Siang yang terik, di tengah pengapnya udara dalam bus kota.
Kantukku buyar oleh sebuah sentuhan kecil di punggung tanganku. Sedikit gelagapan, kuedarkan pandang ke sekeliling, lalu memandang ke arah punggung tanganku, tempat seseorang baru saja meletakkan sesuatu. Kuangkat benda itu. Selembar kertas kecil lusuh, dengan goresan tinta yang membentuk huruf-huruf cakar ayam:
Assalaamu’alaikum, Bapak2/Ibu2/Saudara2. Saya di sini numpang jualan suara saya buat makan dan biaya sekolah anak-anak saya. Semoga Allah swt membalas kebaikan Bapak/Ibu/Saudara sekalian. Terima kasih. Wassalam.
Sambil mengerutkan kening, kubalik kertas itu, dan barulah aku sadar bahwa itu adalah selembar amplop, yang baru saja dibagi-bagikan seorang wanita pengamen kepada semua penumpang bus kota yang kutumpangi.
Barulah aku paham.
Dan semakin pahamlah aku dengan duduk perkaranya, ketika wanita itu mengeluarkan kecrekan dan mulai menyanyi dengan suara sembernya. Perlahan senyum terukir di bibirku, seraya saling pandang dengan suamiku yang duduk di sampingku yang juga tengah tersenyum-senyum. Andai dia tak terlebih dahulu membagikan amplop itu, mungkin aku sudah ngedumel dalam hati. Tapi berkat “jasa” selembar amplop lusuh dan tulisan cakar ayam itu, yang terjadi justru sebaliknya. Tak ada rasa jengkel, aku justru merasa geli sekaligus empati.
Lagu pertama selesai, wanita pengamen itu beralih ke lagu kedua yang tak terdengar lebih merdu. Suara pas-pasan, lagunya jadul dan cengeng, “musik” pengiringnya juga jauh dari merdu, cenderung berisik.
Kubayangkan, dengan suara dan tampilan yang demikian pas-pasan, berapa banyak orang yang telah menyemprotnya selama pengembaraannya dari bus ke bus, dari terminal ke terminal setiap hari? Berapa banyak orang yang melengos dan menolak memasukkan sekadar uang receh ke dalam kantong pembungkus permen yang disodorkannya? Mungkin itu yang menyebabkan ia kini rutin menyebar amplop-amplop lusuh itu sebelum mulai mengamen, untuk meminimalisasi rasa sakit hati yang timbul karena perlakuan orang-orang terhadapnya. Ia hanya ingin berusaha tetap sopan di tengah keterbatasan.
Ah, aku jadi teringat pada kejadian beberapa menit sebelumnya. Seorang bapak tua penarik becak, yang menumpahkan barang-barang penumpangnya dari becaknya dengan penuh emosi. Alasannya, pembayaran yang tidak sesuai. Si penumpang menganggap tarifnya terlalu mahal. Mereka bertengkar di tengah terminal, menjadi tontonan orang banyak. Lalu bapak tua itu pergi dengan masalah yang belum tuntas, karena kulihat ia mengayuh becaknya pergi sembari tetap mengacung-acungkan tinjunya, sumpah-serapah tak jelas terlontar dari mulutnya.
Secuplik perjalanan siang itu, membawaku pada sensasi de javu, pada hari-hari saat diriku masih single dan tengah menuntut ilmu di luar kota. Terminal, angkot, dan bis kota. Sejak dulu, selalu menjadi tempat di mana banyak inspirasi tergali secara tak sengaja. Sumber live tempat aku membaca potret kerasnya hidup, dan ragam perilaku orang-orang dalam menyikapi hal itu. Sudah lama aku tak menikmati suasana ini, karena di kota tempat aku tinggal sekarang tak ada bus kota, dan angkot pun cukup langka.
Secuplik adegan realita kehidupan di siang hari, dalam perjalanan Surabaya-Sidoarjo, membuatku merenung dalam-dalam, seraya membersitkan rasa syukur dalam hati.