Setapak Perjalanan

Di salah satu sudut ruang rumah, seorang perempuan muda mengelus perutnya yang semakin membesar. Hari ini, tepat empat puluh hari yang ketiga usia sang jabang bayi.”Jadilah anak yang shalih ya, sayang.” ujar sang ibu. Sementara, malaikat mengantarkan ruh memenuhi tugas kemanusiaannya. ”Telah tetap empat perkara atasmu, wahai manusia!” malaikat menyampaikan sabda dari Tuhan yang Maha Pencipta.

”Ya Rabb, kepada siapa Engkau akan pertemukan aku? Akankah Engkau jerumuskan hamba atau Engkau beri nikmat dari sisiMu? ” Bisik sesosok pemuda dalam do’a panjangnya. Hari ini, untuk kesekian kalinya dia menimbang. Usianya telah genap dua puluh tiga tahun. Sepekan lalu dia pulang ke rumah orang tua untuk memohon restu. Tekadnya telah bulat untuk menggenapkan agamanya. Sang ibu telah memberi pesan yang membuatnya semakin yakin dengan pilihannya itu. ”Nak, ingatlah. Dua puluh tiga tahun yang lalu, kamu ada dalam kandunganku. Tuhanmu telah memutuskan empat perkara dalam hidupmu yang tak sanggup untuk engkau elakkan. Maka bersabarlah, dan firasatilah sabda Tuhanmu itu dengan taqarrub”, pesan Ibu.

Kini, pemuda itu masih saja bertanya. ”Tuhan, tunjukkanlah. Siapa yang engkau tetapkan untuk mendampingiku? Berilah hamba isyaratMu!”
Diatas sana, Tuhan pemuda itu tersenyum. ”Wahai para malaikat! Lihatlah pemuda itu! Berilah isyarat-Ku kepadanya. Aku telah melihat kesungguhannya dalam mentaatiKu”.

Kabar itu pun datang. Dalam satu malam yang tenang. Ketika selimut mengistirahatkan makhluk Tuhan sejagad raya, malaikat pembawa pesan Tuhan, mendatangi salah satu rumah. ”Iya, itu pemuda yang ku cari”. Di temuilah pemuda itu dalam mimpi. ”Benarkah dia yang Engkau kirim ya Tuhan? Jikalau benar, berilah hamba kekuatan dan kemudahan untuk menerimanya.” do’a sang pemuda.

Ini adalah pertemuannya yang pertama. Tak tentu rasanya. Gelisah, khawatir, takut bercampur tak karuan. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya dia terus berbisik kepada Tuhannya. Dia tersenyum. Menunduk. Tak terasa butiran air menetes dari sudut matanya. ”Akhirnya Engkau penuhi janjiMu, Tuhan.”

“Apakah Engkau bahagia sekarang?” tiba-tiba saja bisikan itu hadir. Padahal baru sepagi tadi pemuda itu bertemu dengan calon belahan jiwanya.”Apakah ini hanya bisikan atau ada isyarat lain? “ pemuda itu menimbang. Bisikan itu kembali hadir. Dan kali ini lebih tegas, “Maukah aku tunjukkan kebahagiaan yang lebih besar dan lebih agung? Apa yang kamu rasakan sekarang, tak lebih dari seujung jari kebahagiaan yang aku tawarkan.” Pemuda itu semakin limbung. Ia bertanya-tanya, kebahagian macam mana lagi? Bukankah yang ia rasakan sekarang telah ia tunggu sejak lama? Rasa itu telah membuncah. Bahkan energinya mampu menghancurluluhkan gunung yang berdiri angkuh diseberang sana.

Kali ini, bisikan itu hadir dalam wujud yang lebih nyata. Ia adalah seorang yang berpakaian bersih. Wajahnya menampakkan keteguhan bercampur dengan kelembutan. Ia menyapa pemuda itu. Kali ini lebih lembut dan bersahabat. Mereka berdua duduk berhadapan saling menatap. “Wahai sahabat, aku melihat engkau masih saja bertanya-tanya. Tak tahukah kau apa itu kebahagiaan yang lebih besar dan agung ? Dengarkanlah baik-baik.” Orang itu lantas tersenyum.” Baiklah, jika kamu tak bisa memahaminya. Aku maklum. Kelak, kamu akan mengetahuinya.” Orang itu pun meninggalkan pemuda itu sendiri. Terdengar sayup-sayup adzan asar berkumandang. Ia pun bergegas mengambil wudhu.

Lautan manusia memenuhi tanah lapang ini. Tak satupun yang ia kenal. Semua seolah sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia juga bingung. Mengapa ada sebanyak ini manusia. Ada pertemuan apa? Siapakah yang mengundang, hingga tak satu pun manusia yang tertinggal?

“Hai, apa kabar pemuda?” ia menoleh mencari-cari sumber suara. Sepertinya ada yang menyapanya barusan. Tiba-tiba saja, ditepuklah bahu sebelah kanannya. Ternyata orang yang pernah menemuinya dulu.
“Ah, kamu rupanya. Aku kira siapa.” Sapa sang pemuda. “Dimanakah ini?” Tanya sang pemuda. “oh, hari ini ada kaitannya dengan apa yang pernah ku sampaikan dulu.”jawab orang itu.
“Ooohh” balas sang pemuda.

Ia sebenarnya masih bingung. Apa maksud perkataan orang asing ini. Datang dan pergi semaunya. Memperkenalkan diri saja tidak. Tapi ia berani bertanya ini itu seolah aku ini orang dikenalnya. Setahuku, cuma sekali dulu itu aku bertemu dengannya. Semenjak itu tak pernah lagi.

Ia memegang tangan sang pemuda dan membawanya ke suatu tempat. Cengkeraman tangannya begitu kuat. Dibawanya sang pemuda itu berlari, menerobos kerumunan orang. Hingga sampai disebuah taman yang indah. Ada aliran air dan pohon yang tinggi dan rindang. Disini, tak lagi banyak kerumunan orang seperti di tanah lapang itu. Setiap kali melewati orang, mereka akan menyapa dengan salam dan tersenyum.

”Ah, betapa teduh dan damainya” gumam sang pemuda. Ia merasa lebih tenang. Tak seperti sebelumnya yang kebingungan. Tapi rasa ingin tahunya belumlah hilang. Ia masih merasa asing dengan tempat ini.
“Sebentar lagi akan datang waktunya.” Kata orang itu.
“Apa maksudmu?” tanya sang pemuda.
“Saat-saat pertemuan agung. Tetaplah disini bersamaku. Sebentar lagi kamu akan mengetahuinya”, jawab orang itu.

Iring-iringan orang berbaju serba putih bersih datang dari ujung taman. Di tengah rombongan itu ada satu orang yang terlihat berbeda. Aku masih tak begitu jelas melihatnya. Ia menyalami dan merangkul setiap orang yang ia lewati.

“Tahukah kamu siapa dia?” tanya orang itu kepadaku. Aku menggelengkan kepala.”Memang siapa dia?” tanyaku balik.
“Dia adalah manusia paling mulia dibumi sejak manusia diciptakan. Dialah Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw.” jawab orang itu sambil tersenyum kepadaku.
“Benarkah dia orangnya? Kamu tak berbohong kepadaku, kan? Tak mungkin aku menemuinya. Aku pasti bermimpi.” Pemuda itu masih saja tak percaya dengan penglihatannya.

Rombongan itu sampai di depan sang pemuda. Manusia agung itu berhenti dan mendekat kepada sang pemuda.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai pemuda yang ditunggu-tunggu. Apakah engkau adalah pemuda yang diajak dia?” tanya manusia agung itu sambil menunjuk orang yang ada disebelum pemuda itu.
“benar.”Jawab yang pemuda.
Rasulullah tersenyum dan memegang pundak sang pemuda.
“Apakah engkau benar-benar Rasulullah saw?” tanya sang pemuda
“Ya. Aku adalah Muhammad saw. Nabi dan Rasul kalian.”Jawab manusia agung itu.
“Bagaimana aku bisa yakin bahwa engkau adalah Rasulullah saw. Tunjukkan buktinya padaku?” tanya sang pemuda yang masih tak yakin.
“lihatlah tanda kenabianku” jawab Rasulullah saw sambil menunjukkan bagian tengkuknya.

Aku kemudian memandanginya lekat-lekat. Dari ujung rambut hingga kakinya. Dari semua buku yang pernah aku baca tentang sifat dan ciri-ciri fisik. Semuanya memang ada pada diri manusia yang agung ini.
Tak berselang lama,datanglah orang yang lebih aku kenal. Dia adalah ibuku. Aku cium tangannya dan mengucapkan salam.

“Anakku, dia adalah Rasulullah saw. Tak perlulah kamu ragu kepadanya. Bukankah ibu telah menceritakan kepadamu sejak dalam kandungan? Setiap menjelang tidur tak lupa pula aku menceritakan kisah hidupnya kepadamu. Engkau pun memiliki banyak buku yang bercerita tentangnya. Jadi, apalagi yang masih kau ragukan? Ibunya berkata.
“Bukan aku meragukannya, ibu. Aku hanya tak yakin bahwa aku telah berada dihadapannya sekarang.” Kata sang pemuda.

“Wahai pemuda, tahukah kamu bahwa sang perindu akan bertemu dengan yang dirindukannya? Jika kamu telah beriman dengan kerasulanku yang ghaib bagimu dan bagi umat yang hidup setelah kematianku. Maka perjumpaan hari ini adalah kepastian yang tak perlu kau ragukan lagi.” Sabda Rasulullah saw.

“Sebentar lagi, kita semua akan menjadi saksi akan kebenaran kitab suci tentang perjumpaan hari ini. Inilah salah satu janji Tuhan kepada kita bahwa Ia akan bertemu dengan kita semua tanpa hijab. Kita akan benar-benar bertemu denganNya. Kita akan melihat wajahNya, senyumNya, dan kita akan mendengar perkataanNya secara langsung.” Sabda Rasulullah saw selanjutnya.

Cahaya terang kian terpancar disekeliling taman ini. Semakin lama semakin terang dan bercahaya. Aku belum pernah menyaksikan cahaya yang seterang ini.
Dan… Bersujudlah semua manusia yang hadir pada hari ini.
Kebenaran itu telah ditunjukkan sekarang.
Aku tak mampu mengungkap rasa yang bergelora di dalam lubuk jiwa. Hanya kalimat tasbih yang mampu kuucapkan.
Aku beriman…!!