Jika Anda sedang bersyahwat dan ingin melepas dahaga seksual Anda tanpa harus capek-capek membangun keluarga permanen, maka sediakan uang recehan, lalu carilah wanita murahan yang bisa Anda bayar untuk kebutuhan sesaat, buat perjanjian lisan bahwa Anda akan memut’ahnya dan membayarnya dengan sejumlah uang untuk kebutuhan barang satu-dua jam atau satu-dua hari. Deal dan nikmati daging mentah Anda. Itulah nikah mut’ah!
Mut’ah dieksploitasi secara sadis oleh Syiah, dan kaum wanita diperlakukan sangat hina-dinanya, dan setiap orang dapat mengumbar syahwat seksnya atas nama mut’ah atas nama agama dalam rangka mengaplikasikan ayat An-Nisa’ 24 yang diselewengkan makna dan tafsirannya sesuai selera mereka sehingga dalam benak Syiah ayat itu difahami menjadi, “Dan wanita-wanita yang kau mut’ah maka wajib kau bayar.”
Disamping menyelewengkan ayat Al-Quran tersebut diatas, Syiah juga mengarang-ngarang hadis palsu dalam rangka menggalakkan mut’ah, dan mereka menyiapkan pahala besar bagi yang melaksanakan mut’ah dan dosa besar bagi yang tidak mau menikmati daging mentah murah meriah itu, bahkan mereka menganggap orang-orang yang tidak mau melepaskan kebutuhan seksualnya dengan cara mut’ah, sebagai orang yang murtad dan keluar dari agama.
Berikut hadis-hadis palsu yang dikarang Syiah dalam rangka menggalakkan prostitusi berlabel agama:
- “Barang siapa yang melakukan mut’ah dengan wanita mu’minah maka seakan dia sudah mengunjungi ka’bah sebanyak 70 kali.”
- “Mut’ah adalah ajaran pokok agama saya dan agama nenek moyang saya, maka barang siapa yang mengamalkannya berarti telah mengamalkan agamanya, dan barang siapa yang tidak menerima mut’ah berarti inkar terhadap agama, dan murtad.”
- Ketika Abi Abdullah ditanya, ‘Apakah pelaku mut’ah mendapatkan pahala?’ Dia menjawab, ‘Jika orang itu melakukan mut’ah atas nama Allah maka setiap kata yang diucapkannya kepada wanita mut’ahnya dihitung sebagai kebaikan, dan apabila si pelaku mut’ah mulai mendekati wanitanya maka Allah mengampuni dosanya, dan apabila dia sudah menyetubuhinya dan mandi janabah maka Allah mengampuni dosanya sebanyak titik titik air yang melewati rambutnya’.
- ”Barang siapa yang melakukan satu kali mut’ah maka dia sudah terhindar dari kemurkaan Allah, dan barang siapa yang melakukan dua kali mut’ah maka akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang-orang yang baik, dan barang siapa yang melakukan tiga kali mut’ah maka dia akan berdesak-desakan dengan saya di surga kelak.”
Dalam rangka memburu pahala mut’ah yang begitu menggiurkan itu, maka para ulama huzah (semacam pesantren Syiah) di Najaf, guru-guru Husainiyyah dan para pengurus masyhad para imam; mereka sangat suka melakukan mut’ah, khususnya Sayyid Shadar, Seyyed Hossein Borujerdi, Al-Syirazy, Al-Qazwiny, dan Thabathaba’iy, Sayyyid Madani, Abu Haris Alyasiry. Mereka semua sangat suka ber-mut’ah dalam rangka memburu pahala dan rebutan sorga dengan nabi. [Husein Al-Musawiy]
Di dalam tafsirnya “Minhaj Ash-Shadiqin”, Sayyid Fatahallah Al-Kasyani menyebutkan hadis Syiah lainnya yang berbunyi, “Barang siapa yang ber-mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Husein, dan yang ber-mut’ah dua kali maka derajatnya seperti Hasan, dan yang ber-mut’ah tiga kali maka derajatnya seperti Ali, dan barang siapa yang sudah melakukan empat kali Mut’ah maka derajatnya akan seperti derajatku (nabi)..”
Jadi, kalau ada orang bobrok dan penjahat kelamin yang sudah melakukan empat kali mut’ah dengan wanita bayarannya maka secara otomatis orang tersebut akan sederajat dengan nabi, menurut hadis palsu di atas!
Penulis Syiah yang bernama Al-Kulaini membolehkan ber-mut’ah walau hanya untuk sekali berhubungan badan saja, dan tidak mesti melakukan mut’ah dengan wanita dewasa, boleh juga dengan anak-anak yang dibawah umur 10 tahun. [Al-Kafi, 5/460-463].
Menggagahi anak dibawah umur dan dengan dalil-dalil kegamaan untuk mencari pahala dan derajat kenabian; akan memotivasi pelaku mut’ah menjadi “Predator Fedofil” kelas kakap, seperti kisah Sayyid Husein Al-Musawiy dalam bukunya “Lillahi Tsumma Lit Tarikh” berikut ini:
“Ketika Imam Khumaini berdomisili di Irak, kami sering mengunjunginya dan menuntut ilmu dari beliau, sampai akhirnya hubungan kami dengan Imam Khumaini sangat erat sekali. Suatu kali beliau dapat undangan dari kota Tal Afar, sebuah kota yang terletak di sebelah barat kita Mosul. Maka beliau meminta saya untuk ikut serta menemani beliau ke Tal Afar.
Sampai disana warga menyambut kami dan menjamu kami dengan baik, selama kami berada di sana, tepatnya di rumah salah seorang keluarga syiah di sana. Dan mereka berjanji untuk menyebarkan Syiah di sana, dan mereka juga masih menyimpan foto kenang-kenangan bersama kami disana. Setelah selesai acara di Tal Afar maka kami pun pulang, dan dalam perjalanan pulang kami melewati Baghdad, dan disana Imam Khumaini ingin kami beristirahat dan meminta kami singgah di daerah Al-Athifiyyah, tepatnya di rumah seorang warga yang berasal dari Iran yang bernama Sayyid Shahib yang punya hubungan kuat dengan Imam.
Sayyid Shahib sangat gembira menerima kedatangan kami yang saat itu pada waktu lohor, maka Sayyid Shahib menjamu kami makan siang yang sangat mewah, juga mengudang kerabatnya datang sehingga rumahnya ramai berembira menyambut kedatangan kami, dan Sayyid Shahib meminta agar kami bermalam dirumahnya, dan sang Imam pun setuju.
Pada saat makan malam mereka juga menyiapkan makan mewah dan para tetamu yang hadir waktu itu semuanya datang bersimpuh mencium tangan Imam, mereka juga menanyakan berbagai hal dan Imam menjawabnya.
Ketika waktu rehat malam tiba dan para tetamu sudah pada pulang ke rumahnya, Imam Khumaini melihat bocah wanita berumur 4-5 tahun namun sangat cantik, maka Imam meminta ayahnya Sayyid Shahib untuk menyiapkan bocah cilik itu untuk di-mut’ah buat semalam itu, dan ayahnya menyetujui dengan penuh gembira, dan sang Imampun malam itu tidur dan bocah cilik wanita itu berada dalam pelukannya, dan malam itu kami mendengarkan tangisan dan jeritan si bocah cilik yang masih polos itu.
Pada paginya kamipun kembali berkumpul untuk sarapan pagi, dan sang Imam memandang saya dan beliau membaca raut muka saya yang begitu jelas tidak suka dengan perlakuannya tadi malam terhadap bocah cilik itu, mengapa tega-teganya dia ber-mut’ah dengan bocah cilik sementara di “Dar” banyak gadis-hadis dewasa yang bisa di-mut’ah.”
“Bahkan Imam Khumaini juga membolehkan ber-mut’ah dengan bayi yang masih menyusui.” [Tahrir Al-Wasilah, 2/241].
Sayyid Husein Al-Musawi, mantan Syiah ini juga menuliskan kisah lain terkait sikap imam Syiah munafiq yang bernama Imam Al Khu’iy yang gemar melakukan mut’ah pada putri-putri warga biasa dan tidak merelakan putrinya untuk di-mut’ah oleh orang lain. Kisahnya sebagai berikut:
“Suatu hari saya sedang bertamu kepada Imam Al-Khu’iy di kantornya, maka datanglah dua orang pemuda, yang satu Syiah dan satunya lagi Sunni, mereka sedang berbeda pendapat dalam masalah tertentu dan sepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al-Khu’iy untuk
mendapatkan jawaban.
Satu dari dua pemuda itu bertanya, ‘Apa pendapat Anda dengan mut’ah, halal apa haram?’
Mendapatkan pertanyaan itu, sang Imam memandang si pemuda, dan merasa bahwa ada sesuatu dibalik pertanyaan itu.
Kemudian sang Imam balik bertanya, ‘Anda dari mana?’
Si pemuda menjawab, ‘Saya berasal dari Mosul, namun sudah dua bulan ini saya berdomisili di Najaf ini’.
‘Oh, berarti Anda warga Sunni?’ soal si Imam.
‘Benar.’ jawab si pemuda.
‘Mut’ah bagi kami halal, dan haram bagi kalian’, jawab Imam.
Mendapati jawaban itu, si pemuda kembali mengajukan pertanyaan, ‘Saya di sini baru dua bulan dan hidup sendiri di negeri ini, dapatkah Anda berikan putri Anda untuk saya mut’ah selama saya berada di negeri ini?’
Maka Imam mentap sang pemuda dengan tajamnya dan menjawab, ‘Saya ini orang berpangkat (sayyid), dan haram bagi keluarga berpangkat membiarkan putrinya untuk dimut’ah dan halal bagi orang-orang biasa’.
Mendengarkan jawaban itu si pemuda Syiah meledak dan mengamuk, ‘Bangsat kalian semua! Kalian halalkan diri kalian bermut’ah dengan putri-putri kami dan kalian bilang kepada kami bahwa mut’ah halal dan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sementara kalian haramkan putri-putri kalian untuk kami mut’ah?’
Si pemuda Syiah tidak habis-habisnya mencaci dan memaki dan bersumpah akan keluar dari Syiah dan pindah menjadi sunni.
Sesungguhnya mut’ah adalah adat jahiliyyah, dan pada awal-awal Islam datang memang tidak serta merta mengurusi masalah muamalat dan adat jahiliyyah yang satu ini, seperti halnya khamar yang tidak serta merta diharamkan pada awal-awal, walaupun pada akhirnya mut’ah diharamkan tepatnya pada hari Khaibar. Namun dalam benak Syiah yang amat membenci Umar bin Khattab, mereka menuduh bahwa yang mengharamkan Syiah adalah Umar, bukan Islam.