Pembahasan shalat khusyu’ tidak akan pernah ada henti dan habisnya. Tidak pandang bulu, ia akan menerpa setiap muslim dari berbagai strata sosial. Dari orang melarat, sampai orang konglomerat; dari rakyat jelata, sampai pejabat negara; dari orang berpendidikan rendah, sampai orang berpendidikan sarjana; dari orang yang berstatus sekadar muslim, sampai orang yang berstatus mukmin. Tidak hanya dalam satu atau dua kali shalat saja, namun dalam setiap shalat, khusyu’ selalu menjadi bayang-bayang dan masalah tersendiri untuk mencapainya. Hingga akhirnya memutuskan, ‘yang penting shalat’, tanpa memperhatikan lagi kualitasnya, tanpa ada lagi keinginan dan usaha untuk meraih nilai tertinggi dalam shalat, khusyu’.
Selama ini, kita selalu berpendapat bahwa khusyu’ itu adalah hal yang sangat sulit dicapai. Ketika shalat, pikiran sering melompat-lompat dan pergi ke mana-mana. Karena itu, muncullah teori pertama cara mengatasi khusyu’, yaitu dengan konsentrasi. Konsentrasi pikiran seolah-olah telah menjadi kunci mencapai khusyu’. Teori kedua, untuk khusyu’ itu harus mengerti arti bacaan shalat. Namun realitanya orang Arab pun terlihat tidak lebih khusyu’ daripada kita. Menghadirkan Allah muncul sebagai teori ketiga. Padahal mencoba menghadirkan Allah hanya akan menambah kebingungan kita sendiri, karena Allah tidak dapat diserupakan dengan apa pun juga. Dan teori terakhir, khusyu’ itu baru didapat ketika kita suci, bersih dari perbuatan dosa. Namun, seorang yang dianggap shalih dan paham agama pun, kenyataannya juga mengalami masalah dengan shalat khusyu’.
Anehnya, tiba-tiba kita bisa mendadak khusyu’. Ketika tertimpa musibah yang hebat, tiba-tiba saja kita bisa shalat dengan khusyu’ lalu berdoa sambil mengucurkan air mata. Padahal ketika itu, kita justru lupa dengan segala macam teori mengenai shalat khusyu’. Kita shalat tanpa konsentrasi, lupa memperhatikan titik tempat sujud, tapi hati dan pikiran kita tidak pernah lepas mengarah ke Allah. Kita tetap belum sepenuhnya memahami arti bacaan shalat, tapi kita merasa bisa berdialog dengan Allah. Kita lupa untuk menghadirkan Allah, tapi malah terasa Allah begitu dekat. Ketika itu pula, dosa kita tidak lebih sedikit dari sebelumnya, malah baru saja melakukan perbuatan dosa besar sehingga sangat menyesal, tapi terasa Allah menyambut shalat dan doa kita.
Lantas apa yang membuat itu bisa terjadi?
Salah satunya adalah sikap kita dalam menghadap kepada Allah. Ketika kita tertimpa musibah, maka kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri, sungguh-sungguh mengharapkan pertolongan Allah. Kita menjadi tersadar, hanya Allah-lah yang dapat mengatasi masalah kita dan mengabulkan doa kita. Sebaliknya ketika kita sedang ‘jaya’, tidak kekurangan apa pun, sikap itu sudah tidak ada lagi. Biasanya kita shalat dan berdoa hanya sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja. Seolah-olah Allah-lah yang membutuhkan shalat dan doa kita.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Al-An’am: 42)
Lalu muncul pertanyaan, mengapa harus khusyu’?
Pertama, Allah sudah menjelaskan dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1-2, “Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”
Dalam ayat tersebut, Allah tidak mengatakan secara terang-terangan bahwa orang yang shalat itu harus khusyu’. Namun Allah memberikan gambaran secara indah, bahwa ciri seorang mukmin, adalah mereka yang khusyu’ dalam shalatnya. Lantas, tidakkah kita ingin dikategorikan sebagai seorang mukmin?
Kedua, Allah secara jelas mengancam orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Seperti yang tertulis dalam QS. Al-Ma’un ayat 4-5.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud lalai dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang tidak sempurna dalam mengerjakan shalat lima waktu, menyepelekan shalatnya hingga shalat dilakukan di akhir waktu, atau pun mereka yang tidak khusyu’ dalam shalatnya.
Orang yang lalai dalam shalat saja Allah ancam, apa lagi yang meninggalkan shalat?
Ketiga, Rasullullah Saw. turut melengkapi tentang harusnya khusyu’ dalam shalat, yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. masuk ke dalam masjid dan seseorang mengikutinya. Orang itu mengerjakan shalat kemudian menemui Nabi Muhammad Saw. dan mengucapkan salam. Rasul membalas salamnya dan berkata, “Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat”. Orang itu mengerjakan shalat dengan cara sebelumnya, kemudian menemui dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau pun kembali berkata, “Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat”. Hal itu terjadi tiga kali. Orang itu berkata, “Demi Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat dengan cara yang lebih baik selain cara ini. Ajarilah aku bagaimana cara shalat”. Nabi Muhammad Saw pun bersabda, “Ketika kau berdiri untuk shalat, ucapkan takbir lalu bacalah (surat) dari Al-Qur’an kemudian rukuklah hingga kau merasa tenang (thuma’ninah). Kemudian angkatlah kepalamu dan berdiri lurus, lalu sujudlah hingga kau merasa tenang selama sujudmu, kemudian duduklah dengan tenang, dan kerjakanlah hal yang sama dalam setiap shalatmu”.
Jika kita perhatikan hadits tersebut, kita dapat menduga bahwa orang tersebut sudah mengetahui bacaan dan gerakan-gerakan shalat. Tapi mungkin pelaksanaannya dilakukan secara terburu-buru, tidak khusyu’. Hingga akhirnya Rasulullah Saw mengatakan orang tersebut belum shalat, atau shalatnya tidak sah.
Jadi, masih adakah alasan bagi kita untuk tidak khusyu’ dalam shalat? Bukankah kita tidak ingin shalat kita bernilai sia-sia nantinya, berlelah-lelah, namun tak berbuah?
* * *
Sebagian orang memberikan kesan yang kuat bahwa salah satu tanda khusyu’ itu adalah ketika seseorang tidak lagi merasakan sakit yang dialami, tidak lagi merasakan dirinya, seakan lepas dari alam dunia. Tidak merasakan dan tidak memikirkan apa-apa lagi. Apakah seperti itu shalat khusyu’? Siapakah orang yang paling khusyu’? Pasti kita sepakat, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah orang yang paling khusyu’ shalatnya. Seperti itu kah shalat beliau? Bukankah ketika beliau memimpin shalat, tiba-tiba mendengar tangis anak kecil, lantas beliau mempercepat shalatnya? Bukankah pernah setelah shalat, beliau bergegas pulang tanpa sempat berzikir, karena ada sedekah yang belum dibagikan?
Ternyata beliau peka dan tanggap kepada lingkungannya. Beliau tetap mendengar dan melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Lintasan-lintasan pikiran pun tetap ada ketika beliau shalat. Justru beliau membawa masalah yang menimpanya ke dalam shalat.
Ironinya, kita sering mengasosiasikan khusyu’ dengan kontemplasi, semedi, atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktik ritual agama lain. Kita menjadi lupa bagaimana Al Quran menjelaskan mengenai khusyu’ itu.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 45-46)
Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu’ bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah. Kita yakin bahwa Allah sedang melihat shalat kita, yakin bahwa Allah menjawab setiap doa dalam shalat kita.
Kata khusyu’ sendiri disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam beberapa surat: hina dan menunduk (QS. Al-Ghasiyah: 2, QS. An-Nazi’at: 9, QS. Al-Qamar: 7); rendah dan tenang (QS. Thaha: 108); merendah dan menundukkan diri (QS. Al-Hasyr: 21, QS. Al-Qalam: 43); kering dan mati (QS. Fushshilat: 39).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan, bahwa untuk mendapatkan rasa khusyu’ kita hanya perlu bersikap seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan berserah diri kepada-Nya. Sikap yang patut kita lakukan ketika menghadap Allah adalah tenang, menundukkan pandangan, dan merendakan diri serendah-rendahnya. Sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba yang hina di hadapan Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Agung. Seperti sikap bumi kering kerontang di musim kemarau mengaharapkan pertolongan dari Allah dalam bentuk curahan hujan agar dapat kembali subur.
* * *
Selain sikap dalam shalat seperti yang dijelaskan di atas, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencapai shalat khusyu’. Pertama, sempurnakan wudhu’. Karena wudhu’ adalah pemisah antara dunia kegelisahan, aktivitas kerja, dengan dunia ketenangan, aktivitas ibadah. Wudhu’ yang baik dan benar, adalah gerbang awal menuju shalat khusyu’.
Kedua, siapkan diri. Ketika hendak shalat, kita harus sadar penuh, kita harus yakin, kita akan menghadap Sang Pencipta, pemilik segala kerajaan, maka berikanlah persembahan yang terbaik. Siapkan diri kita sebagai orang yang beriman. Yaitu orang yang bergetar hatinya ketika disebut asma Allah.
Ketiga, sempurnakan gerakan shalat, terutama gerakan rukuk dan sujud. Mengapa harus gerakan rukuk dan sujud? Karena gerakan rukuk dan sujud akan membantu jiwa mencapai ketundukan dan kerendahan. Sikap tubuh yang membungkuk pada rukuk akan membantu jiwa kita untuk tunduk dan hormat kepada Allah. Demikian pula meletakkan kepala pada posisi yang paling rendah, akan membantu kita untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Jika rukuk dan sujud tidak sempurna, maka dapat dipastikan bahwa jiwa kita belum mencapai ketundukkan dan kerendahan sebagaimana yang diharapkan. Artinya, tidak mungkin meraih kesempurnaan shalat, yaitu turunnya rasa khusyu’, rasa tunduk, rendah, dan tenang di hadapan Allah.
Lakukan evaluasi, apakah gerakan shalat yang biasa kita lakukan dari takbiratul ihram sampai salam sudah sesuai dengan yang dicontohkan Rasullullah Saw? Ketika rukuk, apakah punggung kita telah lurus sehingga jika diletakkan gelas berisi air tidak tumpah?
Keempat, ingat bahwa bacaan bukan panglima. Lamanya shalat tidak ditentukan oleh cepat lambat atau panjang pendeknya bacaan. Perpindahan antara satu gerakan ke gerakan lain dalam shalat ditentukan oleh selesainya bacaan, seolah-olah bacaan menjadi aba-aba dalam shalat. Lantas apa yang menentukan?
Jawabannya adalah thuma’ninah. Thuma’ninah diartikan sebagai berhenti sebentar dalam setiap gerakan hingga seluruh tulang dan persendian kembali pada posisi yang tepat dan tubuh terasa tenang. Thuma’ninah adalah salah satu kunci utama untuk mencapai shalat khusyu’. Karena kesempurnaan gerakan tidak mungkin dicapai jika kita terburu-buru dalam melaksanakan shalat. Gerakan-gerakan shalat harus dilakukan dengan perlahan dan penuh perasaan. Begitu juga dengan bacaan shalat, harus dilakukan dengan tenang, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-A’raf ayat 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut…”
Tetapi karena thuma’ninah bukan merupakan gerakan atau bacaan, maka ia sering dilupakan orang ketika shalat. Padahal thuma’ninah termasuk dalam rukun shalat, dan berarti tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, maka shalatnya tidak sah!
Kelima, yakinlah bahwa Allah sedang menjawab setiap lantunan doa kita dalam shalat. Kita harus yakin, kita dapat merasakan jawaban Allah tersebut. Bukankah Allah itu Maha Mendengar Maha Dekat, dan Maha Pengabul doa?
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Oleh: David Hadi, Politeknik Telkom Bandung
Facebook – Twitter – Blog
Referensi:
Shalat Khusyu’ Itu Mudah