“Tiap-tiap penyakit ada obatnya, apabila suatu obat mengenai penyakit, maka sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah SWT” ( HR. Muslim)
Demikian pernyataan Rasulullah seperti juga janjinya yang telah terbukti tentang jatuhnya konstantinopel. Banyak diantara kita yang bertanya-tanya dan berharap-cemas siapa gerangan komandan pasukan yang mampu menaklukkan Roma kota berikutnya setelah penaklukan Muhammad Al-Fatih terhadap Konstantinopel.
Entah adakah yang bertanya-tanya siapa yang akan merealisasikan hadits Rasul di atas, bahwa setiap penyakit ada obatnya, adakah diantara kita yang bersegera menyambut tantangan ini ?
Aktivitas penelitian untuk mencari obat suatu penyakit nyata adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam. Tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan keseriusan setara dengan upaya dakwah di bidang lainnya, sampai jelas benar kemahakuasaan Allah yang Menghidupkan dan Mematikan makhluknya bila telah tiba di penghujung usia. Setelah itu terbukalah mata manusia, dan tidak ada lagi alasan kecuali beriman dengan sebenar-benar iman.
“Ketika obat bertemu penyakit” tidaklah berbeda dengan ketika ligan bertemu reseptornya secara kompetitif dengan mekanisme Lock & Key, atau saat Sel T CD8 bertemu sel APC, atau Histon asetilase terhadap Histon H3K4. Disana ada hukum sebab-akibat yang bekerja terkadang terjadi secara kasat mata tapi lebih sering hanya dapat dipantau aktivitas dan hasilnya, dengan izin Allah terjadi mekanisme sunnatullah yang mungkin sekali belum pernah kita fikirkan kecuali kita mau mentadabburi diri kita sendiri dengan tekhnik-tekhnik biologi molekuler dan genetika terkini.
Pada tahun 2006 sekelompok peneliti di Universits Kyoto menemukan bahwa mereka dapat memprogram ulang sel dewasa yang telah terdiferensiasi menjadi sel punca yang mirip sekali dengan karakter sel punca embrional. Tekhnologi sel punca amat dibutuhkan untuk merealisasikan mimpi kedokteran regeneratif, terobosan telah dilakukan, problem etika dan reaksi penolakan host dapat dilewati. Sekarang terbuka lapangan luas untuk mencari obat dan tehnik pengobatan yang saat ini masih mimpi, mengobati penyakit-penyakit genetika, familial, Diabetes, Stroke, Parkinson, dan lain-lain. Mimpi itu saat ini terasa amat realistis, menemukan obat untuk setiap penyakit kecuali mungkin untuk Tua dan Kematian.
Dimana umat Islam dan khususnya para aktivits dakwah dalam perlombaan global ini? Perlombaan yang sejatinya tidak lain adalah pembuktian bahwa tiap-tiap penyakit ada obatnya. Dimana kita kalau hari ini masih mempercayai klaim tanpa bukti sahih, tidak peduli mekanisme kerja dan sebab-akibat, abai terhadap kriteria nilai thayyib zat yang dikonsumsi. Pengobatan ala Nabi bagi saya adalah ketika benar-benar suatu single compound bertemu dengan target molekulnya. Takdir kesembuhan adalah terpenuhinya sebab hingga tampak akibatnya, izin Allah tidak lain adalah sunnatullah-Nya yang menunggu untuk kita singkap dan pelajari rahasianya.
Bagaimana mungkin kita tidak tergerak mengisolasi zat aktif dari berbagai obat herbal yang ada, dari jamu, ramuan, atau minyak-minyak itu? Mengisolasinya, mengkarakterisasinya, mencari target molekulnya, mengukur hasil reaksinya, memodifikasi dan seterusnya sampai didapatkan satu compound yang sahih farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Pasti tidak terfikir karena kacamatanya sudah terburu-buru menghitung nilai potensial pasar yang ada, pangkal masalahnya pada fikiran pendek.
Pekerjaan 10-20 tahun untuk menemukan satu obat terasa seperti perbuatan bodoh, kalau materi ukurannya, untuk apa bersusah payah kalau dalam 1-2 tahun saja bisa laku keras mendompleng ghirah? Padahal efek samping tidak diketahui, dosis tidak standar, variasi genetik tidak dipertimbangkan, sterilitas dipertanyakan, potensi alergi tidak tahu, bahkan efek terapinya pun belum reproducible.
Jadi kawan, maksud saya, ini ada ladang baru buat para aktivis yang keleleran, potensi besarnya tergerus materi setiap hari, ghirahnya melemah karena berkubang di kolam. Kenapa tidak kirim dia untuk ribath ke perbatasan ilmu, agar berkesempatan mencicipi pahala para pioneer. Ladang ini masih liar bagi kita, asing alam dan adat kebiasaanya, unik kendaraan dan senjatanya, amat deras arus sungai dan debur ombaknya.
Tapi bukankah untuk ini memang sebenarnya kita berdiri, berbaris dan beramal?
Oleh: dr. Indra Kusuma