Syiah Rafidhah 101

Beberapa bulan belakangan ini terasa ada eskalasi gerakan Syiah di Indonesia. Eskalasi ini sebagiannya tercover dalam media massa sedangkan sebagian besar justru tidak terungkap di media massa mainstream, seperti geliat mereka di social media atau blog-blog. Yang mengemuka di media massa pada umumnya hanya berita buruk saja, yaitu pecahnya konflik antara penganut Syiah dan Sunni. Sebagai efeknya, kembali mengemuka wacana untuk bertoleransi kepada penganut Syiah. Tidak salah, tapi sebetulnya solusinya masih parsial karena kebanyakan Muslim saat ini masih kurang memahami apa sebetulnya yang terjadi antara Syiah dengan Sunni. Dalam benak banyak kaum muslimin, perbedaan antara Syiah dan Sunni seolah perbedaan kecil seperti yang terjadi antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam urusan ibadah. Topik inilah yang akan menjadi bahasan pada tulisan ini.

Definisi

Secara bahasa “Syiah” artinya adalah pengikut. Istilah “Syiah” yang sering kita gunakan adalah merujuk kepada para pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi SAW. Dari tinjauan sejarah kaum Syiah ini sudah ada sejak periode yang sangat awal sekali, yaitu pada masa khulafa’ rasyidun. Tetapi jangan dianggap Syiah pada masa itu serupa dengan Syiah yang ada sekarang. Jika kita kembalikan ke makna asalnya, maka Syiah adalah mereka yang mengikuti Ali. Tetapi kemudian berkembang paham baru yang tidak sekedar mengikuti Ali melainkan juga menempatkan Ali di atas sahabat Abu Bakar dan Umar. Mereka inilah yang kemudian berkembang menjadi sekte Rafidhah di dalam tubuh Syiah.

Jika kita telusuri literatur akademik, pada umumnya ulama membedakan antara istilah Syiah dan Rafidhah. Syiah memiliki banyak varian mulai dari yang paling dekat dengan Sunni hingga yang sangat ekstrim hingga menuhankan Ali. Untuk kalangan ekstrim ini menurut Abu al Hasan al Asy’ari terdapat sebanyak 15 sekte. Yaitu: al Bayâniyyah, al Janâhiyyah, al Harbiyyah, al Mughîriyyah, al Manshuriyah, al Khithâbiyyah, al Ma’mâriyyah, al Buzaighiyyah, al ‘Umairiyyah, al Mufadl-dlaliyyah, asy Syarî ‘iyyah, an Numairiyyah, as Sabaiyyah, dan tiga sekte lainnya yang menuhankan Nabi, ‘Ali dan keturunannya.

Kelompok Zaidiyah adalah kelompok yang paling dekat dengan Sunni. Kelompok ini dinamakan Zaidiyah karena ketika itu dipimpin oleh seorang imam yang bernama Zaid bin Ali, cucu dari Husain bin Ali. Kelompok ini memang mengikuti sahabat Ali, namun tidak mengklaim Ali lebih mulia dari sahabat Abu Bakar dan Umar. Namun di antara keseluruhan Syiah kelompok yang paling besar adalah kelompok Imamiyah atau juga disebut Itsna ‘asyariyah (paham imam yang dua belas). Dalam bahasa Inggris disebut dengan “twelver”. Mereka juga disebut sebagai Rafidhah (penolak) karena mereka menolak dan mengingkari kepemimpinan sahabat Abu Bakar dan Umar. Kelompok ini mengklaim bahwa Nabi SAW sudah menetapkan bahwa pengganti selepas beliau wafat adalah sahabat Ali. Dalam sejarahnya kelompok ini belum muncul pada masa sahabat Ali masih hidup. Di masa itu istilah Syiah hanya mengacu kepada golongan secara politik saja (pendukung sahabat Ali menjadi khalifah), belum berkembang menjadi sekte aqidah.

Dalam perkembangannya sekte Rafidhah ini menjadi bagian yang paling besar di antara sekte Syiah lainnya. Itu sebabnya ketika orang berbicara “Syiah” maka seolah otomatis mengacu pada “Rafidhah”, padahal ini dua terma yang memiliki definisi yang cukup jauh perbedaannya. Jika kita kaji literatur yang ditulis ulama, pada umumnya mereka sangat berhati-hati. Biasanya mereka tidak menggunakan istilah “Syiah” tetapi menggunakan istilah “Rafidhah”. Dengan demikian jika kita menyebutkan “Rafidhah” maka terma ini mengacu kepada sebuah paham yang melebihkan sahabat Ali ketimbang sahabat Abu Bakar dan Umar, menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, meyakini adanya dua belas imam yang makshum, dan sebagainya. Untuk menghindari diskursus yang tidak perlu mengenai istilah, saya akan menggunakan istilah Rafidhah saja.

Pendapat Kibar Ulama

Para ulama sejak masa lalu hingga saat ini banyak yang memfatwakan sesatnya golongan Rafidhah. Di antara ulama yang menyatakan kesesatannya adalah:

  1. Imam Malik
  2. Imam Ahmad
  3. Al Qurtuby
  4. Ibn Katsir
  5. Al Bukhari
  6. Abu Zur’ah ar Razi
  7. Ibnu Qutaibah
  8. Abdul Qadir al Baghdadi
  9. Al Qadhi Abu Ya’la
  10. Ibnu Hazm
  11. Abu Hamid Al Ghazali
  12. Al Qadhi ‘Iyadh
  13. Ar Rozi
  14. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Ulama-ulama tersebut menuliskan pendapatnya dalam buku-buku induk mereka, seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qurtuby, Khalqu af’alil Ibad (Imam Bukhari), Fadhaihul Bathiniyyah (Imam Ghazali), dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah.

Di antara ulama kontemporer yang sangat concern terhadap urusan ini adalah Syaikh Yusuf Qaradhawi. Beliau adalah salah satu penggagas utama dialog Sunni-Syiah dari kalangan Ahlus Sunnah, meskipun dialog ini masih kandas karena pihak Syiah (Rafidhah) menolak memulai dialog dengan menghentikan laknatnya pada para sahabat Nabi. Syaikh Yusuf Qaradhawi tidak mengatakan Syiah (Rafidhah) sesat melainkan sebagai ahli bid’ah. Di antara bid’ah Rafidhah misalnya memperingati kematian Husain setiap tahun dengan menampar-nampar muka, dada, dan punggung hingga berdarah-darah. Selain itu beliau juga tidak sepakat dengan pendapat bahwa Nabi telah memilih Ali sebagai penggantinya.

Dari ekstensifnya daftar ulama yang menyatakan kesesatan Rafidhah ini rasanya pendapat bahwa Syiah Rafidhah itu sesat sudah mendapat legitimasi yang lebih dari sekadar cukup. Mereka adalah para ulama besar yang diakui kredibilitasnya di semua madzhab Ahlus Sunnah, bukan sekedar anak-anak muda yang mengklaim sedang dalam pencarian aqidah. Tetapi pembahasan ini tidak ingin saya hentikan di situ. Mari kita coba lihat pemahaman utama dari aqidah Rafidhah.

Rafidhah

Berikut ini dipaparkan paham Rafidhah yang tertulis dalam Fatwa-fatwa Khomeini tentang Aqidah dalam kitabnya Kasyful Asyrar, seperti yang dirangkumkan oleh Ustadz Aba Abdullaah di situs al-ikhwan.net.

1. Meminta Sesuatu Kepada Orang yang Telah Mati Tidak Termasuk Syirik.

“Ada yang berkata, bahwa meminta sesuatu pada orang yang telah mati baik itu Rasul maupun Imam adalah syirik, karena mereka tidak bisa memberi manfaat dan madharat pada orang yang masih hidup. Maka saya (Khomeini) katakan: Tidak, hal tersebut tidak termasuk syirik, bahkan meminta sesuatu pada batu atau pohon juga tidak termasuk syirik, walaupun perbuatan tersebut adalah perbuatan orang yang bodoh. Maka jika yang demikian itu bukanlah syirik apalagi meminta pada Rasul dan Imam-imam yang telah wafat, karena telah jelas dalam dalil maupun akal bahwa ruh yang telah mati malah memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dan ilmu filsafat pun telah membenarkan dan membahas hal tersebut secara panjang lebar.” (hal. 49)

2. Penyimpangan Abu Bakar dan Umar terhadap Al-Qur’an.

“Di sini saya katakan dengan tegas bahwa Abu Bakar dan Umar menyelisihi Al-Qur’an dan mempermainkan Tuhan dan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal menurut hawa nafsu mereka dan bagaimana mereka berdua juga telah berbuat kezhaliman dengan melawan Fathimah putri nabi SAW dan oleh karenanya mereka berdua menjadi bodoh terhadap hukum Allah dan hukum agama.” (hal. 126)

“Kita juga melihat ketika ia (Umar ra) yang buta mata hatinya itu mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kekafiran dan ke-zindiq-annya, yaitu penolakannya pada Al-Qur’an surat an-Najm, ayat-3.” (hal. 137)

3. Dalil-Dalil Tentang Disyariatkannya Taqiyyah (Boleh berdusta kepada selain orang Syi’ah):

“Dan kami tidak mengerti bagaimana mereka (ahlus-sunnah) menjauhi hikmah dan menyimpang karena hawa nafsu mereka, bagaimana tidak? Sedangkan taqiyyah adalah hukum akal yang paling jelas. Dan taqiyyah maknanya: seorang manusia berkata dengan perkataan yang berbeda dengan kenyataannya atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan timbangan syariat karena menjaga darahnya, kehormatannya atau hartanya.” (hal. 148)

“Maka termasuk bab taqiyyah jika kadangkala diperintahkan menyelisihi hukum-hukum Allah, sampai dibolehkan seorang pengikut Syi’ah berbeda dengan apa yang dihatinya untuk menyesatkan selain mereka (Syi’ah) dan agar mereka itu (selain Syi’ah) terjatuh dalam kebinasaan.” (hal. 148)

4. Mengapa Imamah (Aqidah tentang Imam yang Dua Belas -pen) Tidak Disebutkan dalam Al-Qur’an?

“Setelah aku jelaskan bahwa Keyakinan akan 12 Imam adalah ushuluddin (dasar aqidah Islam), dan bahwa al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang hal tersebut secara tersirat. Dan aku jelaskan bahwa nabi SAW sengaja menyembunyikan ayat-ayat tentang Imamah dalam al-Qur’an karena takut al-Qur’an tersebut diselewengkan setelahnya, atau karena beliau SAW takut terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin sehingga akan berdampak yang demikian itu terhadap aqidah Islam.” (hal. 149)

5. Khulafa Rasyidun adalah Ahlul Bathil

“Dan telah kukatakan beberapa potongan dari kitab Nahjul-Balaghah yang menetapkan bahwa Ali ra berpandangan bahwa para Khulafa selainnya adalah bathil.” (hal. 186)

6. Penetapan ratapan atas Husein dan menjambak rambut serta merobek-robek baju baginya setiap tahun sebagai Bagian dari ajaran Agama.

“Tidak ada dalam majlis tersebut kekurangan, karena semua itu adalah pelaksanaan perintah agama dan akhlaqiyyahnya dan tersebarnya fadhilah dan akhlaq yang paling tinggi serta aturan dari sisi Allah serta hukum yang lurus yang merupakan pencerminan dari madzhab Syi’ah yang suci yang ittiba’ pada Ali alaihis salam.” (hal. 192)

7. Wilayatul Faqih (penetapan kepemimpinan para ulama besar Syi’ah sampai saat bangkitnya kembali Imam ke-12 Syi’ah -pen)

“Syaikh ash-Shaduq dalam kitab Ikmalud-Din, dan syaikh ath-Thusiy dalam kitab al-Ghaybah, dan at-Thabrasiy dalam kitab al-Ihtijaj menukil dari Imam yang Ghaib (Imam ke-12 Syi’ah yang sekarang sedang menghilang -pen), sbb: Adapun hadits-hadits yang jelas maka hendaklah merujuk pada para periwayat hadits-hadits kami (syi’ah -pen), karena mereka semua adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah! Lalu kata Khomeini selanjutnya: maka wajib atas manusia pada masa ghaibnya Imam (ke-12 tersebut -pen) untuk merujuk semua urusan mereka pada para periwayat hadits (syi’ah) dan taat pada mereka karena Imam telah menjadikan mereka itu hujjahnya.” (hal. 206)

“Maka jelaslah dari hadits tersebut bahwa para Mujtahid adalah hakim dan barangsiapa yang menolak maka sama dengan menolak Imam dan barangsiapa menolak Imam maka berarti menolak Allah dan menolak Allah berarti syirik kepada-Nya.” (hal. 207)

Tujuh poin di atas adalah sebagian di antara berbagai kekeliruan yang dimiliki aqidah Rafidhah. Rasanya tidak akan ada penganut Rafidhah yang mengabaikan begitu saja fatwa Khomeini. Kalau ternyata memang ada maka kita patut bertanya apakah dia sedang ber-taqiyyah atau tidak. Pun jika dia mengatakan tidak, kita juga akan kembali bertanya-tanya apakah dia mengatakan “tidak” dalam rangka taqiyah atau tidak?

Poin pertama di atas menunjukkan kekeliruan yang sangat parah. Dalam Islam syirik adalah dosa yang tidak terampuni tanpa adanya taubat. Jika sebuah ajaran menyatakan bahwa meminta sesuatu pada batu atau pohon bukanlah perbuatan syirik (meskipun dia tidak melakukannya) maka nyata sekali kesesatannya.

Poin kedua adalah poin yang membuat anatomi Sunni dan Syiah (Rafidhah) secara keseluruhan luar biasa berbeda. Penolakan Rafidhah terhadap sahabat Abu Bakar dan Umar adalah satu paket dengan penolakannya terhadap Ummul Mukminin Aisyah, sahabat Abu Hurairah, Muawiyah, dan lain-lain. Paham ini mengakibatkan mereka menolak luar biasa banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh mereka (para sahabat tadi). Implikasinya hadits-hadits yang diteliti oleh para ulama hadits besar seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dsb banyak sekali yang mereka tolak. Akibatnya besar sekali terhadap struktur aqidah dan bentuk fiqih ibadah mereka. Bahkan rukun Iman mereka saja berbeda. Ada satu rukun tambahan yaitu Imamah. Muslim Ahlus Sunnah tidak mengimani Imamah sebagai rukun Iman, maka dengan demikian tanpa dikafir-kafirkan pun menurut pandangan Syiah Rafidhah, Ahlus Sunnah adalah otomatis kafir.

Pada poin kelima nampak bahwa seolah sahabat Ali pernah mengatakan demikian dalam kitab Nahjul Balaghah. Tetapi Imam Adz Dzahabi dan Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani mengatakan buku tersebut adalah buku palsu yang mengatasnamakan sahabat Ali ra. Implikasi dari pernyataan bahwa Khulafa Rasyidun selain Ali ra adalah bathil, adalah menolak kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya termasuk Khalifah Utsman ra. Padahal Al Quran yang sekarang beredar di dunia dikumpulkan dan disatukan atas kebijakan Khalifah Utsman. Jika sahabat Utsman dibenci sedemikian rupa apatah lagi hasil kerjanya. Tapi kemudian muncul pertanyaan, kenapa mushaf yang dipakai oleh orang Syiah sedunia adalah mushaf Utsmani? Habisnya mau pakai apa lagi? Syiah Rafidhah itu muncul jauh setelah masa hidup sahabat Ali ra. Bagaimana mereka bisa menyusun Al Quran versi mereka sendiri?

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Tentunya banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk membentengi diri dan keluarga kita dari berbagai aqidah sesat. Selain memperdalam pengetahuan aqidah Islam, mempelajari aqidah lain agar tidak terjerumus dalam muslihatnya juga perlu dilakukan.

Dalam dunia training ada sebuah metode yang secara umum disebut “cuci otak”. Metode ini sejatinya adalah metode yang digunakan untuk mengubah paradigma seseorang akan sesuatu. Metode ini adalah metode umum yang dapat dipelajari sehingga banyak diterapkan dalam berbagai keperluan. Sayangnya metode ini pula yang sering digunakan oleh pendukung-pendukung Syiah (Rafidhah) dalam menyebarkan paham sesatnya sehingga menggoyahkan aqidah kita. Banyak di antara kita yang tidak kuliah di jurusan hadits, maka mungkin sekali akan ada yang bingung jika ada yang mempertanyakan kenapa Ahlus Sunnah menerima hadits-hadits shahih Bukhari-Muslim tanpa reserve. Kita tidak mendalami tafsir dan sejarah Islam, maka mungkin sekali akan ada yang bingung jika tiba-tiba ada yang mempertanyakan status para sahabat satu persatu yang jumlah keseluruhannya mencapai lebih dari 100 ribu orang. Apalagi ditambah klaim bahwa seleksi hadits di kalangan Syiah lebih ketat dari Ahlus Sunnah. Diskursus seperti ini berbahaya jika diikuti sepotong-sepotong. Harus dijelaskan sampai tuntas sehingga aqidah Islam kita tidak tercuci dan digantikan dengan aqidah Rafidhah.

Jika memang di antara kita ada yang bimbang dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, sangat dianjurkan untuk mengkajinya lebih jauh. Tapi pasang sudut pandang yang jelas: sudut pandang Ahlus Sunnah. Apakah masih meragukan kredibilitas para ulama yang saya sebutkan di atas? Apakah mungkin mereka bersepakat untuk membohongi ummat?

Wallahu a’lam

Oleh: Fathi Nashrullah, Malaysia
Facebook