Keruntuhan komunisme di Uni Sovyet yang diikuti dengan berakhirnya perang dingin telah membawa penduduk dunia memasuki masa transisi sistem ekonomi yang kemudian diisi secara paksa oleh sistem kapitalisme dengan dalih liberalisasi dan globalisasi kepada seluruh negara-negara di dunia, terutama negara-negara di dunia ketiga.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa umat manusia sudah gerah dengan sistem kapitalisme tersebut. Krisis ekonomi yang makin parah menjadi fenomena paling mencolok. Mekanisme pasar bebas yang terdiri atas permintaan dan penawaran (supply and demand) yang dipercaya mampu mengatur kegiatan masyarakat ekonomi dengan sebaik-baiknya, ternyata tidak terwujud. Sistem ini telah menimbulkan masyarakat yang tidak egalitarian dan menciptakan keserakahan bagi masyarakat banyak, disamping itu muncul keserakahan dari para pendukung kapitalisme yang disertai individualisme.
Amien Rais secara lebih rinci memberikan sejumlah kritik terhadap kapitalisme dalam Jurnal Inovasi yang diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di antaranya:
- Kapitalisme melahirkan ketidaksamaan (inequality), atau kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Umumnya orang mengakui bahwa kapitalisme memang dapat mendorong produktivitas tinggi, tetapi tidak dapat menghilangkan ketimpangan.
- Kapitalisme yang secara teoritis memberikan kesempatan yang sama (equality of apportunity) kepada setiap anggota masyarakat, dalam kenyataannya bersifat diskriminatif. Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi, atau dekat dengan penguasa saja yang sering mendapat kesempatan.
- Semboyan kapitalisme yang berupa “berproduksi untuk dapat berproduksi lebih besar” (to produce, to produce, and to produce) menyebabkan keserakahan dan berkembangnya kehidupan yang materialistis.
- Akibat dari semboyan di atas, akan mengakibatkan pola hidup yang konsumeris. Konsumerisme sengaja didorong untuk menyerap produksi, akhirnya akan melahirkan “masyarakat pembosan” (throw-away society).
- Kapitalisme menimbulkan gejala alienasi dan anomi dalam masyarakat. Lapisan tertentu dalam masyarakat yang terlempar dalam kompetisi itu (yang tidak fit menghadapi hukum survival of the fittest) akan merasa menjadi bukan apa-apa (no body), sehingga dicekam oleh perasaan terasing dan anomi, akhirnya memunculkan fenomena lonely crowd dan one-dimensional man di tengah masyarakat.
Kegagalan sistem ekonomi kapitalisme yang paling mencolok adalah munculnya kesenjangan ekonomi antara negara-negara industri maju (kapitalisme) dengan negara-negara miskin. Kesenjangan ekonomi dunia sudah mulai menggejala sejak Perang Dunia II, saat itu AS memiliki 40 persen dari seluruh kekayaan dunia, padahal berpenduduk hanya 6 persen dari seluruh penduduk bumi.
Dan sekarang, Amerika Serikat telah menjadi korban dari sistem ekonominya sendiri. Setengah dari kekayaan dan keuntungan dari sebanyak 200.420 unit perusahaan industri di Amerika telah dimiliki dan dikuasai oleh hanya 102 unit perusahaan industri raksasa saja. Distribusi kemakmuran antar negara bagian juga tidak merata, negara federal sebelah Timur Jauh lebih kaya dibandingkan dengan sebelah Barat dan Kepulauan.
Dampak buruk dari sistem ekonomi kapitalisme mencapai klimaksnya dan langsung dirasakan juga pada tingkat regional Asia, ketika kawasan ini mengalami apa yang disebut sebagai “krisis moneter”. Pada bulan Juli 1997 apa yang disebut mitos ‘Keajaiban Asia’ mulai memudar dari Thailand. Krisis bulan Juli itu langsung memaksa Thailand yang sudah kehabisan cadangan devisa untuk berpaling meminta bantuan kepada IMF. Di luar dugaan krisis ini akhirnya berlarut dan merembet ke seluruh ASEAN termasuk Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 Pemerintah RI terpaksa meminta bantuan IMF dan melakukan langkah drastis melikuidasi 16 bank. Pada akhirnya krisis ini melanda hampir semua negara-negara di kawasan Asia.
Jika pada abad 21 nanti seluruh negara-negara di dunia ini harus memasuki apa yang mereka (kapitalisme) sebut sebagai “Tata Ekonomi Dunia Baru” melalui World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia, organisasi ini akan menguasai secara sempurna seluruh sektor perdagangan, perekonomian, moneter, perburuhan, pertanian, jasa, keimigrasian, dan perundang-undangan yang berkaitan dengan itu semua di dunia ini. Seluruh negara-negara di dunia dipaksa untuk membuka seluruh pasarnya dan harus siap berkompetisi secara bebas dan terbuka, tidak peduli apakah itu negara maju atau negara melarat. Keadaan ini akan memberi peluang yang lebih besar kepada golongan ekonomi kuat, sehingga ketimpangan dengan golongan ekonomi lemah akan semakin meningkat.
Dengan mulai goyahnya tatanan ekonomi dunia, akhirnya banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negara-negara besar itu. Dan melihat kenyataan itu dunia sekarang sebenarnya sedang menantikan kehadiran suatu sistem ekonomi alternatif yang benar-benar dapat mengatasi problem ekonomi dunia. Sistem tersebut adalah sistem ekonomi Islam yang mampu memecahkan segenap permasalahan manusia khususnya yang berkaitan dengan masalah ekonomi secara menyeluruh, karena konsep ekonomi Islam itu bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sistem ekonomi kapitalisme, maupun sosialisme, termasuk neo-liberal semuanya telah pernah dicoba dan diterapkan di negeri ini, yang ternyata tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Karena itu tuntuta dan mimpi akan kesejahteraan tidak lagi bisa digantungkan digantungkan kepada sistem ekonomi yang terbukti gagal itu. Sistem yang bisa diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan itu hanyalah sistem ekonomi Islam.
Dalam bukunya Nizhamul Iqtishadi fil Islam, Taqiyuddin An Nabhani menjabarkan pemikiran dan pandangannya seputar sistem ekonomi Islam. Menurutnya sistem ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman Allah.
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa harta yang dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain.
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Q.S. Al-Hadid: 7).
Penguasaan atau istikhlaf ini menurut An Nabhani berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, syariat telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab pemilikan seperti: bekerja, berburu, mengurus tanah, warisan, hibah dan lain-lain.
Selanjutnya, menurut An-Nabhani, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang pemilikan umum, yaitu pemilikan yang berlaku secara bersama bagi semua orang. Hal ini didasarkan pada hadits dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan salah seorang Muhajirin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Manusia itu berserikat dalam tiga perkara: air, rumput dan api”
Demikian juga, menurut An Nabhani, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang pemilikan negara, seperti setiap muslim yang mati, sedang ia tidak memiliki ahli waris, maka hartanya untuk baitul maal, demikian juga contoh yang lain seperti jizyah dan kharaj dan lain-lain.
Setelah harta itu dimiliki manusia secara sah, syariat tidak membiarkan manusia secara bebas memanfaatkan harta tersebut. Syariat telah menjelaskan dan mengatur tentang pemanfaatan harta yang dibolehkan (halal) dan yang tidak diperbolehkan (haram). Syariat mengharamkan pemanfaatan harta untuk membeli minuman keras, menyuap, menyogok, berfoya-foya, dan sebagainya.
Selanjutnya sistem ekonomi Islam juga mengatur dan menjelaskan tentang pengembangan harta. Syariat membolehkan pengembangan harta dengan jalan jual beli, sewa menyewa, syirkah dan musaqat, dan mengharamkan pengembangan harta dengan jalan menipu, membungakan dalam hal pinjam meminjam dan tukar menukar, berjudi, dan sebagainya.
Problem kesejahteraan akan bisa diatasi dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memiliki politik ekonomi yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu rakyat dan memberi peluang bagi tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan masing-masing dalam sebuah tatanan dan corak masyarakat Islam yang khas.
Konsep An Nabhani yang dituangkan dalam bukunya tersebut masih bersifat normatif, sampai saat ini belum ada satu negara pun di dunai ini yang menerapkan konsep sistem ekonomi Islam An Nabhani, walaupun An Nabhani berpendapat bahwa konsepnya bukanlah merupakan konsep yang baru, melainkan sudah pernah diterapkan selama kurang lebih tiga belas abad pada zaman kekhilafahan Islam.
Wallahu a‘lam bish shawab
Referensi:
Taqiuddin An-Nabhani, The Economic Sistem of Islam, Al Khilafah Publications, London, 1997
Amien Rais, Kritik Islam terhadap Kapitalisme dan Sosialisme, Jurnal Inovasi UMY
Adi Sasono, Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suroso Imam Zadjuli, Potensi dan Kendala serta Perspektif Demokratisasi Ekonomi Politik di Indonesia.