Surat ini secara umum memberikan pemahaman yang sangat penting dan mendasar, serta mengoreksi pemahaman dan persepsi manusia yang secara alamiah terbangun tanpa sadar dalam benaknya.
Pemahaman yang sangat penting dan mendasar tersebut adalah tentang 2 hal;
- Hakikat Tuhan, Allah Subhanahu wa Ta’la
- Hakikat Manusia, dan hubungannya dengan dua pihak; Tuhannya, Allah Ta’ala, dan musuhnya, syaithan
Bagi manusia yang sedang membangun persepsi dan keyakinannya tentang ketuhanan, kemanusiaan dan hubungan antar keduanya, perenungan surat ini menjadi penting. Karena diatas persepsi yang benar inilah segala tindak-tanduk, cara berpikir dan berperilaku dibangun dan dibiasakan dengan cara yang benar.
Persepsi dan keyakinan ini pun diperolehnya harus dari sumber tunggal; karena itulah Allah mengawali surat ini dengan talqin (dikte) berupa kata قل Qul “katakanlah”, demi menihilkan sumber lain dalam membangun persepsi dan keyakinan, semata bersumber wahyu, bukan hasil rekaan dan mitos turun temurun.
Persepsi tentang Hakikat Tuhan, Allah Ta’ala dikenalkan kepada manusia dalam konteks keadaan manusia yang paling lemah, saat dia minta perlindungan dan pertolongan. Allah mengenalkan diriNya dalam tiga makna sifat secara bertingkat; dimulai dari sifatNya yang paling umum, Rabb, kemudian lebih khusus Malik (Raja), kemudian lebih khusus lagi dan inilah yang paling tinggi, Ilah (Sesembahan yang diibadahi). Allah Ta’ala sebagai Rabb disebut di awal urutan karena inilah sifat dari DzatNya yang paling dasar dikenali manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayatNya yang lain; “dan jika kamu tanyakan mereka –orang musyrik- siapa yang menciptakan mereka, niscaya mereka berkata; Allah”.
Malik (Raja) dikenalkan kepada manusia untuk mengoreksi apa yang dikenali manusia dalam kehidupannya berupa kuasa para penguasa, dan kerajaan para raja. Kuasa dan kerajaan manusia dibatasi waktu dan tempat, satu-sama lain saling menaklukkan dan berebut pengaruh, memaksa manusia untuk tunduk patuh. Allah kenalkan diriNya sebagai Malik-Rajanya manusia, agar manusia tak pernah menyandarkan ketakutan dan kepatuhan kepada sesamanya, meski berlabel penguasa, namun menyandarkan puncak takut dan kepatuhannya hanya kepadaNya. Rasa takut inilah yang membebaskan, rasa patuh inilah yang memerdekakan, dan ketundukan inilah yang menyetarakan semua makhluk tanpa terkecuali.
Pada level puncak tertinggi, Allah kenalkan diriNya kepada manusia sebagai Ilaah إله (sesembahan/objek yang diibadahi). Inilah titik pembeda yang memisahkan antara manusia dengan sesamanya, ketika manusia semata menyembah/meng-ibadahi semata Allah Ta’ala ia jauh lebih mulia dibandingkan manusia lain yang menyekutukanNya, atau bahkan mengingkariNya.
Pengenalan manusia tentang hakikat Tuhannya, Allah Ta’ala, merupakan proses pencarian yang tak pernah berhenti. Ada kalanya pikiran-pikirannya liar, diterpa syubhat-keraguan tentang DzatNya. Dan kita lebih berhak untuk ragu dibandingkan Ibrahim. Terlepas apakah manusia mampu menjawab keraguan tersebut, atau hanya mampu diam, atau semata melupakannya, tak begitu penting selama ia berusaha tak goyah. Karena jawaban paling sederhana yang tak butuh dialektika-filsafat justru muncul di saat paling lemah –saat ia butuh perlindungan-, “katakanlah Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, dan Ilaah manusia”.
Manusia –An Naas- dalam surat ini diabadikan menjadi nama surat, ia mewakili entitas makhluk hidup yang Allah muliakan. Itulah mengapa ia sebut tiga kali berturut-turut. Allah tak cukupkan penyebutannya sekali kemudian diwakili dengan kata ganti, demi mengingatkan manusia tentang hubunganNya dengan Allah. Seakan kemuliaan manusia terulang tiga kali, jika dia tauhid-esakan Allah sebagai Rabb, Raja dan Ilaah. Kata ArRazi; seandainya manusia adalah makhluk yang hina tak mungkin Allah tutup kitabNya dengan mengenalkan DzatNya sebagai Rabb, Raja, dan Ilaah (Sesembahan) mereka.
Panduan Qur’ani tak semata membimbing manusia tentang bagaimana menjadi manusia mulia dengan mengenali Tuhannya, tapi juga mengenali musuhnya dengan sebenar. Allah Ta’ala sebutkan ciri khas utama yang melekat pada musuh; selalu berbisik dan tersembunyi. Musuh ini menggabungkan dua sifat utama; dia selalu berbisik, dan dia selalu tersembunyi, kombinasi sempurna yang menggelincirkan, menjerat, dan membinasakan manusia.
Karena bisikan selalu bersifat halus, naluri kewaspadaan akan berkurang, tak sadar bahwa itu adalah upaya musuh untuk memutarbalikkan persepsi kita tentang kebenaran. Syubhat-keraguan pun menerpa, kebenaran menjadi asing dan salah, sementara keburukan menjadi biasa dan benar, syubhat yang dibisikkan seringkali menyerang para ahli ilmu dan intelektual. Bisikan juga berupa syahwat, tenggelamnya manusia dalam nafsu yang didahulukan di atas akal, sehingga terjerat ke dalam maksiat.
Sedangkan ketersembunyian menegaskan persepsi bahwa musuh tak selalu di depan mata. Musuh bersembunyi dalam kesiagaan, sekali menemukan celah ia akan masuk.
Apakah musuh-syaithan- ini selalu bersifat tak kasat mata, makhluk halus? Persepsi ini diluruskan oleh Allah melalui surat ini, dengan mengisyaratkan bahwa syaithan bukan semata makhluk, namun juga sifat. Karenanya ia dapat “terjelmakan” dalam manusia secara fisik. Penyadaran tentang bahaya musuh dalam wujud yang sejenis sangat penting karena manusia sering menyangka ia adalah teman. Karenanya boleh jadi upaya bisikannya lebih halus dan menjerat.
Manusia, dalam hubungannya dengan Allah-Tuhannya, dan hubungannya dengan syaithan-musuhnya, akan selalu tarik menarik. Betapa jika Dia dekat dengan Allah, ia akan jauh dari musuhnya, namun jika ia jauh dariNya, ia sudah pasti dekat dengan musuhnya. Hanya ada dua pilihan, tidak ada yang ketiga.
Wallahu A’lam…
Ustadz Faris Jihady, Lc