Gue baru baca kehebohan yang ditimbulkan oleh berita seorang pramugari tertangkap kamera sedang shalat dalam keadaan duduk di pesawat. Padahal, dulu gue juga sering melakukannya di dalam bis Patas, saat ngantor di Tanah Abang dan pulang ke Depok, tapi sayang tidak ada yang candid, karena mungkin gue tidak semenarik pramugari. Hiks..
Alasan gue dulu semata-mata karena bis yang gue tumpangi tiba di Depok saat udah lewat waktu Isya’. Emangnya mau maghriban di mana lagi? Turun di tengah jalan tol kan tidak mungkin. Si pramugari masih mending shalatnya di antara kursi kosong, gue dulu melakukan di antara penumpang yang penuh, jadi sensasi tantangan melawan “riya”-nya itu lebih berat. Bahkan bikin status begini pun sebenarnya berat juga, karena pasti ada aja anggapan riya’, dan memang tidak ada jaminan si riya’ tidak menyusup. Whatever lah, toh niat gue ya cuma gue yang tau. Mau dianggap riya’ silahkan, tapi gue lebih suka menyebutnya “syiar”.
Setahu gue, yang indikasi riya’ terang-terangan itu kalau kamu update status mau shalat, tanpa ada basa-basi sekadar kesan ngajak. Nah, banyak nih teman gue kayak begini, apalagi di BBM. Andai bisa di-broadcast mungkin udah di-broadcast. Kadang pengen gue balas bikin status: “Hellooow.. itu kewajiban lo, keleees… Ngapain bikin reportase pandangan mata?”
Gue bahkan pernah lihat orang bikin status: “Lagi shalat, sudah dua rakaat, tinggal dua rakaat lagi, tetap cemungudh..”
Ealaaah.. Gilingan…
Tentang riya’ ini Sayydina Ali pernah berkata: “Beramal dengan takut riya’ adalah suci dari riya’, sedangkan meninggalkan amal karena takut riya’ adalah riya’”.
Bingung? Sama! Hehe..
Jadi mungkin maksudnya begini, misalnya kamu pengen bersedekah pada pengemis tapi tiba-tiba amalan sedekah ini kamu batalkan karna takut riya’ di liat banyak orang, maka tanpa disadari ini udah termasuk riya..
Nah sama juga kayak kasus di atas, kamu pengen shalat di perjalanan tapi karena takut dianggap riya’ oleh penumpang akhirnya tidak jadi, dan kamu lebih rela melewatkan satu waktu shalat ketimbang dicap riya’, padahal niscaya justru inilah riya’. Geer bin pede banget ada yang merhatiin. Hehe..
Kalau berada dalam situasi takut riya’ kayak gini, amannya sih perbanyak istighfar aja, tetap lakukan dan jangan urungkan. Diterima atau nggaknya itu urusan Allah. Wallahu’alam bis shawab..
Tanpa bermaksud nyinyir dengan pemberitaan si Mbak Pramugari, kita umat Islam mestinya bukan salut, tapi lebih ke miris, ketika shalat di perjalanan sudah menjadi sesuatu yang aneh dan keren. Padahal shalat adalah perkara yang pertama kali dihisab pada hari perhitungan kelak. Bukan gelar haji, ngaji, atau seberapa luas sosialisasi.
Seorang wartawan teman gue di kantor belum lama ini meninggal dunia karena kanker. Ibu muda ini aktif banget bolak-balik ngejar berita, kadang sampe malam di ruang redaksi. Saat meninggal, suaminya cerita kalau selama hampir 10 tahun mereka berumah tangga sekalipun tidak pernah ia sengaja meninggalkan shalat, bahkan saat kankernya udah masuk stadium parah sekalipun.
Tidak nyadar gue nangis mendengarnya, karena gue tau betul kerja wartawan itu mobilitasnya tinggi, shalat bolong sudah biasa bagi sebagian dari mereka. Yang sehat-sehat itu mestinya malu dan bisa ngambil pelajaran dari almarhumah.
Beberapa waktu yang lalu sebelum Pemilu, di acara melayat seorang ibu pejabat, gue duduk melingkar dengan sesama caleg dari berbagai partai. Semuanya Muslim yang sehat-sehat dari segi fisik, entah kalau jiwanya. Nah, saat masuk waktu magrib gue perhatiin tidak ada yang beranjak. Sampe gue pulang dari masjid dan kembali masuk waktu isya’, mereka sedikitpun tidak bergeser dari tempatnya ngobrol.
Gue cuma geleng-geleng kepala.
Ada teman gue yang berbisik: “Berprasangka baik aja, bro. Mungkin mereka celananya kotor.”
Lantas gue balas: “Bukan celananya yang kotor bro, tapi kayaknya hati mereka yang perlu dibersihkan. Emang ada aturan agama kita tidak boleh shalat pake sarung? Di masjid kan banyak disediakan kalau emang mau.”
Usai pencalegan, seingat gue semua caleg yang ngumpul melingkar itu satupun tidak ada yang lolos. Pengen gue sukurin, wong menjaga amanah agama saja diingkari, gimana mau menjaga amanah konstituen? Tapi sayangnya tidak jadi gue sukurin, setelah mikir kalau yang tidak lolos itu termasuk pembuat status ini. Hiks..
Gue ketemu satu dari seorang yang tidak lolos itu belum lama ini, dan si caleg ini ngomong: “Mungkin saya lagi diuji Tuhan ya?”
Gue cuma senyum mendengarnya.
Jadi ingat salah satu kutipan ceramah KH Zainuddin MZ: “Sujud tidak pernah, ibadah susah, shalat tidak ngerti, pas lagi ada musibah bilangnya ‘gue lagi diuji’. Lah siapa yang nguji? Sekolah kagak, ikut ulangan.”
Arham Kendari