Agar ibadah menyembelih hewan qurban menjadi sah hukumnya, maka syarat-syaratnya harus dipenuhi sebelum penyembelihan itu dilaksanakan. Syarat-syarat itu ada yang terkait dengan penyembelih, hewan dan juga dengan waktu penyembelihan.
A. Syarat Penyembelih
Agar ibadah menyembelih hewan qurban menjadi sah hukumnya, maka syarat-syaratnya harus dipenuhi olehpenyembelihnya antara lain menetapkan niat di dalam hati sebelum penyembelihan, dan niat itu harus sesuai dengan realitas di lapangan, serta keharusan satu niat yaitu ibadah pendekatan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, apabila bersekutu dalam satu hewan sembelihan.
1. Niat
Seluruh ulama dari semua mazhab sepakat bahwa penyembelih hewan qurban harus memasang niat terlebih dahulu di dalam hati untuk membedakan judul besar tindakannya.
Sebab ibadah yang terkait dengan menyembelih hewan bukan hanya qurban saja, tetapi juga ada aqiqah yang terkait dengan ritual kelahiran bayi, ada juga kaffarah dam karena mengerjakan haji tamattu’ dan qiran, ada juga karena membayar dam lantaran melanggar larangan haji seperti berburu, atau juga bisa kaffarah karena melanggar sumpah, bahkan bisa juga sedekah biasa.
Maka niat harus dipasang sebelumnya agar ibadah yang dilakukan itu spesifik, sebab pahalanya akan sangat bergantung dengan niatnya. Dan diterima atau tidaknya suatu amal pun amat bergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan menerima apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun niat ini cukup ditekadkan di dalam hati saja, tidak harus dilafadzkan di lisan, sebab tempat niat itu memang di dalam hati.
Asy Syafi’iyah menyatakan apabila seseorang menyembelih hewan qurban dengan sebelumnya telah bernadzar, maka tidak lagi diperlukan niat. Karena dahulu ketika menetapkan nadzarnya, pada hakikatnya niat itu sudah ditetapkan di dalam hati. Sehingga pada hari pelaksanaan, tidak lagi dibutuhkan niat khusus, karena dianggap sudah satu rangkaian dengan tekatnya menyembelih hewan qurban dalam nadzarnya.
2. Kesamaan Niat Dengan Prakteknya
Disyaratkan antara niat di dalam hati sesuai dengan praktek di lapangan ketika menetapkan dan memilih hewan yang akan disembelih. Dan niat itu sudah bisa terjadi ketika hewan itu dibeli pertama kali.
3. Tidak Bersekutu Dengan Penyembelihan non Ibadah
Syarat yang ketiga masing menjadi perdebatan para ulama. Di dalam penyembelihan hewan qurban ada ketentuan bahwa unta, sapi, kerbau dan sejenisnya boleh disembelih dengan atas nama tujuh orang. Yang jadi perdebatan adalah apakah boleh tujuh orang itu punya niat yang berbeda, tidak semuanya berniat untuk qurban?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok.
a. Mazhab Al Hanafiyah
Mereka membolehkan bila niat masing-masing tidak semuanya untuk hewan qurban. Syaratnya, jangan sampai ada di antara ketujuh orang ini yang niatnya bukan untuk ibadah atau taqarrub kepada Allah. (Hasyiyatu Ibnu Abidin ‘ala Ad-Dur Al Mukhtar jilid 5 hal. 201)
Selama tujuannya ibadah, seperti aqiqah, kaffarah, dam dan sejenisnya, hukumnya masih dibolehkan. Tetapi kalau salah satunya hanya berniat mau makan daging saja, tanpa berniat untuk ibadah pendekatan diri kepada Allah, maka tidak dibenarkan hukumnya.
b. Mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah
Mereka tidak mempermasalahkan adanya perbedaan niat dari masing-masing peserta, bahkan meski ada di antara peserta dari tujuh orang itu yang niatnya bukan untuk qurban, melainkan sekedar untuk memakan dagingnya atau untuk menjualnya. (Al-Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, jilid 8 hal. 397)
Dalam pendapat mereka, misalnya ada tujuh orang berpatungan untuk membeli sapi, tetapi niat dan tujuan mereka berbeda-beda, hukumnya sah bagi yang niatnya untuk qurban ikut dalam patungan tersebut.
c. Mazhab Al Malikiyah
Mazhab ini tidak membenarkan adanya persekutuan dalam masalah sembelihan, baik dari segi uang atau pun dari segi dagingnya. Sehingga kalau ada orang ingin menyembelih sapi untuk qurban, maka satu sapi itu untuk sendiri saja, tidak untuk bersama-sama dengan peserta qurban yang lain.
Dasarnya adalah qaul dari Ibu Umar radhiyallahuanhu sebagai berikut :
“Tidak boleh satu nyawa hewan dibagi untuk tujuh orang.”
B. Syarat Hewan
Diantara syarat-syarat untuk menyembelih hewan qurban, hewan itu perlu memenuhi kriteria berikut ini:
1. Termasuk Al An’am
Yang dimaksud dengan Al an’am adalah hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing. Sedangkan unggas seperti ayam, itik, bebek, angsa, kelinci dan sejenisnya, tidak termasuk alan’am. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj : 34)
2. Tsaniyah
Hewan yang sudah mengalami copot salah satu giginya (tsaniyyah). Yang dimaksud dengan gigi adalah salah satu gigi dari keempat gigi depannya, yaitu dua di bawah dan dua di atas. Boleh jantan atau betina meski diutamakan yang jantan karena bisa menjaga populasi.
3. Tidak Ada Cacat
a. Tidak Buta
Hewan itu tidak boleh yang buta tidak melihat, atau ada cacat parah di matanya, atau picak (aura’).
b. Tidak Sakit
Hewan yang dalam keadaan sakit parah tidak boleh dijadikan hewan sembelihan udhiyah.
c. Tidak Terpotong
Baik yang terpotong itu salah satu kakinya atau lebih dari satu kaki. Demikian juga hewan itu bukan hewan yang terpotong putting susunya atau sudah kering. Juga tidak boleh hewan yang terpotong pantat, ekor, telinga, hidung dan lainnya.
d. Tidak Pincang
Hewan yang dalam keadaan patah kaki hingga pincang dan tidak mampu berjalan ke tempat penyembelihannya, termasuk hewan yang tidak boleh dijadikan hewan persembahan.
e. Tidak Kurus Kering
Hewan yang kurus kering tinggal tulang belulang saja, tentu sangat tidak layak untuk dijadikan persembahan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Selain itu bila hewan itu kurus kering, dagingnya tentu menjadi sedikit sehingga kurang bisa dijadikan salah satu sumber makanan.
f. Tidak Makan kotoran
Hewan yang memakan kotoran dan benda-benda yang najis tentu tidak boleh dimakan dagingnya, kecuali setelah mengalami karantina. Dan kurang layak untuk dijadikan persembahan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
C. Syarat Waktu
Waktu yang disyaratkan sesuai dengan ketentuan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan yaitu selama masa 4 hari, terhitung sejak usai shalat Idul Adha dan khutbahnya pada tanggal 10 Dzhuhijjah. Berlangsung selama masa 4 hari, yaitu hingga terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Sebagian ulama ada yang membolehkan seusai shalat Idul Adha meskipun belum selesai khutbah. Dan buat orang-orang yang tidak tinggal secara menetap, nomaden atau badawi, sudah dibolehkan mulai menyembelih sejak terbit matahari.