Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan liberalisme yang mulai muncul pada tahun 1648 setelah tercapainya perjanjian Westphalia, perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa yang selanjutnya menetapkan bahwa sistem negara mereka adalah merdeka yang didasarkan pada kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja, dengan anggapan bahwa negaralah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sementara agama diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja.
Liberalisme semakin berkembang dengan sokongan rasionalisme yang menyatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala sesuatu secara komprehensif yang kemudian melahirkan pendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya dan mempertahankan kebebasan manusia dalam hal kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan individu dan kebebasan hak milik. Dari kebebasan hak milik inilah dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, dimana kapitalisasi menjadi corak yang paling menonjol dalam sistem ekonomi ini.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasakan kepentingan pribadi, dimana nilai produksi dan konsumsi semata-mata untuk menggaet profit. Sistem kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Asas kapitalisme adalah kepuasan sepihak, alias setiap keuntungan adalah milik pribadi.
Contoh paling mudah dari sistem kapitalisme ini bisa digambarkan dari aktualitas Amerika Serikat yang meyakini bahwa mereka adalah penganut sistem ekonomi campuran (kapitalisme dan sosialisme), pada dasarnya mereka tetap tidak bisa lepas dari unsur kapitalis dalam prakteknya.
Hal ini diungkapkan oleh seorang ekonom Joseph A. Schumpeter sebagai ‘sistem destruksi kreatif’. Dimana menurutnya, setiap perusahaan dalam pasar kecil maupun pasar kompetitif, akan selalu dapat berjalan ke arah yang lebih baik setelah restrukturisasi, yaitu dengan selalu mengadakan pergantian pekerja dan pergantian modal, karena mereka akan selalu digantikan dengan yang lebih baik. Tiap individu juga diyakini mampu menghasilkan modal sendiri, tanpa perlu mencemaskan campur tangan pemerintah.
Sekilas cara pandang ini terlihat normal, dimana komponen-komponen pasar tersusun rapi dalam mekanisme yang jelas. Namun hasilnya akan muncul ketimpangan dan menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian, dimana beberapa individu akan menjadi lebih kaya dari individu lain, dan yang miskin akan semakin miskin. Begitu juga dengan semakin meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas serta aksi anarki dimana-mana.
Menurut James Paulsen, kepala strategi investigasi di Wells Capital Management, Amerika Serikat sedang mengalami kebangkrutan kasat mata karena deficit keuangan negara adidaya tersebut. Tercatat defisit Amerika Serikat naik 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi USD 120 miliar atau Rp. 1.150 triliun, akibatnya Obama dan pihak legislative akan menaikkan pajak dan menurunkan belanja negara secara besar-besaran yang mulai diluncurkan per 1 Januari tahun ini.
Dalam kapitalisme, meskipun keuntungan yang didapat sangatlah besar, kemudian tercipta kompetisi sehat antar pasar tanpa risau terhadap campur tangan pemerintah, dan setiap pemilik modal bebas menentukan pekerjaan atau usaha apa yang akan mereka jalankan, tetap saja menciptakan beberapa nilai negative dan juga anomali. Kasus yang terjadi seperti perbedaan kelas ekonomi yang semakin nyata lantaran keuntungan sepihak yang hanya diperoleh kaum minoritas atau elitis saja, tanpa mengindahkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Adam Smith juga sempat mencetuskan sebuah istilah dalam kerangkan teori ekonomi yang dibangunnya; Invisible Hand. Yang dimaksud ‘tangan ghaib’ disini adalah semacam kekuatan kasat mata yang menjalankan roda ekonomi dengan sewajarnya sehingga tidak terjadi kekacauan dalam pasar. Mekanisme pasar yang terdiri dari supply and demand akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya dan Invisible hand dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat.
Meskipun Adam Smith tidak menyebutkan istilah ‘kapitalisme’ di dua bukunya; The Theory of Moral Sentiments dan The Wealth of Nations, tetapi metafora Invisible Hand jelas merujuk kepada kompetisi sehat pada sebuah transaksi antara produsen dan konsumen, yang mengarah kepada keuntungan untuk kedua belah pihak dengan frekuensi tetap sehingga mampu menimbulkan barang produksi yang semakin berkualitas tetapi harga semakin rendah. Dari sini, tentu pola yang dimaksud terdapat pada sistem ekonomi kapitalis.
Lebih lanjut, ada beberapa ciri kapitalisme yang perlu kita perhatikan dan kerap muncul di sekitar kita tanpa disadari. Beberapa ciri tersebut bisa diringkas menjadi:
Sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu.
Barang dan jasa diperdagangkan bebas yang bersifat kompetitif.
Pemilik modal bebas untuk menggunakan cara apa saja untuk meningkatkan keuntungan maksimal, dengan mendayagunakan sumber produksi dan pekerjanya. Sehingga modal kapitalis seringkali diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba.
Aktivitas ekonomi secara bebas hanya ditentukan oleh penjualan dan pembelian.
Pengawasan atau campur tangan pemerintah diupayakan seminimal mungkin. Tetapi jika dianggap riskan, negara sewaktu-waktu dapat mengeluarkan kebijakan yang melindungi lancarnya pelaksanaan sistem kapitalisme.
Riset menduduki posisi yang penting dan menentukan dalam mendorong persaingan.
Tujuan kapitalisme yang hanya berasas pada biaya produksi yang murah dan keuntungan yang tinggi realitanya berkebalikan dengan Islam, yang menganjurkan agar seorang muslim tidak sekedar menimbun uang dan menghimbau agar menyedekahkannya untuk kemaslahatan sosial, kapitalisme justru akan membentuk tatanan masyarakat yang egois, materialis dan konsumeris.