Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (QS : An-Nahl : 120)
Ibrahim ‘Alalihissalam, sosok teladan yang sempurna, Bapak para Nabi sekaligus Khalilurrahman (Sahabat Dekat Ar-Rahman). Berulang kali Allah memujinya dalam Al-Qur’an dan menyatakan Nabi Ibrahim sebagai orang yang tidak mempersekutukan Allah, orang yang bersyukur, orang pilihan Allah, dan telah ditunjuki jalan yang lurus, diberi kebaikan di dunia, serta termasuk orang shaleh di akhirat kelak (surah Al-Baqarah, An-Nahl, Maryam, dll).
Bahkan dalam Al-Qur’an Allah bersabda “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim (QS : Asy-Syuaraa: 69)”. Menunjukkan bahwa dalam setiap episode kisah yang telah Allah dan RasulNya ceritakan tentang Nabi Ibrahim selalu mengandung hikmah besar yang dapat dijadikan ibrah dalam kehidupan manusia.
Berikut ini akan dipaparkan sedikit dari do’a nabi Ibrahim yang telah diberitakan Allah dalam kalamNya yang mulia. Allah berfirman :
Doa Pertama
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS : Al-Baqarah : 127)
Ayat ini berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk membangun Baitullah (Ka’bah) bersama dengan Nabi Isma’il. Hal ini merupakan keutamaan mereka berdua karena telah membina Baitullah. Kemudian, ketika mereka berdua mengangkat dasar-dasar Baitullah tersebut, mereka berdo’a “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Lihatlah bagaimana tawadhu’, rasa takut dan harap bersatu dengan seimbang dalam pribadi Nabi Ibrahim. Membangun Baitullah (rumah Allah) adalah suatu ibadah yang sangat agung, yang tidak akan Allah perintahkan melainkan pada hambaNya yang terpilih. Namun demikian, Nabi Ibrahim tetap berdoa agar Allah menerima ibadahnya karena yang penting dari suatu amal adalah diterimanya amal itu sendiri.
Setinggi apapun derajat seseorang, niscaya ia selalu membutuhkan Tuhannya agar Dia menerima amal ibadahnya. Lihatlah Nabi Ibrahim, seorang Khalilurrahman masih berdoa pada Allah agar amalnya diterima. Doa ini dapat melenyapkan sikap ujub dan takabbur dalam jiwa, sebab tidaklah suatu amal dilakukan dan suatu kejadian menimpa diri kita melainkan atas kehendak Allah. Tidak boleh kita mengatakan “Aku yang berusaha, aku yang melakukan, aku yang menjadikanku berhasil”. Janganlah membuat diri kita seperti Qarun yang dengan sombong berkata “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS : Al-Qashash : 79).
Sebagian orang, ketika ditanyai bagaimana ia bisa meraih kesuksesannya, atau bagaimana bisa memperoleh semua kekayaannya, ia akan berkata “Ini semua adalah hasil jerih payah yang telah kulakukan.” Namun, ketika musibah menimpa dirinya, ketika sakit mendera, ketika kegagalan datang, lalu ditanya bagaimana ia bisa menjadi seperti ini, ia lalu berkata “Yah, sudah takdir Allah, kalau Allah berkehendak mau bagaimana lagi?”. Mengapa ketika suatu musibah menimpa, kita lalu mengaitkannya pada takdir Allah, namun ketika kesenangan dan kesuksesan datang, kita seakan lupa padaNya dan hanya mengaitkan keberhasilan pada diri kita sendiri?
Inilah nabi Ibrahim, dengan segala keteladanannya yang diliputi sikap tawadhu’, khauf (takut) dan raja’ (harap) pada Rabbul ‘Alamin. Sesungguhnya inilah contoh nyata sikap yang sesuai dengan firman Allah : “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS : Al-Mu’minun:60)
‘Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah tentang tafsir ayat ini. Beliau bertanya, “Apakah mereka orang-orang yang meminum khamar dan pencuri?” Nabi menjawab, “Tidak, wahai ‘Aisyah. Bahkan mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah namun mereka takut amal kebaikannya tidak diterima. Mereka itu termasuk orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan.”
Rasulullah Muhammad Shallallhu ‘alaihi wa sallam juga telah mencontohkan hal ini dalam salah satu sunnahnya ketika dzikir selesai shalat fardhu. Istighfar sebanyak tiga kali sebagai salah satu dzikir dimana kita memohon ampunan pada Allah atas ketidaksempurnaan ibadah yang telah dilakukan. Sungguh pada diri mereka telah terdapat suri tauladan yang baik.
Doa Kedua
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS : Ibrahim : 35)
Lihatlah doa yang agung ini. Seorang Nabi Ibrahim yang telah Allah jamin sebagai orang yang tidak mempersekutukan Allah masih meminta perlindungan dari perbuatan syirik. Inilah sikap yang benar dari orang yang mengenal dengan baik Tuhannya. Dalam doa ini Nabi Ibrahim meminta perlindungan dari syirik yang benar-benar terlihat zhahirnya, yaitu dari menyembah berhala. Padahal, pada ayat selanjutnya Nabi Ibrahim mengetahui bahwa berhala itu telah menyesatkan manusia. “Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia,…” (QS : Ibrahim : 36).
Jika saja seorang Nabi Ibrahim begitu takutnya pada kesyirikan, lalu bagaimana dengan kita, hamba lemah, faqir, dan tentu bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Khalilurrahman. Oleh karena itu Ibrahim at Taimi mengatakan, “Siapakah yang merasa aman dari tertimpa musibah kesyirikan setelah Ibrahim ‘alaihis salaam?!”(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim). Tidak ada yang merasa aman terjerumus dalam kesyirikan kecuali orang yang bodoh dalam memahami tauhid dan tidak mengerti larangan dari berbuat syirik. Karena itu sungguh salah besarlah orang yang menganggap sepele dakwah kepada tauhid. Mereka lebih mementingkan dakwah untuk perbaikan akhlak, penyucian jiwa (tazkiyatun nufus), atau dakwah politik daripada dakwah pada tauhid. Padahal akhlak paling besar adalah akhlak seorang hamba kepada Rabbnya dengan tidak menyekutukannya. Padahal tazkiyatun nufus paling utama adalah menyucikan jiwa dari noda noda kesyirikan. Padahal dakwah paling besar dan paling agung adalah dakwah pada tauhid. Allah berfirman :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. [An-Nahl : 36].
Berikut ini akan dinukilkan sebuah kisah menarik tentang tauhid dari buku Bahtera tauhid karangan Dr. Muhammad Al ‘Arifi.
“Tersebutlah seorang syaikh yang telah menulis sebuah kitab yang menjelaskan tentang urgensi tauhid. Dia menjelaskan kepada para muridnya dan terus mengulang ulang pembahasannya.
Suatu hari murid-muridnya berkata : Wahai syaikh, kami berharap Anda mau mengganti pelajaran yang Anda sampaikan kepada kami dengan materi-materi yang lain, seperti kisah, siroh dan sejarah.” Syaikh itu menanggapi: “Insya Allah akan saya pertimbangkan.”
Keesokan harinya dia keluar menemui murid-muridnya dengan wajah yang menyiratkan kesedihan dan beban pikiran. Mereka pun bertanya tentang hal yang menyebabkan beliau bersedih. Dia menjawab : “Aku mendengar bahwa seorang warga kampung tetangga menempati rumah baru, dia merasa takut diganggu jin, lalu dia menyembelih seekor ayam jantan di ambang pintu untuk mendekatkan diri pada jin, dan aku telah mencari seseorang untuk mencari kebenararan berita tersebut.”
Ternyata para muridnya tidak bereaksi apapun mendengar berita tersebut. Mereka hanya berdoa memintakan hidayah bagi orang tersebut, mereka hanya terdiam.
Keesokan harinya syaikh kembali menemui mereka dan berkata : “Kami telah mendapatkan kejelasan berita tersebut, ternyata peristiwanya tidak seperti yang aku dengar. Lelaki tersebut tidak pernah menyembelih seekor ayam jantan untuk mendekatkan diri pada jin, tapi yang dia lakukan adalah berzina dengan ibunya.”
Kontan mereka gempar dan marah. Mereka memaki-maki dan mengoceh banyak. Mereka berkata :”Perbuatannya harus digugat, dia harus dinasehati, dia harus dihukum” Dan banyak lagi umpatan mereka.
Kemudian syaikh berkata : ”Sungguh aneh kalian ini. Begitukah reaksi kalian mengingkari orang yang terjerumus satu perbuatan dosa besar padahal perbuatannya tidak mengeluarkannya dari Islam. Tapi kalian tidak mengingkari orang yang terjerumus dalm kemusyrikan menyembelih untuk selain Allah, dan mengalamatkan ibadah kepada selain Allah?”
Murid-muridnya pun terdiam. Kemudian syaikh menunjuk salah seorang dari mereka sambil berkata : ”Bangun dan ambilkan kitab tauhid, kita akan membahasnya dari awal!”
Inilah sepenggal tulisan yang berusaha menggali setitik hikmah dari luasnya samudera hikmah kisah Nabi Ibrahim. Semoga tulisan ini menjadi nasehat bagi diri saya terutama, dan bagi kita semua. Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan mengampuni dosa kita serta menjadikan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat.
T. Qivi Hady Daholi – Medan