Skeptis

Bagi sebagian orang, skeptis itu identik dengan kritis. Tidak cukup dengan membenarkan keraguan, kalau perlu sekalian meragukan kebenaran. Yang demikian benar-benar telah terjadi, karena kajian-kajian post-modernis sudah mengabaikan sepenuhnya masalah kebenaran. Sebab, menurut mereka, kebenaran itu absurd, sama halnya seperti kejahatan. Oleh karena itu, mereka senantiasa berada dalam keraguan. Karena sikap semacam itu, mereka menganggap dirinya cendekia dan sudah berfilsafat.

Memulai setiap pengkajian dengan keraguan adalah prinsip yang senantiasa mereka tanamkan. Prinsip “membuka pintu ijtihad” digunakan dengan memberi kesan bahwa semua pendapat terdahulu salah dan perlu diperbarui. Mereka senantiasa ragu dengan agamanya sendiri dan merasa perlu mencari ‘kebenaran-kebenaran lain’ yang tidak dapat ditemukan di agamanya itu. Bicara tentang al-Qur’an, yang dibahas adalah budaya Arab, seolah-olah al-Qur’an diturunkan untuk mendukung budaya Arab. Bahkan kalau sudah membahas hadits, tidak jarang langsung dipotong dengan retorika “Banyak hadits yang tidak shahih!”, seolah-olah tidak mungkin lagi menemukan hadits yang shahih dan bisa dipercaya kebenarannya.

Jangankan para ulama, para Nabi dan Rasul pun kerap dituduh memiliki motif politis di balik ajarannya. Sebutlah misalnya Nabi Luth as yang pernah dituduh telah mengharamkan homoseksualitas semata-mata lantaran beliau kecewa karena putri-putrinya ditolak oleh para pemuda yang kebetulan homoseks. Karena itu, menurut mereka, status keharaman homoseksualitas sudah saatnya dicabut, karena motif di balik ‘fatwa Nabi Luth as’ telah terungkap. Pendapat semacam ini dimuat dalam Jurnal Fakultas Syariah IAIN Semarang yang diberi tajuk Indahnya Kawin Sesama Jenis.

Tuduhan yang tidak layak kepada seorang Nabi yang mulia ini nampaknya memang lahir dari jiwa-jiwa yang sangat jarang berinteraksi dengan al-Qur’an. Siapa pun yang sering membaca al-Qur’an – meski orang kafir sekalipun, asal jujur – pasti mengetahui bahwa al-Qur’an tidak pernah berbicara buruk tentang manusia-manusia pilihan seperti para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia sejati, yang bisa juga berbuat salah. Hanya saja, ada dua perbedaan fundamental antara kesalahan seorang Nabi dan seorang manusia biasa. Pertama, ‘standar kesalahannya’ berbeda, sebab standar kepribadiannya pun berbeda. Apa yang wajar dilakukan seorang manusia biasa bisa jadi tidak wajar bagi seorang Nabi. Lihatlah misalnya Nabi Yunus as yang meninggalkan kaumnya. Tindakan itu dilakukannya bukan karena beliau enggan berdakwah lagi, melainkan karena beliau hendak mencari obyek dakwah yang lebih terbuka hatinya, sebab dalam pandangannya, kaumnya sudah terlalu durhaka. Demikian juga Nabi Muhammad saw yang bermuka masam karena pembicaraannya pada seorang obyek dakwah potensial – seorang pemuka kaum – dipotong oleh seorang lelaki tua yang buta. Hal-hal ini sangat manusiawi bagi manusia biasa, bahkan bisa dibilang tidak dikategorikan sebagai sebuah kesalahan. Akan tetapi, Allah SWT menghukum Nabi Yunus as dan menegur Nabi Muhammad saw. Kedua kisah ini diabadikan dalam al-Qur’an. Perbedaan kedua, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam kisah Nabi Yunus as dan Nabi Muhammad saw di atas, adalah bahwa manusia biasa bisa jadi tidak menyadari kesalahannya, meski telah lewat masa bertahun-tahun. Bisa jadi karena memang ia sama sekali tidak sengaja melakukannya, atau karena kefasikannya, sehingga Allah SWT membiarkannya berada dalam kesesatan dan tidak menegurnya lagi (na’uudzubillaah). Hal yang demikian tidak berlaku bagi para Nabi. Nabi Yunus as langsung mendapat teguran keras dari Allah SWT, demikian juga Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, para Nabi berada dalam pengawasan dan kendali penuh dari Allah SWT, sehingga setiap kesalahannya – sekecil apa pun – akan langsung dikoreksi oleh Allah. Terakhir, jika ada pula yang ingin mempertanyakan mengapa Allah harus mengutus manusia yang bisa melakukan kesalahan, maka salah satu hikmahnya adalah karena para Nabi harus memberikan keteladanan pada manusia dalam segala hal, termasuk dalam hal taubat. Jika para Nabi tak pernah berbuat salah, tentu mereka tak perlu memperbaiki diri dan memohon ampun kepada Allah. Akibatnya, umat manusia akan kebingungan karena tidak pernah melihat pribadi-pribadi yang diteladaninya itu beri­-istighfar, berderai air mata karena mengharap pengampunan dan beruban karena memikirkan akhirat.

Jika para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang memperlihatkan pemahaman yang begitu dangkal terhadap al-Qur’an, maka tentu kita bertanya-tanya: ‘syariat’ macam apa yang bisa mereka hasilkan? Prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan untuk merumuskan ‘syariat’? Jika mereka senantiasa skeptis terhadap para Nabi, al-Qur’an, bahkan Islam itu sendiri, maka mengapa mereka masih menghubung-hubungkan pemikirannya dengan syariat?

Di Barat, skeptisisme terhadap agama memang sudah berkembang lama, bermula dari kegalauan masyarakat Eropa karena ketidakmampuannya untuk memahami Bibel. Mereka pun menerima pengaruh para tokoh yang sebenarnya bukan kaum agamawan. Tiga dari sekian banyak tokoh yang menonjol adalah Sigmund Freud, Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Dari Freud, orang Barat belajar menghubung-hubungkan setiap teks dan fatwa dengan kondisi psikologis manusia di belakangnya. Dari Marx, mereka belajar untuk mencurigai setiap sikap dan tindakan manusia sebagai suatu hal yang memiliki motif politis-ekonomis. Dari Nietzsche yang memang sudah patah arang dengan Kristen dan segala konsep ketuhanan, masyarakat Barat meyakini bahwa manusia memang makhluk keji yang memiliki dorongan naluriah untuk mendominasi atau menguasai orang lain.

Ketika ajaran-ajaran Freud diadaptasi dalam penelaahan kitab-kitab suci agama, maka lenyaplah kewibawaan agama itu sendiri. Karena Bibel sudah tidak dianggap sebagai wahyu Tuhan lagi (mereka sudah lama membedakan antara Kalam Ilahi / God’s Word dan Kitab Suci / Scripture), melainkan penafsiran pribadi dari para penulis Bibel terhadap wahyu Tuhan (Bibel yang diterima adalah versi Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sedangkan versi-versi lainnya yang jumlahnya ribuan, misalnya versi Barnabas, tidak diakui), maka mereka pun mulai meneliti latar belakang psikologis dari masing-masing penulis Bibel tersebut yang menghasilkan teks yang berbeda-beda itu. Ketika menelaah keputusan Gereja, mereka berspekulasi untuk menemukan motif politis-ekonomisnya, karena pengalaman Barat memang menunjukkan bahwa Gereja tidak luput dari ambisi-ambisi semacam itu. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun menganggap kaum agamawan adalah kelompok yang berusaha menjadi penguasa sejati atas umat manusia dengan menggunakan fatwa-fatwanya. Maka Lord Acton, ahli ilmu pemerintahan dan politik di masa lampau, menyerukan retorikanya: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (setiap kekuasaan punya kecenderungan untuk korup; kekuasaan yang absolut korup secara absolut pula). Karena kaum agamawan dianggap berusaha mempertahankan kekuasaan absolutnya, maka mereka pun diyakini sebagai pelaku korupsi yang paling parah di muka bumi. Pada kenyataannya, hal yang demikian memang pernah terjadi di Barat.

Setelah didera penjajahan selama berabad-abad lamanya, bangsa-bangsa Timur memandang Barat secara ambigu. Di satu sisi, mereka membenci penjajahan, namun di sisi lain, mereka meniru para penjajahnya itu. Rendah diri yang sudah menjangkiti mereka sedemikian lama membuat mereka kebingungan dalam mendefinisikan kemajuan. Bagi mereka, yang maju adalah yang paling pandai meniru para mantan majikannya. Maka Barat pun menjadi kiblat bagi Timur, termasuk sikap skeptisnya.

Al-Qur’an tidak luput dari proyek dekonstruksi besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang terlanjur inferior ini. Mereka pikir, kalau tidak ragu maka tidaklah kritis, dan kalau tidak kritis tidaklah modern. Demi modernisasi, segala sesuatunya harus diperbarui, dan pembaruan (dalam imajinasi mereka) harus dimulai dari keraguan. Mereka ragu apakah al-Qur’an benar-benar wahyu Tuhan atau semata-mata penafsiran Nabi Muhammad saw atas wahyu Tuhan yang sebenarnya. Mengikuti skeptisisme di Barat, mereka pun mengikuti pendapat yang kedua. Oleh karena itu, mereka pun menganalisis kondisi psikologis Rasulullah saw yang menentukan jenis penafsiran yang beliau lakukan terhadap wahyu Tuhan. Tentu saja, mereka tidak benar-benar berani untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw telah melakukan kesalahan, walaupun sebenarnya memang demikianlah yang ada dalam pikirannya.

Selain meragukan al-Qur’an, mereka pun meragukan mushhaf yang kita kenal sekarang. Mushhaf yang distandardisasi oleh Khalifah ‘Utsman ibn al-‘Affan ra ini pun dicurigai sebagai bentuk rekayasa Sang Khalifah untuk memperkuat hegemoni kabilahnya sendiri. Fakta bahwa beliau memerintahkan pembakaran semua mushhaf setelah dihasilkannya mushhaf standar (yang kita kenal dengan nama Mushhaf ‘Utsmani sekarang) mereka anggap sebagai bukti bahwa ‘Utsman ra memang benar-benar telah bermain politik kotor; tujuannya tidak jauh dari kekayaan, kekuasaan dan dominasi tunggal. Mereka lupa bahwa sejarah peradaban Islam telah berjalan begitu panjang sehingga ‘Utsman ra dan keturunannya sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, sedangkan umat Muslim masih saja bersepakat menggunakan Mushhaf ‘Utsmani dan tidak pernah mencurigai motifnya. Kaum orientalis memang mengira bahwa interaksi umat Muslim dengan al-Qur’an sama saja dengan interaksi masyarakat Kristen dengan Bibel. Mereka pikir, ketika semua mushhaf selain Mushhaf ‘Utsmani dibakar, lantas umat Muslim ‘kehilangan pegangan’. Padahal, sejak awal memang al-Qur’an bukanlah sebuah teks, melainkan ayat-ayat yang dihapal. Media penyimpannya bukanlah tinta dan kertas, melainkan ingatan otak manusia. Meskipun banyak mushhaf dibakar, namun al-Qur’an masih hidup dalam ingatan umat. Dengan kata lain, jika Mushhaf ‘Utsmani menyimpang dari ayat-ayat yang diajarkan oleh Rasulullah saw, maka umat Muslim pasti akan mengetahuinya, meski mushhaf mereka dibakar.

Skeptisisme terhadap agama sejatinya adalah sebuah pilihan sikap ‘malu-malu’ untuk menyatakan keateisan seseorang. Untuk menyatakan diri tak beriman begitu sulit, namun untuk beriman secara kaaffaah begitu beratnya. Mereka menyebut dirinya kritis, namun anehnya yang dikritisi tidak pernah jauh-jauh dari agama. Di luar masalah-masalah agama, mereka jarang sekali bersikap kritis. Sebagai contoh, jika benar-benar kritis, mengapa mereka tidak meminta bukti nyata dari ayah-ibunya untuk memberi kepastian bahwa mereka benar-benar orang tua kandungnya? Jika mereka naik kendaraan umum, bus, kereta api, kapal laut atau pesawat, mengapa mereka tidak mengecek dulu apakah para pengemudinya memiliki surat ijin dan kemampuan yang memadai? Atas nama sikap kritis yang jujur, semestinyalah mereka melakukan penelitian yang komprehensif untuk mengungkap latar belakang psikologis Freud, motif politis-ekonomis Marx dan syahwat dominasi Nietzsche, sebelum mereka menelan bulat-bulat pendapat mereka tentang agama. Untuk hal-hal semacam ini, kaum skeptis biasanya hanya duduk manis.