Sahabat, ada sebuah kisah menarik dari pejalan hidup seorang pria dalam mengarungi hidup bersama istrinya, mudah-mudahan bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Intinya adalah tiada kesetiaan tanpa kesetiaan.
Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.
Dari sinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat, tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan 4 buah hati mereka. Sekarang anak-anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yang masih kuliah.
Pada suatu hari saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya (karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing) Pak Suyatno memberitahukan pada anak-anaknya dan memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu, agar semua anaknya dapat berhasil dan bahagia.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:
“Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak mengijinkan kami menjaga ibu.” Sambil air mata si sulung berlinang.
“Sudah empat kali ini kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini? Kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baiknya secara bergantian.” Si Sulung melanjutkan permohonannya.
“Anak-anakku… Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian…”
Sejenak suasana hening.
“Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dan digantikan dengan apapun. Coba kalian tanyakan pada ibu, apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit?” Pak Suyatno mengatakan hal yang tidak diduga anak-anaknya.
Melelehlah air mata anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno. Dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.
Sampai akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi narasumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno, Mengapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa? Saat itulah meledak tangis Pak Suyatno diikuti tangis tamu undangan yang hadir di studio yang kebanyakan kaum perempuan. Mereka tidak sanggup menahan haru.
Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga,pikiran, perhatian, maka itu semua adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya, bukan dengan mata. Dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu, dan sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya? Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit..” Ucap Pak Suyatno sambil menangis.
“Setiap malam saya bersujud dan menangis, dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah. Saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya. Bahwa cinta saya kepada istri, saya serahkan sepenuhnya pada Allah.”
Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah di atas, amin.