Social Media untuk Usaha Kecil Menengah

Ya, ini tentang Social Media. Yang bahkan hingga saat ini masih ada yang bingung siapa mereka dan bagaimana menggunakannya. Terutama kalangan pebisnis. Dari social media user, praktis tidak ada problem. Kan tinggal pakai saja. Berinteraksi dengan sejawat atau keluarga mereka yang sudah lebih dulu menggunakan. Memakai sambil mengeksplorasi bagaimana cara “bermain” social media yang asik dan mengasikkan.

Tapi itu dia, beberapa kalangan pebisnis masih ada yang tidak mau menggunakan. Faktornya ada banyak. Ada yang berpikir, “ah itu kan mainan, gmana cara jualannya” ada yang memang minat dan sadar bahwa pemasaran lewat social media memang penting. Tapi mereka belum tahu caranya, belum tahu strateginya dan mau berinvestasi besar-besaran untuk social media.

Padahal, social media ini hanya teknologi yang mengubah cara pemasaran. Persis sama seperti teknologi-teknologi sejenis yang mengubah perilaku konsumsi media dan perilaku belanja masyarakat. Masih ingat, bagaimana televisi mengubah perilaku “mendengar radio” menjadi “menonton televisi”? Jadi, televisi yang lahir pada tahun 1930-an ini, dan kemudian baru booming setelah perang dunia kedua, tiba-tiba menjadi teknologi komunikasi yang tiba-tiba digunakan oleh banyak orang. Para pemasar sadar, dengan menyampaikan pesan penjualan pada target konsumen lewat media yang biasa mereka gunakan, dan diikuti dengan distribusi produk/jasa yang mereka tawarkan, maka produk/jasa mereka akan dikenal, dibeli dan digunakan berulang oleh konsumen.

Nah, keadaannya sekarang relatif tidak jauh berbeda. Keadaan bahwa teknologi mengubah perilaku konsumsi media dan perilaku belanja. Prinsipnya tidak jauh berbeda, yang utama adalah, pemasar harus mendekati konsumen, di mana pun mereka berada.

Sekarang, sifat social media online ini bagaimana? Mari kita bandingkan dengan one way communication yang diciptakan oleh televisi, radio, koran, dan lain sebagainya. Dahulu, pemasar lewat one way communication tidak peduli apa respon target audience-nya. Yang penting, inti pesan disebarluaskan lewat alat komunikasi tersebut. Dan target audience juga tidak bisa merespon balik: saya tidak suka produk ini, saya ingin yang lebih baik, dan lain sebagainya. Sebenarnya bukan tidak ada respon, melainkan teknologi komunikasinya memang tidak memungkinkan adanya respon balik yang bisa didengar oleh para pemasar.

Ini bedanya dengan twitter, facebook, blog, youtube dan social media online lainnya. Semuanya bisa saling merespon. Pengirim pesan pertama, menciptakan inti pesan, lalu mem-broadcast pada follower/friend-nya. Dan, hebatnya, yang menerima inti pesan, bisa merespon balik. Timbal balik terus-menerus, bahkan hingga, orang-orang dalam social media online, baik berhubungan tidak langsung, bisa ikut mengetahui dan merespon balik. Ini yang pertama, bisa kita sebut dengan conversation atau engagement.

Yang kedua, social media online mengenalkan gagasan baru dalam berkomunikasi. Bahwa supaya bisa berkomunikasi, maka kita harus minta izin/permisi terlebih dahulu. Dalam komunikasi pemasaran, istilahnya “permission-based marketing”. Kira-kira,”ente permisi dulu dong kalo mo gabung ma ane en nawarin barang ke ane.” Ini kan terlihat di facebook, kalau mau make a friend, mesti request dan di-accept dulu. Kalau di twitter, boleh follow, jangan harap di-follow balik kalau belum saling kenal.

Yang ketiga, bermain di social media online berarti kita bersedia untuk bergabung dalam grup/komunitas. Sama seperti komunitas offline, di dunia maya komunitas juga punya kesamaan pola pikir dan tingkah laku. Biasanya, ada kosakata tertentu yang dipahami dan diulang-ulang penggunaanya. Dan jangan dilupakan unsur yang ternyata paling penting dalam  komunitas, yaitu unsur kedekatan/kepercayaan.

Memasarkan barang di social media, membutuhkan kedekatan/kepercayaan pada level tertentu. Tidak bisa pemasar online tiba-tiba datang dan menawarkan barang, untuk kemudian transaksi selesai, dan tiba-tiba juga sang pemasar. Kedekatan dan kepercayaan ini yang harus dibangun, dan dipelihara terus-menerus. Caranya ya dengan interaksi/conversation/ngobrol. Intinya memberi manfaat kepada sesama user di social media online. Meskipun yang satu adalah brand/company, yang satunya customer. Kalau sudah dekat/percaya, bolehlah sesekali jualan. Sesekali menawarkan barang disertai diskon. Sesekali mengadakan kuis berhadiah, dan lain sebagainya.

Sifat-sifat demikian dari social media, menjadikan social media sebenarnya bukan mainan UKM saja. Melainkan company besar juga bisa menggunakannya. Tapi, ada beberapa alasan lain yang sebenarnya menguatkan alasan bagi UKM untuk menggunakan social media online tersebut:

  • Social media itu murah. Tinggal daftar, dan tinggal dikelola. Tidak ada biaya di awal, tidak ada biaya pemeliharaan. Murah kan? Cocok untuk jenis usaha yang dengan modal minim. Jadi penggunaan modal rupiah bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak. Karena praktis untuk komunikasi pemasaran, tidak perlu ada alokasi dana.
  • Social media itu ekspansinya besar. Kalau kita memakai bahasa indonesia di social media, kan tidak hanya kita saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Jadi ekspansinya bisa dari barat di aceh sampai ke timur di papua. Kalau UKM berbahasa Inggris, ekspansinya bisa lebih mendunia. Tinggal penyesuaian untuk delivery dan pembayaran saja.
  • Social media itu keren. Mau ber-social media? mesti kreatif. Dan yang kreatif itu yang keren. Mesti kreatif karena harus mengantarkan konten yang bermanfaat. Mesti kreatif karena sesekali  harus jualan. Mesti kreatif untuk melihat insight perilaku-perilaku dari social media user yang lain. Kreatif juga harus karena modal yang minim, dan tidak boleh berbiaya tinggi dari usaha bisnis yang masih kecil.
  • Social media itu bisa diukur hasilnya. Komunikasi yang keren itu komunikasi yang sekali ucap/tulis, yang mendengar/membaca banyak, dan hasilnya bisa terasa. Terasa ini yang kadang-kadang gagal dilakukan oleh media yang lain. Bukan gagal saja sebenarnya, tapi juga harus menunggu lama untuk mengetahui hasilnya. Karena social media online itu sifatnya digital, dan banyak tools pengukuran yang gratis, ini jadi alasan berikut mengapa UKM harus menggunakan social media.

Tapi namanya juga social media. tetap hanya media, yaitu penghantar konten. Adakalanya konten yang dihantar memang hanya sedikit, atau terbatasi oleh sifat social media (misal twitter yang hanya 140 karakter). Dan seringkali tidak bertahan lama. Twit-twit usianya relatif singkat, hanya satu pekan. Sesudah itu tidak bisa di-load kembali. Facebook juga mengalami masalah yang sama. Karena mereka melayani banyak user, rasanya tidak selamanya konten kita akan bertahan disana. Sampai saat ini memang masih ada. Tapi sangat mungkin suatu waktu akan diambil oleh facebook.

Jadi, kalau konten yang dihantar memang hanya sedikit, boleh saja kita fokus di social media. bila konten kita banyak sekali, maka social media saja masih kurang. Pemasar harus punya satu “rumah/kantor” yang benar-benar menyediakan konten secara lengkap: update, banyak dan tahan lama. Ketiga sifat ini yang bisa diakomodasi oleh website, karena menghilangkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh social media. kombinasi website+social media semakin sempurna, manakala social media bisa menjadi “jalan/jembatan” untuk menghubungkan komunitas yang besar di youtube/facebook/twitter kepada website brand/company.

Studi kasus yang benar, dalam contoh website+social media ini adalah yuswohady. Dengan facebook account Yuswohady, twitter account @yuswohady dan website www.yuswohady.com ,semuanya menjadi terhubung satu sama lain dan terhubung juga dengan target audience dari Yuswohady. Setiap konten yang dihadirkan dalam website, dapat dilihat juga dalam facebook dan twitter, baik berupa versi lengkap maupun hanya link-website saja.

Studi kasus lain yang menarik adalah penjualan keripik pedas dengan merek dagang “maicih” yang punya akun twitter @infomaicih. Kasus ini sangat Indonesia sekali, pertama, karena berani menggabungkan konsep online+offline marketing. Online marketing via twitter untuk memberitahukan keberadaan produk keripik pedas maicih dan offline marketing dimana agen penjualan (jenderal) bertemu dengan calon pembelinya untuk transaksi. Kedua, karena perusahaan menyediakan experience berupa “mencari di linimasa twitter lalu mengantri untuk bertemu jenderal maicih” bagi target customernya.

Oleh: Ikhwan Alim, Bandung
FacebookBlog