bukan, Tuan Obama?
Dan sesungguhnya kami juga akan meminta pada Anda beberapa hal yang kami berharap Anda, Tuan Obama, akan mewujudkannya untuk kami. Saudara-saudara kami di Gaza masih terpenjara, Israel masih membantai warganya tiap hari dan membangun pemukiman zhalim di tanah-tanah rampasan. Palestina masih terus berduka. ‘Iraq dan juga Afghanistan, ah, tarik saja tentara Anda dari sana, insya Allah perdamaian justru akan lebih mudah kami wujudkan.
Tuan Obama, banyak sekali yang kami minta Anda untuk mendengarkannya. Tapi biarlah detailnya nanti saja. Sekarang, silakan Anda yang lebih dulu bicara. Kami hormati itu. Dan sekali lagi, Anda adalah tamu kami yang harus dijamu dan dimuliakan. Apalagi Anda pernah melewatkan masa kecil di negeri ini. Sungguh kurang beradab kalau kami melarang seseorang mengunjungi tempat yang pernah punya makna bagi kehidupannya.
Selamat datang Tuan Obama, kami siap menyambut Anda!
Sayangnya kami juga tak bisa mengelak dari aksioma ‘Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi kami itu. “Musuhmu ada tiga”, ujar beliau empatbelas abad lalu, “Yakni musuhmu sendiri, kawan musuhmu, dan musuh kawanmu.” Kami melihat Anda masih akrab dengan musuh kami Israel, dan Anda menambah tentara untuk menindas kawan kami di Afghanistan. Sepertinya Anda masih menjadi musuh kami.
Tapi, Tuan Obama, musuh yang cerdas lebih berharga daripada kawan yang bodoh. Kami tahu itu. Anda lebih baik masuk kelompok pertama saja daripada menjadi kawan kami tapi malah merepotkan. He he..
Sebagian pihak menganggapAnda sama saja dengan Tuan Bush. Ah, dulu kami menolak kehadiran Tuan Bush. Tapi kini kami menerima Anda. Itu sungguh karena hati kami telanjur berselimut baik sangka kepada Anda. Kami menganggap Anda berbeda dari dia. Ketika Anda berkampanye, ketika Anda bicara di Kairo, Anda sudah sampaikan itu. Dan kami mencoba percaya. Apalagi karena Amerika juga lebih menghendaki perubahan sehingga memilih Anda. Mereka tidak memilih John McCain, kandidat yang digadang-gadang Tuan Bush.
Kami ingat bahwa leluhur kami yang adil dan pemberani, Shalahuddin Al Ayyubi, memperlakukan Guy de Lusignan dan Reynald de Chattilon dengan cara berbeda. Guy, Raja Yerusalem itu ditawari minuman sejuk, sementara Reynald langsung dipenggal. Maaf, kalau analogi ini agak menyinggung Anda. Tapi Bush bagi kami lebih jahat dari Reynald. Dan, yah, kami tahu, tangan Anda juga masih berlumuran darah saudara-saudara kami di Afghanistan, Iraq, dan tempat-tempat lain meski sepertinya Anda tidak separah Guy de Lusignan.
Wah, saya yakin, Anda pernah menonton Kingdom of Heaven garapan Riddley Scott!
Lagipula, Shalahuddin Al Ayyubi pernah datang ke kemah musuhnya yang lain, Richard The Lionheart, Raja Inggris, untuk mengobati penyakitnya. Padahal Richard pernah memerintahkan pembunuhan 3000 tawanan muslim yang ada di tangannya. Itu sungguh kekejian yang besar. Tapi demikianlah Shalahuddin, pahlawan kami yang agung dan ksatria.
Tuan Obama, dengan menyambut Anda, kami mencoba untuk menjadi pewaris sifat-sifat ksatria dan akhlaq mulia itu, alhamdulillah.
Akhirnya, terimakasih, sudah berkenan berkunjung ke negeri kami. Tanggal 21 Maret , ketika matahari berada tepat di atas khatulistiwa, duapuluh enam tahun[1], lalu dengan berdarah-darah seorang ibu melahirkan anaknya. Itu perjuangan bertaruh nyawa yang sangat lama, Tuan Obama. Sejak konstraksi pertama hingga kelahiran memakan waktu tiga hari. Ibu itu seorang perempuan yang sangat hebat.
Dan anak yang dilahirkan itu adalah saya. Ini ulang tahun syamsiyah saya Tuan Obama, terimakasih berkenan hadir. Saya pasti mengingatnya.
Wah, Anda tertawa Tuan Obama. Seakan Anda ingin berkata bahwa yang bicara panjang lebar pada Anda sejak awal tulisan ini ternyata bukan siapa-siapa. Sebenarnya saya bermimpi, Tuan Obama. Duapuluh empat tahun dari hari ini, yang menuliskan paragraf-paragraf ini adalah seorang Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri.
Wah, Anda tertawa lagi. Ha ha ha..
Jangan menganggapnya mustahil Tuan Obama. Sesungguhnya empatpuluh sembilan tahun lalu rakyat Amerika tak menduga bahwa seorang lelaki dari Kenya yang datang untuk menikahi wanita Amerika lalu meninggalkannya pulang ke Afrika lagi itu sebenarnya datang untuk sebuah misi maha penting. Dia datang sejenak, hanya dan hanya, untuk menitipkan seorang Presiden bagi Amerika Serikat.
Karena dari wanita itu, Anda lahir Tuan Obama. Itulah Anda, salah satu takdir ajaib untuk sebuah negara adidaya bernama Amerika. Maka selamat datang di negeri keajaiban bernama Indonesia. Selamat datang, Tuan Obama!
Salim A. Fillah
Ditulis untuk menyambut kedatangan Barack Obama tahun 2010