Istri saya baru saja melahirkan dan sekarang sedang menyusui anak kami. Timbul keinginan dalam hati saya untuk menetek dari istri saya dan meminum air susunya sebagai bagian dari fantasi seksual. Tapi, saya dengar hal itu dilarang, karena bila air susu seorang wanita terminum oleh pria maka si wanita itu akan menjadi mahramnya. Benarkah hal itu?
Alhamdulillah wash shalatu was salam ’ala Rasulillah.
Bapak penanya yang dimuliakan Allah, pendapat yang lebih kuat, insya Allah, hal itu tidak dilarang dan Anda boleh melakukannya, asal tidak menyakiti si istri dan tidak merugikan bayi Anda sendiri.
Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, susuan yang menjadikan si anak mahram dengan ibu susunya hanya terjadi jika si anak tersebut masih berusia di bawah dua tahun. Sedangkan sebagian ulama seperti Daud Azh-Zhahiri dan para pengikutnya menyatakan susuan itu tetap membuat haram menikah sekalipun yang menyusu sudah dewasa.
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat berdasarkan dalil antara lain, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ”Sesungguhnya susuan (yang membuat haram) itu hanya bila dalam keadaan lapar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksudnya, yang menyusu itu menjadikan air susu sebagai makanan pokoknya dan itu hanya dilakukan oleh bayi yang masih menyusui, tidak mungkin orang dewasa menjadikan air susu wanita sebagai makanan pokok.
Hadits lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Susuan itu tidak mengharamkan kecuali kalau melewati usus dan pada saat belum disapih.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1152). Artinya, jika si bayi sudah disapih berarti susuan berikutnya tidak menyebabkan dia haram menikahi penyusunya.
Ibnu Abbas juga pernah mengatakan, ”Tidak ada susuan (yang menjadikan haram menikah) kecuali di usia dua tahun.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam kitab Al-Mushannaf juz 7 hal. 465 dari Ibnu ’Uyainah, dari ’Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas).
Pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Ibnu Mas’ud tentang seorang suami yang menelan air susu istrinya lalu dia bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Abu Musa menjawab istrinya jadi haram lantaran itu, tapi itu dikoreksi oleh Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hal yang sama dengan pernyataan Ibnu Abbas di atas. Akhirnya, Abu Musa menarik kembali pendapatnya sambil berkata, ”Jangan bertanya kepadaku bila si cendikiawan ini (Ibnu Mas’ud) masih ada di tengah kalian.” (Riwayat lengkap dalam kitab Al-Muwaththa` karya Imam Malik, Pembahasan: Ar-Radha’, Bab: Jami’ Maa Jaa`A Fii Ar-Radha’ah, no. 1290).
Hal yang sama juga difatwakan oleh Umar bin Al-Kahththab radhiyallahu ‘anh ketika seorang pria mengadukan telah menyetubuhi budak wanitanya, lalu istrinya datang dan menyusui si budak tersebut sambil mengatakan, ”Demi Allah, sekarang dia sudah haram bagimu (untuk disetubuhi) karena aku sudah menyusuinya.” Tapi ternyata Umar malah memutuskan kepada si pria ini, ”Setubuhi saja dia, karena dia tetap menjadi budakmu. Susuan yang menjadikan haram itu hanya kalau (yang menyusu) masih kecil.” (Riwayat ini disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa`, no. 1289).
Dari kesemua riwayat di atas jelaslah bahwa bila seseorang yang sudah dewasa menyusu kepada wanita, maka hal itu tidak berpengaruh. Kecuali bila ada keadaan darurat seperti yang terjadi pada kasus Sahlah binti Suhail yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang sulitnya ia berhijab dari Salim mantan budak Abu Hudzaifah suaminya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi solusi dengan mengatakan, ”Susuilah dia (Salim) maka dia akan jadi mahram bagimu.” Padahal waktu itu Salim sudah dewasa. (Cerita lengkapnya dalam Shahih Muslim, no. 1453).
Hadits Sahlah dan Salim ini berlaku untuk orang yang kasusnya sama dengan Sahlah yaitu sulitnya berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya lantaran kedekatan dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.