Status Kenajisan Bekas Jilatan Hewan

Hukum su’ru hewan atau air yang telah kemasukkan moncong hewan sangat tergantung dari hukum hewan itu apakah hewan itu najis atau tidak. Para ulama lantas membedakannya sesuai dengan kriteria itu.

1. Su’ru Hewan Yang Halal Dagingnya

Bila hewan itu halal dagingnya maka su’ru nya pun halal juga atau tidak menjadikan najis. Sebab ludahnya timbul dari dagingnya yang halal. Maka hukumnya mengikuti hukum dagingnya.

Abu Bakar bin Al Munzir menyebutkan bahwa para ahli ilmu telah sepakat tentang hal ini. Air yang bekas diminum oleh hewan yang halal dagingnya boleh digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau memberishkan najis.

2. Su’ru Anjing dan Babi

Anjing dan babi adalah hewan yang najis bahkan termasuk najis mughallazhah atau najis yang berat. Hal ini sudah menjadi kesepakatan semua ulama.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Bila

seekor anjing minum dari wadah milik kalian maka cucilah 7 kali. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salah satunya dengan tanah.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Sedangkan najisnya babi sudah jelas disebutkan di dalam Al Quran Al Kariem

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah: 173)

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama selain Allah yang tercekik yang terpukul yang jatuh yang ditanduk dan diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah adalah kefasikan.” (QS Al Maidah: 3)

Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.(QS Al A’nam: 145)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nahl: 115)

3. Su’ru Kucing

Hukum kucing itu sendiri berbeda-beda dalam pandangan ulama. Sebaigan ulama mengatakan najis dan sebagian ulama lainnya mengatakan tidak najis.

Ath Thahawi mengatakan bahwa kucing itu najis karena dagingnya najis bagi kita. Dan karena itu pula maka ludahnya atau sisa minumnya pun hukumnya najis. Sebab dagingnya pun najis.

Namun meski demikian karena ada dalil yang secara khusus menyebutkan bahwa sisa minum kucing itu tidak najis maka ketentuan umum itu menjadi tidak berlaku yaitu ketentuan bahwa semua yang dagingnya najis maka ludahnya pun najis. Minimal khusus untuk kucing.

Dalil yang menyebutkan tidak najisnya ludah kucing itu adalah hadits berikut ini:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Kucing itu tidak najis sebab kucingitu termasuk yang berkeliaran di tengah kita.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Ahmad)[1]

Sedangkan Al Kharkhi dan Abu Yusuf mengatakan bahwa su’ru kucing itu hukumnya makruh. Alasannya adalah bahwa kucing itu sering menelan atau memakan tikus yang tentu saja mengakibatkan su’runya saat itu menjadi najis.

Dalam hal ini Abu Hanifah juga sependapat bahwa kucing yang baru saja memakan tikus maka su’runya najis. Sedangkan bila tidak langsung atau ada jeda waktu tertentu maka tidak najis.

Hal ini sesuai dengan hukum su’ru manusia yang baru saja meminum khamar maka ludahnya saat itu menjadi najis.

4. Su’ru Keledai dan Bagal

Bila sesekor keledai atau bagal minum dari suatu air maka sisa air itu hukumnya masykuk (diragukan) antara halal atau tidak halal untuk digunakan wudhu’ dan mandi. Sebab ada beberapa dalil yang saling bertentangan sehingga melahirkan khilaf di kalangan para ulama.

Yang mengharamkan su’ru kedua jenis hewan ini berdasarkan ketentuan bahwa bila daging seekor hewan itu najis maka ludahnya pun ikut menjadi najis. Para ulama mengatakan bahwa daging keledai dan bagal itu najis maka kesimpulannya mereka yang menajiskan su’ru kedua hewan ini adalah najis.

Sebaliknya ada pula yang tidak menajiskannya dengan berdasarkan kepada hadits berikut ini:

Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anh dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau ditanya’Bolehkah kami berwudhu dengan air bekas minum keledai?. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menajawab’Ya boleh’. (HR. Ad Daruquthuni dan Al Baihaqi).

D. Perbedaan Pendapat di Kalangan Fuqaha’

Para fuqaha’ besar berbeda pendapat dalam masalah hukum su’ru hewan. Diantaranya adalah pendapat berikut ini.

1. Imam Abu Hanifah

Pendapat beliau terhadap masalah su’ru hewan ini terbagi menjadi empat besar sesuai dengan jenis hewan tersebut. Sebagaimana yang sudah kami bahas di atas.

2. Al Imam Malik

Sebaliknya Al Imam Malik justru mengatakan bahwa hukum su’ru semua jenis hewan itu halal. Tidak pandang apakah hewan itu najis atau tidak.

Sebab beliau berpendapat bahwa untuk menajiskan su’ru itu harus ada dalil yang kuat dan sharih tidak bisa sekedar mengikuti dagingnya yang bila dagingnya halal lalu ludahnya ikut halal atau bila dagingnya haram ludahnya ikut haram.

Buat beliau kaidah seperti ini tidak bisa dijadikan dasar untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu.

3. Al Imam Asy Syafi’i

Beliau berpendapat bahwa semua jenis su’ru hewan itu halal dan hanya su’ru anjing dan babi saja yang haram.

Dalil yang digunakan oleh mazhab beliau adalah bahwa pada dasarnya Islam tidak memberatkan para pemeluknya.

Kecuali bila benar-benar sharih dan kuat dalilnya berdasarkan Al-Quran Al Kariem dan sunnah. Sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman dalam Al Quran Al Kariem:

Allah tidak hendak menyulitkan kamu tetapi Dia hendak membersihkan kamu (QS Al Maidah: 6)

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agamasuatu kesempitan. (QS Al Hajj: 78)



[1] At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan sahih