Disebut sepotong karena dalam tulisan ini hanya menguraikan sedikit dari permasalahan seputar dunia pernikahan.
Dalam menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan beberapa sisi yang perlu diperhatikan. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. Kedua, sisi lain yang lebih terkait dengan selera pribadi, seperti masalah suku, status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk masalah kesehatan dan seterusnya.
Topik pertama terkait dengan standar umum. Yaitu masalah agama, keturunan, harta dan kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW dalam haditsnya yang cukup masyhur.
Dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya, dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat.” (HR. Bukhari, Muslim)
Berdasar hadits di atas, banyak orang mengartikan bahwa seorang muslim hendaknya menikahi wanita dengan mempertimbangkan kualitas agama, nasab, harta, dan kecantikannya. Benarkah demikian?
Dalam teks hadits di atas, Rasulullah SAW menyuruh kita untuk memperhatikan agamanya. Bahwa pertimbangan nasab, harta, dan kecantikan itu adalah faktor-faktor yang jamak ditemui pada lelaki yang hendak melamar wanita. Padahal nasab, harta, dan kecantikan jika dijadikan pertimbangan untuk menikah, justru bisa mencelakakan.
Hal ini diperkuat dengan adanya hadits yang menjelaskannya.
“Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena memandang harta-bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya baginya.” (HR. Bukhari)
Dijelaskan dalam Mabadi’ul Fiqhiyah juz 2, definisi hukum wajib/fardhu adalah “fa idza fa’alahu al-mukallafu yanaalu tsawaban, wa idza tarokahu yanaalu ‘iqooban”, yaitu jika dilakukan oleh para mukalaf maka memperoleh pahala, dan jika meninggalkannya maka mendapat iqab. Jika seseorang memilih pasangan hidup bukan karena faktor agama, maka jelaslah balasan/iqob dari Allah.
Mempertimbangkan faktor agama di atas, ada 3 hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, memilih istri yang agamanya lebih baik dengan harapan bisa membimbing suami lebih dekat dengan Allah. Pilihan ini digunakan jika seorang suami sejak awal sudah berniat untuk menjadi lebih dekat dengan Allah.
Kedua, memilih istri yang agamanya lebih buruk dengan harapan sang suami hendak menyelamatkan agama sang istri. Ada banyak kasus seperti ini, tentang adanya seorang wanita hampir terjerumus ke hal-hal nista namun dinikahi pria baik agar sang wanita terselamatkan.
Ketiga, memilih istri yang se-kufu atau seimbang dalam hal agama. Hal ini berdasar dari Surah An Nuur ayat 26:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
Dengan demikian jelaslah bahwa faktor agama adalah pertimbangan muthlaq dan hukumnya wajib yang harus diperhatikan untuk memilih pendamping hidup.
Masalah selanjutnya terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasangan hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun sesungguhnya Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya. Intinya, meski pun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya dengan orang lain. Sebagai contoh adalah kecenderungan dasar yang ada pada tiap masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Kecenderungan ini tidak ada kaitannya dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, melainkan sudah menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan Islam bisa menerima kecenderungan ini meski tidak juga menghidup-hidupkannya. Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan.
Contoh lainnya adalah selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai. Misalnya seorang wanita menginginkan punya suami yang serius atau yang humoris, merupakan bagian dari selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki-laki menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing-masing orang yang menjadi haknya dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak terhindarkan.
Karena menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, salah satu tujuan pernikahan dalam Ar Ruum ayat 21 adalah “litaskunuu”, yakni agar seseorang menjadi tentram. Seseorang cenderung menjadi tentram ketika memiliki apa yang diharapkan. Tentu dengan pertimbangan yang bijaksana.
Tentang khitbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara yang dikenal di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata-mata ditujukan kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali. Sebab pada hakikatnya, ketika berniat untuk menikahi serang gadis, maka gadis itu tergantung dari ayahnya. Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak dan ayahnya pula yang nantinya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya. Sedangkan ajakan menikah yang dilakukan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi tanpa sepengetahuan ayah si gadis tidaklah disebut dengan pinangan. Sebab si gadis sangat bergantung kepada ayahnya. Hak untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya, sehingga tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa sepengetahuan ayahnya. Meminang adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan.
Dari uraian di atas sangat terasa bahwa kaum wanita cenderung pasif dalam hal pernikahan. Maksudnya, wanita hanya bisa dipilih tanpa bisa memilih. Padahal menurut Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki dalam kitab Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, walaupun pria bebas memilih, wanita bebas menolak. Tentunya masih dalam koridor agama.
Sebuah hadits sering dijadikan justifikasi agar setiap lamaran dari pria yang dirasa sholeh tidak boleh ditolak.
“Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Maksud dari terjadinya fitnah disini, dikhawatirkan jika wanita menolak maka wanita bisa mendapat jodoh yang agamanya lebih buruk. Atau sebaliknya, sang pria mendapat jodoh yang lebih buruk.
Suatu ketika, Imam Hasan Al-Bashri didatangi seseorang, ayah seorang putri yang sangat cantik. Lelaki itu bertanya kepadanya, “Wahai Imam, putriku adalah seorang wanita yang sangat cantik dan sudah banyak lelaki yang meminangnya. Dia antara mereka ada anak orang kaya, anak pejabat, dan anak seorang qadhi (hakim). Lalu, kepada siapa aku nikahkan putriku?” Imam Hasan al-Bashri menjawab “Nikahkan ia dengan yang paling bertaqwa diantara mereka. Karena, bagi seorang lelaki yang bertaqwa, jika dia mencintai putrimu, ia akan memuliakan putrimu. Dan jika ia tidak menyukai putrimu, ia tak akan menzhaliminya”
Ketika orang tua yang notabene wali perempuan sudah meridhoi bahkan memaksa untuk menikah, bukan berarti wanita tidak bisa menolak.
Dalam Bulughul Maram Kitab an-Nikah, ada sebuah hadits yang menjelaskannya.
“Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang gadis menemui Nabi SAW lalu bercerita bahwa ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Dalam hadits yang lain, diceritakan juga.
“Dari Abi Sa’id al-Khudri ra, seorang ayah dengan putrinya mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Wahai Rasulallah, ini putriku menolak untuk di nikahkan’. Maka Rasulullah berkata kepada putri ayah tersebut ‘taatilah ayahmu’. Putri itu berkata kepada Nabi SAW, ‘Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tak akan menikah hingga engkau memberitahukan aku hak seorang suami atas istrinya’. Nabi SAW menjawab ‘Hak seorang suami atas istrinya adalah sekiranya seorang suami itu memiliki luka koreng dari kakinya hingga atas kepala lalu dijilatnya, itu masih belum terpenuhi hak-nya’. Putri itupun berkata ‘Kalau begitu,Wahai Rasulullah, aku tidak akan menikah.” (HR An-Nasa’i)
Mudahnya, untuk melamar wanita itu pertama mendapat ridho orang tua baru kemudian ridho wanita itu sendiri.
Abdul Wahid bin Zahid, salah seorang yang alim lagi zahid, pernah datang melamar Rabi’ah al-Adawiyah. Dan nihil, ia ditolak oleh Rabi’ah. Imam Hasan al-Bashri yang merupakan alim faqih dan zahid yang juga hidup semasa itu, pernah juga jatuh cinta pada Rabi’ah al-Adawiyah dan juga hendak melamarnya. Namun ia juga tidak diterima oleh Rabi’ah. Padahal, Rabi’ah adalah salah seorang murid yang sering mengikuti majelis pengajian yang diasuh Imam Hasan al-Bashri. Imam Hasan al-Bashri bukannya marah karena penolakan tersebut, justru memuji dan menjadi murid Rabi’ah dan sering meminta nasihat juga bertanya masalah fiqh.
Masih dari Bulughul Maram, dalam sebuah hadits juga dijelaskan cara mengetahui ridho wanita.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulallah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: “Ia diam.” (Muttafaq Alaih). Hadits tersebut menunjukkan bahwa wanita harus dimintai ridhonya dan tak ada paksaan.
Meskipun wanita berhak menolak dengan alasannya, jauh lebih baik jika wanita tidak menunda pernikahan terlalu lama.
“Rasulullah Saw bersabda kepada Sayyidina Ali Kw: ‘Wahai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya’.” (HR. Ahmad)
Oleh: Abu Azhad