Tahdzib dan tashfiyah ini artinya melebur ubudiyah dalam tungku ujian, untuk menghilangkan segala kotoran dan kerak yang ada di dalamnya.
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Tahdzib merupakan ujian bagipara pemula, yang merupakan salah satu aturan dalam riyadhah.” Artinya, tahdzib ini cukup sulit bagi pemula, yang bisa diibaratkan ujian bagi-nya.
Tapi tahdzib ini merupakan jalan bagi orang-orangyang sudah melatih dirinya, sehingga mereka sudah terbiasa dengannya.
Menurutnya, tahdzib ini ada tiga derajat:
Pertama
Mendidik pengabdian, tidak memenuhinya dengan kebodohan, tidak mencampurinya dengan kebiasaan dan tidak menghentikan hasrat.
Artinya, pengabdian harus dibersihkan dan dibebaskan dari tiga perkara ini: Memenuhinya dengan kebodohan, mencampurinya dengan ke biasaan dan menghentikan hasrat. Selagi kebodohan memenuhi ubudiyah, maka seorang hamba akan mendatangkan sesuatu yang tidak layak untuk didatangkan kepada ubudiyah, meletakkannya tidak pada tempatnya, mengerjakannya tidak seperti lazimnya, melakukan perbuatan-perbuatan yang diyakininya baik, padahal itu justru merusak pengadian dan ubudiyahnya. Jika pengabdian tidak disertai ilmu, maka ia akan menyimpang dari adab dan hak-haknya, yang justru bisamenjauhkan pelakunya, sekalipun sebenarnya dia bermaksud mendekatkan dirinya. Kalaupun dia tetap mendapatkan pahala dan balasannya, tapi minimal akan menjauhkan dirinya dari kedudukan taqarrub.
Ubudiyah juga bisa dicampuri kebiasaan yang senantiasa dilakukan,yang kemudian kebiasaan ini dianggap sebagai taqarrub atau ketaatan, seperti seseorang yang terbiasa berpuasa dan dia terus-menerus berpuasa. Kemudian dia mengira bahwa kebiasaannya ini dianggap sebagai ubudiyah. Tandanya yang paling nyata, jika dia ditawari untuk melakukan ketaatan yang lebih ringan dan lebih mudah serta le-bih nyata kemaslahatannya, maka dia menolaknya dan meremehkan-nya, karena dia sudah terbiasa berpuasa terus-menerus. Padahal ini hanya sekedar kebiasaan semata.
Tanda menghentikan hasrat dalam pengabdian ialah melemahnya hasrat itu. Seorang hamba yang murni dan tulus tidak akan berhenti mengabdi. Bahkan hasratnya lebih tinggi dari sekedar pengabdian,yaitu mendapatkan keridhaan tuannya. Jika hasrat hamba berhenti, maka akan merendahkan kedudukannya.
Kedua
Mendidik keadaan, yaitu tidak mencondongkan keadaan kepada ilmu, tidak tunduk kepada rupa dan tidak menengok ke bagian.
Mencondongkan keadaan kepada ilmu ada dua macam: Terpuji dan tercela. Yang terpuji ialah memperhatikan apa yang diperintahkan ilmu dan mengangkat ilmu sebagai hakim atas keadaan. Jika tidak ada kecenderungan seperti ini, maka itu merupakan kecondongan yang tercela dan menjauhkan pelakunya dari Allah. Setiap keadaan yang tidak disertai ilmu, bisa dikhawatirkan merupakan tipuan syetan dan justru menjauhkannya dari Allah, karena dia tidak menghakimi keadaan dengan ilmu, hingga akhirnya dia menyimpang dari hakikat iman dan syariat Islam.
Mereka inilah seperti yang dikatakan Al-Junaid bin Muhammad, yaitu ketika ada seseorang yang mengatakan kepadanya, bahwa di antara ahli ma’rifat ada yang tidak mau beramal karena menganggapnya sebagai pengabdian dan taqarrub kepada Allah. Maka Al-Junaid berkata, “Ini adalah anggapan orang-orang yang membebaskan amal anggota tubuh. Bagi saya ini merupakan masalah yang sangat besar. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada orang-orang ini. Sebab orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah seharusnya mengambil amalan dari Allah dan mengembalikan amal kepada-Nya. Andaikan saya hidup seribu tahun, maka saya tidak akan mengurangi pengabdian sedikit pun, kecuali jikamemang saya tidak sanggup lagi mengerjakannya.”
Dia juga pernahberkata, “Semua jalan terhalang dari manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Adapun kekeliruan yang mereka lakukan, karena hukum-hukum ilmu dikaitkan dengan ilmu, dan hukum-hukum keadaan dikaitkan dengan pengungkapan batin. Orang yang mengandalkan keadaan tidak bera-da dalam lingkup ilmu dalam menghadapi berbagai hal. Jika digunakan timbangan ilmu, muncul pertentangan antara ilmu dan keadaan. Sementara tidak ada hukum untuk menggugurkan salah satu di antara keduanya. Maka barangsiapa telah mencapai tingkatan pengungkapan batin, namun kemudian dia cenderung kepada hukum-hukum ilmu, berarti dia dipaksa untuk mundur ke belakang. Perhatikanlah ungkapan dan syubhat yang mengandung racun yang ganas ini, yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ma’rifat dan aga-ma tanpa terasa, seperti sehelai rambut yang ditarik dari tepung.
Ketahuilah bahwa ma’rifat yang benar adalah ruh ilmu, dan keadaan yang benar merupakan ruh amal yang lurus. Setiap keadaan yang bukan merupakanhasil amal yang lurus, sesuai dengan ilmu, maka keduduk-annya seperti ruh yang jahat. Memang tidak dipungkiri bahwa keadaan ruh ini bias bermacam-macam. Tapi yang harus dipertimbangkan adalah derajat dari keadaan itu. Selagi suatu keadaan bertentangan dengan salah satu hukum ilmu, maka keadaan itu rusak atau kurang dan sama sekali tidak lurus. Ilmu yang benar dan amal yang lurus merupakan timbangan ma’rifat yang benar dan keadaan yang benar. Keduanya
seperti dua badan yang menjadi tempat ruh masing-masing. Tidak tunduk kepada rupa artinya tidak ada sedikit pun keduniaan yang menguasai hati dan hati itu tidak tunduk kepadanya.
Orang yang mempunyai suatu keadaan hanya memohon kepada Dzat Yang Maha-hidup dan tidak selayaknya mengandalkan rupa-rupa yang gemerlap dari keduniaan.
Tidak menengok ke bagian artinya jika keadaan sudah menjadi sempurna, maka pelakunya tidak boleh larut dalam kegembiraan karena keadaannya itu dan kenikmatannya, karena yang demikian ini merupakan bagian nafsu.
Ketiga
Mendidik tujuan, yaitu dengan membersihkannya dari kehinaan keterpaksaan, menjaganya dari penyakit loyo dan membantunya agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu. Membersihkan tujuan dari kehinaan keterpaksaan artinya janganlah dirinya digiring kepada Allah secara paksa, tak ubahnya buruh yang harus tunduk kepada juragan. Tapi seluruh relung hatinya dibawa kepada Allah dengan patuh, cinta dan suka, layaknya aliran air ke permukaan yang rendah. Inilah keadaan orang-orang yang mencinta secara tulus, bahwa ubudiyah mereka itu dilandasi cinta, ketaatan dan keridhaan, yang sekaligus merupakan kegembiraan, kesenangan hati dan kedamaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi waSallam,
“Dan, kegembiraanku dijadikan dalam shalat.”
Begitu pula sabda beliau kepada Bilal, “Hai Bilal, buatlah kami beristirahatdengan shalat.”
Tentang kehinaan paksaan di sini terkandung sentuhan makna yang amat lembut, bahwa orang yang taat karena terpaksa, melihat bahwa kalau tidak karena kehinaan paksaan dan hukuman tuannya, tentu dia tidak mau taat kepadanya. Dia membawa ketaatannya seperti orang yang hina di hadapan orang yang memaksanya. Berbeda dengan orang yang mencintai, yang menganggap ketaatan kepada kekasihnya se-bagaikekuatan dan kenikmatan serta tidak merasa hina sama sekali. Menjaga tujuan dari penyakit loyo artinya menjaga agar tujuan itu tidak melemah dan api pencariannya tidak padam. Hasrat merupakan ruh tujuan dan semangatnya seperti kesehatan. Sementara keloyoan-nya merupakan penyakit. Maka mendidik tujuan ialah menjaganya dari sebab-sebab penyakit.
Sedangkan membantu tujuan agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu artinya membantu tujuan itu dengan penguasaan ilmu secara mendetail dan menghadapkan seluruh hati kepada Allah. Dengan kata lain, ilmu ini menuntut hamba untuk beramal, yang dilandasi ketaatan, suka rela, mengharapkan pahala dan takut akan siksa.