Beberapa bulan ini Syi’ah Indonesia senantiasa menjadi pemberitaan di media, baik cetak, elektronik, hingga daring. Pemberitaan mengenai pertikaan Syi’ah dan Sunni di sejumlah daerah membuat sebagian kuli tinta mencari informasi mengenai Syi’ah pada beberapa tokoh Islam tanah air dari berbagai organisasi masyarakat.
Sebagian menyatakan bahwa Syi’ah bukanlah Islam, sebagian menyatakan bahwa Syi’ah merupakan aliran sesat, sebagian lagi menganggap bahwa Syi’ah merupakan salah satu mazhab Islam sebagaimana 4 mazhab Sunni yang lain.
Para tokoh yang dimintai pendapatnya seringkali berbicara atas nama pribadi, bukan atas nama organisasi masa yang menaunginya, namun media mengabarkan bahwa pernyataan oknum tokoh tersebut sebagai pernyataan resmi organisasi, padahal sebenarnya tidak demikian. Salah satu organisasi massa yang berbeda pendapat dengan oknum-oknum tokohnya mengenai status Syi’ah adalah Muhammadiyah.
Dikutip dari Majalah Tabligh, yang merupakan terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, edisi No. 7/IX/Jumadal Awal-Jumadil Akhir 1433 H, hal 5, disebutkan bahwa akhir-akhir ini Syi’ah kembali mendapat sorotan, terlebih setelah muncul kasus di Sampang Madura dan yang terakhir di Suriah, dan lain sebagainya. Bahkan di forum-forum pengajian pun persoalan Syiah ini selalu diangkat menjadi tema pengajian.
Hal tersebut juga mendapat perhatian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sehingga dalam sidang plenonya telah mengeluarkan sikap yang berhubungan dengan kelompok Syi’ah tersebut. Di antaranya adalah sebagaimana disampaikan Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih dan Tajdid, Prod. DR. H. Yunahar Ilyas, bahwa:
Pertama: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ma’shum. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep kesucian Imam-imam (Ishmatul Aimmah) dalam ajaran Syiah.
Kedua: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, jadi kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum adalah sah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep rafidhahnya Syiah.
Ketiga: Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Keempat: Syiah hanya menerima hadis dari jalur Ahlul Bait, ini berakibat ribuan hadis shahih –walaupun diriwayatkan Bukhari-Muslim- ditolak oleh Syiah. Dengan demikian, banyak sekali perbedaan antara Syiah dan Ahlus Sunnah baik masalah aqidah, ibadah, munakahat, dan lain-lainnya.
Sikap tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya, sehingga dengan demikian kita bersikap waspada terhadap ajaran dan doktrin Syiah yang memang sangat berbeda dengan faham Ahlussunnah yang banyak dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.
Di samping itu, realitas, fakta dan kenyataan menunjukkan pada kita bahwa di mana suatu negara ada Syi’ah hampir dapat dipastikan terjadi konflik horizontal. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian kita semua jika ingin negara kesatuan Republik Indonesia tetap utuh dan ukhuwah Islamiyah tetap terjaga.
Demikian sikap resmi Muhammadiyah setelah melalui sidang pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sehingga pendapat pribadi oknum tokoh Muhammadiyah tidak dapat dijadikan pegangan dan sandaran sikap kaum Muslimin pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya.