Sitok Srengenge, kondom dan jilbab polwan. Ya, setidaknya tentang ketiga hal itulah pemberitaan nasional diramaikan beberapa pekan terakhir. Sitok Srengenge pegiat sastra di Komunitas Salihara adalah pelaku pemerkosaan hingga hamil seorang mahasiswi UI dan menolak untuk bertanggungjawab. Belakangan Sitok dikabarkan mengundurkan diri dari Salihara. Komunitas Salihara sendiri dikenal sebagai salah satu komunitas penjaja sekularisme, liberalisme, multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia. Komunitas inilah yang dulu berseberangan dengan aspirasi umat Islam terkait kedatangan Isryad Manji seorang lesbi dan pemuja lesbianisme asal Amerika. Salihara mendukung penuh bahkan mengundang Irsyad untuk berbicara.
Kondom. Kementerian Kesehatan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) di awal Desember 2013 ini dalam rangka memperingati hari HIV/AIDS sedunia. Bekerjasama dengan perusahaan produk kondom dan dengan dalih pencegahan resiko tertular HIV, kemenkes menjajakan kondom ke berbagai wilayah di tanah air. Kegiatan yang muncul dari sesat fikir ini menuai protes keras dari masyarakat luas. Masyarakat menilai pemerintah telah mendorong perilaku seks bebas justru dengan menggunakan uang rakyat sebesar 25,2 milyar. Pemerintah dianggap tidak mampu memetakan masalah dan mencari akar permasalahan dari kasus HIV/AIDS. Semestinya, menuntaskan masalah harus dicari akar permasalahannya. Dipastikan, tanpa menumpas akar masalah, masalah tidak akan pernah selesai.
Beratus Milyar sekalipun dikeluarkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dengan pembagian kondom tidak akan berhasil. Bahkan pembagian kondom sama saja dengan mengampanyekan seks bebas. Apa akar persoalan HIV/AIDS? Hubungan seksual bukan dengan pasangan halal. Inilah biang permasalahannya. Solusinya sederhana, lakukan hubungan seksual dengan pasangan halal. Adapun penyebaran melalui ibu yang terinfeksi HIV terhadap bayinya atau jarum suntik dan lainnya bukanlah akar dan penyebab utama munculnya penyakit mengerikan ini. Penyebab utamanya adalah perilaku seks bebas yang dimurkai Allah. Solusinya adalah mencegah murka Allah dengan menjaga dan meningkatkan moralitas bangsa melalui penguatan nilai-nilai religiusitas di masyarakat.
Dr. Kemal Siregar, Sekretaris KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) mengatakan, “Hampir 80% penularan HIV berasal dari hubungan seks tidak aman.” TIDAK AMAN katanya, bukan TIDAK HALAL. Jadi, bagi pemerintah (KPAN), soal seks halal atau tidak bukan sesuatu yang penting. Tidak masuk hitungan. Inilah cara pandang sekuler, laa Diniyah yang memandang dan meyakini bahwa agama tidak penting atau agama adalah urusan individu. Na’udzubillah
Di pekan-pekan yang sama muncul kasus telegram rahasia Polri yang menunda penggunaan jilbab bagi para polisi wanita. Kritikan deras mengalir ke tubuh Polri. Semua elemen bangsa menganggap Polri telah menyepelekan persoalan HAM bagi polisi wanita muslimah untuk menunaikan kewajiban agamanya. Alasan yang dikemukakan Polri pun disebut sangat tidak masuk akal. IPW menilai Polri mengada-ada. Belum seragamnya jilbab polwan harusnya dimaklumi di saat transisi. Bahkan Polwan akan dengan sukarela merogoh koceknya sendiri untuk berjilbab bila alasannya adalah belum ada anggaran.
Polri juga hanya akan memubazirkan uang rakyat dengan studi banding ke luar negeri. Apalagi Polri sudah memiliki model dan percontohan polwan berjilbab di Aceh yang selama ini berjalan baik. Semoga Polri tidak main-main dengan aturan Allah ini. Masyarakat menangkap kesan Polri tidak serius. Ketidakseriusan Polri nampak dari belum adanya kabar kapan aturan itu akan diterbitkan.
Boleh jadi bukan hanya soal aturan dan biaya kenapa Polri mengeluarkan kebijakan demikian. Ketakutan terhadap bahaya hijau (Islam) lah mungkin penyebabnya. Ini memang terkesan klise. Namun pengaruh asing dan kalangan Islamphobia di internal Polri disinyalir masih kuat. Ini yang tidak bisa dijelaskan Kapolri kepada publik. Sekalipun mungkin nuraninya sendiri menjerit. Bilakah Sutarman mampu menjadi kapolri yang independen? Kita lihat setegar apa dia menghadapi cabaran di awal tugasnya ini.
Tiga kasus di atas membentangkan benang merah bahwa Indonesia dalam situasi darurat moral. Ini sebenarnya telah disadari secara umum. Namun karena tidak ada upaya serius dalam penanggulangannya, Indonesia akan terus meluncur ke dalam jurang kehinaan. Sehingga di negeri yang mayoritas muslim ini pemerkosaan oleh sastrawan yang mestinya berbudaya (beradab) terjadi. Bisa jadi pemerkosaan pun ia anggap sebagai seni. Seks bebas dianggap halal dan keinginan Polisi wanita berjilbab sulit dilaksanakan.
Tiga kasus ini mencerminkan bahwa virus sekularisme, pluralisme, liberalisme (sepilis) dan Islamphobia sebagai musuh agama masih menjangkiti sebagian masyarakat di tanah air, sipil maupun militer. Bila penyakit-penyakit moral ini dibiarkan menyebar jangan heran bila kasus-kasus amoral akan terus bermunculan.
Kasus Sitok sebagai aktvis Salihara yang mengusung jargon liberalisme, kasus Pekan Kondom Nasional yang memfasilitasi seks bebas sebagai ciri dari masyarakat sekuler dengan pembagian kondom dan kasus Polri yang menunda penggunaan jilbab bagi Polwan sebagai indikasi ketakutan terhadap Islam adalah cerminan dari belum kokohnya jati diri bangsa. Bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius, taat akan budaya ketimuran yang sopan dan agamis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Dalam wujud nyata hal itu harus terlaksana dalam bentuk penolakan terhadap unsur-unsur perusak moral dan agama semacam sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang telah difatwa haram oleh MUI.
Wallahu A’lam
Wildan Hasan
Kabag Pengembangan Potensi Cendekiawan Muda ICMI Bekasi