Siapa yang Berkepentingan dengan Instabilitas di Turki?

Suka atau tidak suka, mereka ini adalah kelompok lobbi kuat yang ada di sekitar Gedung Putih. Manuver dan aksi kasak kusuk mereka sangat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri AS. Mereka ini adalah kelompok konspiratoris yang secara konsisten mewaspadai dampak kebangkitan dan lebih jauh kendali kelompok Islam dalam peta politik Turki.

Dampak itu adalah -diantaranya- meningkatnya peran politik kelompok Islam di dunia internasional, akseptasi determinan Hamas dalam penyelesaian konflik Timur Tengah, kebekuan hubungan Turki-Israel, dan relatifnya stabilnya perekonomian Turki di tengah goyahnya Eropa. Mereka ini adalah kelompok yang sangat kecewa jika pemulihan hubungan diplomatik Turki-Israel ternyata tidak berimplikasi sama sekali dalam kedekatan hubungan tradisional kedua negara seperti dahulu, padahal Israel telah terlanjur meminta maaf.

Mereka ini mengintai dan mengeksploitasi setiap kelemahan menjadi ‘windows of opportunity’ (peluang) untuk menghantam kelompok Islam. Momentum demo kalangan enviromentalis sepenuhnya dimanfaatkan atau lebih tepat dieksploitasi menjadi manuver dua sisi mata koin: anti pemerintahan dan sekaligus ANTI ISLAM.

Lihatlah iklan anti pemerintahan yang dipasang kalangan lobbi tersebut di Koran NEW YORK TIMES. Ketika iklan itu dikecam keras Erdogan, “Apa yang menjadi landasan moral kelompok lobbi sehingga concern dengan isu dalam negeri Turki?”

Mereka menjawab, “Kami menghormati amandemen pertama Amerika yang memberi kekebasan berpendapat bagi siapapun, termasuk memasang iklan anti pemerintah.”

Benarkah? Bukankah ini sekadar dalih bagi kepentingan propaganda dan provokasi internasional melalui kelompok dan media mereka?

Menteri urusan Uni Eropa, Turki Egemen Bagis membantahnya. Kelompok Libertan hanya mau memasang iklan sepanjang sesuai kepentingan mereka. Dulu, dia bersama rekan-rekannya yang tinggal di AS berinisiatif memasang iklan “PEMBANTAIAN ARMENIA TIDAK PERNAH TERJADI.” Namun koran itu menolak dan tidak memberikan alasan. Bagis mengatakan, “Kami pada waktu itu NGO. Kami juga ingin mengekspresikan kebebasan berpendapat kami. Namun jika kebebasan itu tentang kami, telinga mereka jadi tuli. Mengapa mereka tiba-tiba peka dengan problema kami di dalam negeri?”

Kedutaan AS tidak kurang cerobohnya memasang Twitter yang mengabarkan 17 orang tewas karena kebrutalan aparat, namun kemudian menghapusnya (karena salah). Erdogan-pun menyindir sikap pemerintah AS itu.

“Mereka yang mencoba menceramahi kami (tentang kebebasan dan aksi berlebihan aparat di lapangan Taksim), apa yang telah mereka lakukan saat insiden “OCCUPY WALL STREET”? Gas air mata, 17 orang mati disana. Dana apa saja reaksi mereka atas peristiwa itu?”

Bau busuk tikus got (smellls rat) kini tercium menyengat, apa yang menjadi motif dan target dibalik dukungan internasional atas aksi di lapangan Taksim?

Silahkan Anda jawab sendiri.

Mungkin tidak dalam konteks instabilitas keamanan, karena stabilitas keamanan Turki menjadi kunci stabilitas Eropa. Namun lebih karena, rivalitas kesejarahan (baca: ideologi) dan ekonomi antara Turki vis a vis negara-negara utama Eropa. Jerman, Perancis, Inggris dan Austria misalnya sangat keberatan dengan masuknya Turki dalam Uni Eropa. Keberatan mereka menjadikan proses keanggotaan Turki terseok-seok dalam ketidakpastian lebih dari dua dekade. Maka dalam konteks ini, setiap ‘ketidaksesamaan’ (deliberativeness) dalam langkah politik Turki akan menjadi amunisi politik atas dalih standar Eropa.

Sesaat usai bentrokan polisi dan demonstran, parlemen Uni Eropa segera mengeluarkan resolusi keprihatinan atas penggunaan ‘kekerasan yang berlebihan’ terhadap para demonstran. Uni Eropa mendesak diadakannya penyelidikan yang mnyeluruh dan segera atas insiden kekerasan tersebut. Negosiator Uni Eropa untuk keanggotaan Turki, Stefan Fule menyatakan kekecewaaanya dalam tweet-nya: “Kesempatan untuk mencapai kesepahaman pentingnya sikap saling menghormati dan terbukanya dialog hilang.”

Lebih jauh, Fule mengancam, “Setiap pendekatan yang dibangun atas konfrontasi dan pembedaan (masyarakat) menjadi sumber pemasalahan serius tidak hanya bagi masayarakat Turki, namun juga UNI EROPA.”

Fule juga mendukung keengganan sikap negara-negara Uni Eropa melanjutkan negosiasi sebelum Turki merespon tuntutan mereka.

Tindakan itu tidak pelak mengundang kemarahan Erdogan. Baginya, sikap ini merefleksikan standar ganda (baca: arogansi) dan kegagalan Eropa melihat dirinya sendiri. “Apa yang telah Uni Eropa lakukan ketika bentrokan terjadi antara polisi dan rakyatnya karena pertemuan G8 (pemberian dana talangan kepada Yunani)? Mengapa Anda beraninya kepada Turki yang notabene negara kandidat, bukan NEGARA ANGGOTA? “

Menlu, Ahmet Davutoglu menolak resolusi ‘satu sisi’ tersebut. Resolusi itu gagal melihat permasalahan secara adil karena mencitrakan, pemerintah selalu salah (berlebihan) dan demonstran selalu benar (damai). Menurutnya, setiap aksi demonstrasi yang tidak sesuai standar demokrasi, maka tindakan penghukuman harus ditegakkan, termasuk penggunaan gas air mata dan meriam air. Dan tindakan standar itu telah dilakukan atas demonstran anarkis di Yunani, Jerman dan Inggris baru-baru ini.

Ketegangan Turki-Uni Eropa lebih tepat dilihat sebagai ketegangan kepentingan dan pengaruh (sphere of influence) bukan karena isu penanganan demonstransi dan kebebasan berekspresi. Insiden Gezi Park selalu dapat dilihat sebagai ‘windows of opportunity’ bagi negara-negara utama Eropa untuk mengekspresikan penolakan dan penyangkalan mereka atas dasar argumen politik yang tidak sempurna (incomplete argument).

Wallahu A’lam.

 Ahmad Dzakirin, S.S., M.Sc.

Penulis buku Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu