Pasien, yang merupakan makhluk kompleks material spiritual sudah semestinya mendapatkan penanganan penyakit yang lebih holistik. Kesehatan holistik, menurut Wikipedia, adalah filosofi kesehatan yang memandang bahwa aspek jasad dan mental adalah dua hal yang berkaitan erat dan sama pentingnya dalam pendekatan terapi.
Tuntunan bagi seorang dokter untuk tampil menangani pasien secara holistik datang dari Islam, yang menempatkan manusia apapun profesi dan posisinya adalah seorang khalifah Allah di bumi. Dalam bukunya, Sang Dokter, Dr. Bahar Azwar Sp.B.Onk menulis bahwa seorang dokter adalah fungsionaris Allah di dunia kesehatan karena sumpah dokter selalu dimulai dengan nama Allah. Dengan begitu maka cara pandang kita terhadap manusia juga harus dengan cara pandang Islami, yang melihat bahwa manusia adalah makhluk tertinggi yang terdiri atas jasad, ruh dan akal yang menjadi satu entitas bernama al insan.
Kedudukan sebagai khalifah medis tentu memiliki tanggung jawab dan kualifikasi tertentu. Dalam buku At Thib an Nabawi (Praktek Kedokteran Nabi, Hikam Pustaka) Ibnul Qayyim al Jauzi menulis begini:
“Hendaknya seorang dokter memilki keahlian di bidang penyakit hati dan ruh serta pengobatannya. Sebab hal itu adalah pangkal yang agung untuk pengobatan badan, sebab terpengaruhnya badan dan sifat alamiahnya oleh jiwa dan hati adalah kenyataan yang telah terbukti. Dokter yang mengetahui berbagai jenis hati dan ruh serta pengobatannya maka ia adalah dokter yang sempurna. Dan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, meski ia ahli dalam pengobatan segi alamiah dan badaniah maka ia hanyalah setengah dokter. Setiap dokter yang tidak mengobati pasien dengan membersihkan hati pasien itu dan memperbaikinya dan dengan memperkuat ruhnya dengan sedekah dan perbuatan baik, dan dengan mengarahkan perhatian kepada Allah dan akhirat maka ia bukanlah seorang dokter, melainkan seorang yang berlagak dokter yang cacat.
Dari semua pengobatan penyakit, yang paling agung adalah perbuatan baik dan ihsan, ingat Allah dan doa serta sikap penuh kekhusyukan dan memohon kepada Allah serta taubat.. Tetapi hal itu sepadan dengan tingkat kesediaan jiwa pribadi dan penerimaannya (ikhlas), serta keyakinan akan manfaatnya.”
Begitulah, kalau Hippocrates yang dianggap Bapak Kedokteran (500 SM) dan para dokter sejamannya menyebut diri Demigod (Manusia Setengah Dewa) dengan segala otoritasnya, justru Islam menuntun para dokter untuk lebih tawadhu’ dengan mengemukakan konsep “Setengah Dokter”. Ibnul Qayyim secara sadar menyatakan itu sebagai sebuah bentuk taujih (pengarahan) bagi dokter muslim untuk tampil secara holistik dan mengambil peran da’awi (amar ma’ruf nahi munkar) melalui profesinya.
Ia telah mengembang tugas kekhalifahan di wilayah kesehatan dengan baik. Ia telah mengambil alih tugas keseluruhan manusia untuk memelihara kesehatannya.
Dalam Al Quran dinyatakan bahwa barangsiapa yang memelihara hidup seorang manusia maka ia menjaga hidup seluruh manusia. Ini karena menurut Imam Al Ghazali tugas belajar kedokteran adalah adalah fardhu kifayah, sebuah kewajiban bagi seluruh manusia yang cukup diwakilkan kepada sebagian orang, dalam hal ini para dokter kejatuhan pulung mengemban amanah agung. Dokter muslim, sungguh agung kedudukannya!
Bila seorang dokter bisa memiliki keahlian medis yang bertanggung jawab, memilki pola pendekatan yang lebih humanis terhadap manusia sebagai insan spiritual, memahami secara cukup masalah hati, tidak memandang pasien sebagai makhluk material semata apalagi menjadikan pasien sebagai sumber perolehan ekonomi, maka ia adalah dokter yang sebenarnya. Dokter yang ahli tetapi miskin nilai spiritual, atau banyak menguasai ilmu agama tetapi tidak kompeten maka ia bukanlah dokter.
Barangkali tidak salah kalau saya menimbrungkan pendapat bahwa antara dokter dengan pasien harus ada ‘cinta’. Sebuah formula yang mampu menumbuhkan perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab. Bukan hubungan yang transaksional, sekaku hubungan antara penjual dan pembeli, antara penyedia dan pengguna jasa. Mungkin saya salah, tetapi begitulah yang saya pahami.
Oleh: dr. Hasto Harsono