Saat itu, sebagaimana dicatat dalam Musnad Imam Ahmad nomor 368 dari Ibnu Abbas, adalah musim haji terakhir yang diikuti oleh Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Ia dan para shahabat Rasulullah sedang berada di Mina dalam rangkaian ibadah haji. Saat itu Abdurahman bin’Auf yang sedang mempersiapkan kendaraannya melihat seseorang yang mendatangi Amirul Mukminin Umar bin Khathab untuk menyampaikan keinginannya.
“Seandainya Umar telah meninggal dunia, maka aku akan membai’at Fulan,” kata lelaki itu penuh keterusterangan pada Umar bin Khathab.
“Aku masih hidup di tengah orang-orang,” jawab Umar, “Maka aku (akan) peringatkan mereka yang hendak merebut kepemimpinan orang-orang!”
Maksud perkataan Umar bin Khathab adalah bahwa ia ingin memberi peringatan mengenai kepemimpinan kaum muslimin yang tidak boleh sembarangan diserahkan kepada orang yang tidak berhak memimpin, dengan kata lain bahwa kepemimpinan tidak boleh diambil dari orang-orang yang berhak memimpin. Orang yang datang kepada Umar dan mengatakan akan membaiat Fulan itu ingin menerapkan apa yang dulu pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab saat membaiat Abu Bakar, yakni tanpa kesepakatan permusyawaratan. Namun sejatinya hal itu Umar lakukan karena saat itu memang terjadi peristiwa yang genting antara kaum Muhajirin dan Anshar di Tsaqifah Bani Sa’idah, dan Abu Bakar memanglah shahabat yang berkedudukan paling tinggi dan paling berhak menjadi khalifah.
Abdurahman bin ‘Auf, yang berada di situ, pun segera memberi nasihat pada Umar bin Khathab mengenai keinginannya memberi penjelasan mengenai peristiwa itu. Ia sadar bahwa jika Umar bin Khathab menyampaikan penjelasan di musim haji seperti saat itu, maka akan sangat mungkin terjadi berbagai kemudharatan dan fitnah.
“Wahai Amirul Mukminin,” kata Abdurahman bin ‘Auf, “Janganlah engkau lakukan hal itu sekarang, karena pada musim haji ini berkumpul semua rakyat. Termasuk kelas paling bawah, orang awam, kaum jalanan, dan orangorang lugu. Mereka itulah yang lebih banyak berdiri di dekatmu ketika kamu berpidato.”
“Saya khawatir,” lanjutnya, “Apabila engkau mengucapkan suatu perkataan, lalu hal itu dipelesetkan atau diinterpretasikan oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab. Atau mereka tidak mengerti akan ucapanmu, lalu mereka meletakkannya tidak pada tempatnya.”
Tampak sekali bagaimana kekhawatiran Abdurahman bin ‘Auf terhadap fitnah yang mungkin timbul karena kesalahan orang awam dan para pendengki.
“Oleh karena itu,” katanya memberikan solusi, “Tangguhkanlah pidato semacam ini hingga engkau sampai di kota Madinah karena ia adalah Negeri Hijrah dan Negeri Sunnah. Maka di sana engkau hanya akan dapat bertemu dengan kaum terpelajar, ahli fikih, dan orangorang berkepribadian tinggi. Lalu katakanlah apaapa yang hendak engkau katakan dengan menyakinkan, maka kaum terpelajar itu akan memahami perkataanmu, dan mereka akan menempatkannya pada tempatnya.”
“Demi Allah,” kata Umar mendengar nasihat Abdurahman bin ‘Auf itu, “Insya Allah jika aku sampai dalam keadaan selamat dan sehat, aku akan melakukan hal itu di tempat pertama yang aku injak di Madinah nantinya.”
Maka, Umar bin Khathab pun benarbenar menunda keinginannya untuk menjelaskan peristiwa pembaiatan Abu Bakar selepas wafatnya Rasulullah di Tsaqifah Bani Sa’idah yang diakuinya sendiri bahwa cara pembai’atan Abu Bakar sebagai “pembai’atan yang sekonyongkonyong”. Padahal, menurut Umar bin Khathab sendiri, pembai’atan haruslah dengan melibatkan persetujuan umat.
Dalam penjelasannya di Madinah pada hari Jum’at menjelang bulan Dzulhijjah, Umar mengatakan, “Janganlah seseorang menjadi tertipu dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya pembai’atan Abu Bakar itu terjadi dengan sekonyongkonyong.’Ketahuilah bahwa pembai’atan itu memang terjadi demikian. Ketahuilah bahwa Allah telah menjaga keburukan pembai’atan itu, dan hari ini tidak ada diantara kalian orang yang telah lebih dahulu dari kalian, yang keutamaannya tidak dapat disaingi oleh seseorangpun yang seperti Abu Bakar.”
Umar bin Khathab juga mengatakan, “Demi Allah, kami tidak menemukan hal yang lebih kuat dari pada membai’at Abu Bakar dalam pertemuan kami, kami khawatir jika orangorang itu telah terpisah dari kami, sementara bai’at belum ada, maka mereka akan membuat sebuah pembai’atan setelah kami. Dengan demikian, boleh jadi kami akan mengikuti mereka pada sesuatu yang tidak kami ridhai atau berseberangan dengan mereka, sehingga akan terjadi kehancuran. Maka barangsiapa membai’at seorang pemimpin tanpa musyawarah kaum muslimin, sesungguhnya bai’atnya tidak sah, dan tidak ada hak membai’at bagi orang yang membai’atnya, dikhawatirkan keduanya (orang yang membai’at dan dibai’at) akan dibunuh.”
Begitulah perjalanan panjang yang harus ditempuh oleh Umar bin Khathab untuk “sekadar” memberikan penjelasan kepada ummat mengenai peristiwa pembai’atan Abu Bakar yang tatacaranya buruk, sebagaimana dikatakannya. Ia ingin menjelaskan sesegera mungkin persoalan itu kepada rakyat agar benarbenar bisa memberikan kepemimpinan ummat kepada yang benarbenar berhak. Namun, Abdurahman bin ‘Auf yang memahami kesensitifitasan isu yang akan dijelaskan oleh Umar bin Khathab dan kondisi mayoritas rakyat yang ada di situ memberikan saran agar ia tidak melakukannya di Makkah dimana banyak berkumpul orang awam, tapi sebaiknya di Madinah yang banyak kaum fuqaha.
Orang awam dan para pendengki, menurut Abdurahman bin ‘Auf, adalah sumber munculnya fitnah dari isu sensitif seperti itu. Penyebabnya adalah karena orang awam adalah orang yang tidak memahami persoalan secara menyeluruh dan mendalam, mereka hanya melihat sebuah persoalan dari kacamata yang mereka pakai, secara parsial dan hanya permukaannya saja. Mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan sebuah informasi secara benar. Orangorang awam yang lugu dan ikhlas, seringkali tidak memahami bagaimana sebuah informasi yang benar dibingkaikan sedemikian rupa sehingga digunakan untuk memperdayanya.
Sementara itu, para pendengki yang sejatinya memahami persoalan secara benar, seringkali secara sengaja menafsirkan maksud dan tujuan sebuah informasi menurut hawa nafsu dan rasa dengkinya untuk menghancurkan pihakpihak yang didengkinya. Para pendengki ini biasanya memanfaatkan orangorang awam untuk menjadi alat pemuas kedengkiannya dengan mencekoki mereka dengan informasi yang sudah mereka interpretasikan sedemikian rupa.
Menurut kaidah ushul fiqh, bahaya yang lebih kecil harus ditanggung untuk menghindari bahaya yang lebih besar, sehingga, dalam kasus penjelasan Umar ini, penundaan penjelasan hingga kepada kaum fakih harus dilakukan daripada menjelaskan dengan segera dan cepat tapi kepada kaum yang awam dan para oportunis pendengki. Bahaya atau kemudharatan atas tertundanya penjelasan itu tidaklah lebih besar daripada bahaya atau kemudharatan atas penjelasan terhadap kaum awam dan para pendengki.
Hal ini juga berlaku dalam sebuah sistem jama’ah atau gerakan dakwah. Di dalam struktur kejama’ahan umumnya diatur dan disusun sebuah sistem penjenjangan atau hirarki organisasi. Tiap jenjang hirarki memiliki tingkatan kewajiban, hak, wewenang, dan tugas yang berbedabeda, termasuk dalam hal ini adalah mengenai kerahasiaan dan keterbukaaan informasi yang terkait dengan jabatannya secara khusus atau jama’ah secara umum. Semakin tinggi jenjangnya, maka informasi sensitif yang didapat akan semakin banyak dan semakin rahasia. Dan sebaliknya, semakin rendah jenjangnya, informasi khusus yang didapatkan akan semakin sedikit dengan tingkat kerahasiaan yang semakin rendah pula. Hal ini adalah wajar dalam sebuah organisasi apapun, baik tradisional, konvensional, ataupun modern.
Informasi sensitif, meskipun kadang tidak bersifat rahasia, tidak boleh sertamerta disebarkan oleh anggota atau organisasi dakwah kepada masyarakat awam, meskipun menurutnya dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menasihati pemimpin, atau tujuan kebaikan yang lain. Keniscayaan fitnah akan muncul dengan penyebaran infromasi ini, sedangkan munculnya fitnah adalah hal yang wajib dicegah. Fitnah yang muncul misalnya, pandangan negatif masyarakat awam terhadap gerakan dakwah, dihentikannya dukungan dari masyarakat awam terhadap gerakan dakwah, dimusuhinya gerakan dakwah oleh masyarakat awam, dan disebarkannya keburukan-keburukan yang dimiliki gerakan dakwah kepada masyarakat awam yang lain. Dan yang lebih berbahaya adalah jika para pendengki yang memanfaatkan informasi sensitif itu menunggangi masyarakat untuk memukul dan menghancurkan gerakan dakwah!