Ini yang sejak dulu menjadi perdebatan, tentang perayaan tahun baru Hijriyah. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, perayaan semacam ini sudah biasa dan sudah menjadi program nasional. Ada yang mengisinya dengan semacam tabligh akbar, ada juga dengan pawai keliling kampung yang biasanya dilakukan oleh anak-anak kecil sambil bawa obor sambil berpakaian layaknya kiyai.
Kalau mereka ditanya kenapa melakukannya? Yang masyhur sekali dari jawaban-jawabannya ialah bahwa ini (yang mereka lakukan) adalah bentuk dari pengagungan syiar-syiar Allah swt. Kita tahu bahwa sayyidina Umar merumuskan tahun Hijriyah dari semangat hijrah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam setelah kaum muslim membaiat beliau shallallahu alaihi wasallam.
Jadi tahun baru Hijriyah ini bukan sekedar ganti kalender, tap justru ada semangat hijrah Nabi dan para sahabat yang terkandung di dalamnya. Dan itu semua adalah bagian dari syiar-syiar agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu tumbuh ketaqwaan hati (seorang hamba)” (Q.S. al-Hajj 32)
Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa ada kelompok muslim lain yang menginkari perayaan-perayaan semacam ini. Mereka melihat bahwa melakukan perayaan tersebut apapun bentuknya termasuk dari menga-ngada dalam syariah yang sejatinya syariah tidak mencontohkan itu.
Toh sejak kalender Hijriyah diresmikan, para sahabat yang merupakan generasi terbaik tidak pernah melakukan perayaan jika masuk awal tahun baru. Ada juga dari mereka yang mengatakan perayaan twrsebut adalah bid’ah yang jelas keharamannya. Apalagi dalam Islam itu hari raya itu hanya 2; Idul Fithri dan Idul Adha. Tidak ada yang ketiganya, apalagi keempat dan seterusnya.
Mereka yang merayakan berkilah, bahwa mereka meyakini itu bukan hari raya tapi ini adalah momen yang mengandung syiar AllahSubhanahu wa Ta’ala yang sebagai seorang muslim hendaknya menghormati dan mengagungkannya.
Sebodoh apapun orang muslim, mereka semua meyakini bahwa yang namanya hari raya Islam adalah hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, 2 itu saja. Mereka tidak meyakini tahun baru Hijriyah itu sebagai hari raya, mereka hanya memperingati momen bersejarah ini, tidak sampai tertancap dalam diri dengan keyakinan bahwa itu adalah hari raya. Tidak ada.
Tapi apapun itu, perbedaan semacam ini sudah ada sejak lama, yang sekarang mesti dilakukan bukanlah memperuncing perbedaan itu semua yang sama sekali tidak ada manfaat dan hanya buang-buang energi. Yang mesti dilakukan sekarang ialah saling menghormati saja satu dan lainnya.
Bagi yang merayakan hendaknya mengsji perayaannya dengan sesuatu yang positif bukan hura-hura serta kemaksiatan. Kalaupun diisi dengan acara tabligh akbar, hendaknya penceramah membakar semangat audiens dengan sangat hijrahnya Nabi dan para sahabat bukan malah mengisi dengan hujatan dan provokasi kepada mereka yang tidak merayakan.
Yang melarang perayaan ini pula mestinya berbesar hati dan berlapang dada kalau ada yang merayakan. Jangan sampai ada hujatan dan hinaan serta julukan-julukan yang tidam semestinya keluar dari mulut seorang muslim. Saling menjaga keharmonisan tentu akan jauh lebih baik. Memperuncing perbedaan tidak akan membuat masalah itu selesai.
Lebaran Anak Yatim
Ini juga masalah klasik yang hampir setiap tahun pasti diperbincangkan. Ada yang menentang, dan tidak sedikit yang memang melestarikan tradisi ini.
Kalau Indonesia memang ramai budaya seperti ini, hampir setiap masjid serta majlis taklim mengadakan perayaan tahun baru Islam, disertai di dalamnya acara santunan anak yatim karena memang bulan muharram, tepatnya tanggal 10 adalah “lebarannya anak yatim.”
Tradisi ini muncul karena memang banyak hadits-hadits yang dikenal oleh orang kebanyakan perihal fadhilah menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram. Karena banyaknya yang menyantuni, seakan tanggal 10 muharram ini jadi bulan “untung”-nya anak yatim sehingga banyak orang menyebutnya “lebaran”, mengingat makna lebaran adalah hari bersenang-senang. Begitu juga di tanggal ini, anak yatim sedang senang-senangnya karena banyak yang sayang.
Diantara hadits-hadits tersebut ialah:
وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
“Siapa orang yang menyusap kepala anak yatim (menyantuni/menyayangi) pada hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajatnya sebanyak rambut anak yatim tersebut yang terusap oleh tangannya”. (hadits ke 212 dari kitab Tanbih al-Ghafilin)
Sayangnya memang hadits-hadits tentang keutamaan menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram itu kesemuanya dalam status yang dhaif alias lemah atau tidak shahih. Sehingga ini yang menjadikan beberapa kelompok Islam lainnya mengharamkan praktek ini.
Bahkan mereka mengatakan itu adalah sebuah bid’ah, yaitu perkara yang mengada-ada dalam agama yang agama sendiri tidak memberikan tuntunan untuk itu. Bagi mereka, menyantuni anak yatim itu ibadah yang tidak boleh dikhususkan pada waktu-waktu tertentu saja, akan tetapi itu adalah pekerjaan sepanjang masa yang tak bisa diidentikan dengan waktu tertentu.
Tapi, mereka yang melakukan pun sejatinya tahu bahwa itu adalah hadits-hadits dhaif, dan mereka tetap melakukannya dengan alasan yang kita tidak bisa katakana itu argument yang ngasal.
Mereka mengatakan memang benar hadits itu dhaif, tapi apakah mengamalkan hadits dhaif itu mutlak diharamkan? Nyatanya ulama jumhur membolehkan mengamalkan hadits dhaif dengan beberapa syarat tentunya.
Imam al-Nawawi menyebutkan dalam kitabnya al-Azkar (hal. 8):
قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً
“Para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih mengatakan: boleh dan disukai mengamalkan hadits dhaif dalam perkara fadhail a’mal, targhib (memotivasi) serta tarhiib (memberikan peringatan) selama haditsnya tidak maudhu’ (palsu)”.
Toh, walaupun itu hadits dhaif, tapi ada hadits lain yang menaunginya secara umum, yaitu hadits keutamaan menyantuni anak yatim secara umum tanpa mengkhsuskan hari. Artinya praktek santunan anak yatim di hari asyura dinaungi oleh hadits umum tersebut.
Dan ulama jumhur pun membolehkan mengamalkan hadits dhaif –selain yang disebutkan Imam Nawawi- selama memang ada hadits shahih yang menaunginya walaupun secara umum. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, yang dikutip oleh sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakafuri dalam kitabnya Mir’atul-Mashabiih syarh Misykatil-Mashaabiih (1/396) tentang mengamalkan hadits dhaif.
Jangan Marahin Ibadahnya, Tapi Tambahin Ilmunya
Intinya ialah kedua belah pihak harus saling memahami, yang menolak melakukan tradisi ini paham bahwa mereka yang melakukan sejatinya tidak ngasal. Yang mengamalkan pun tidak perlu membenci yang menolak.
Menyantuni anak yatim itu pekerjaan mulia, kenapa harus ditentang? Kalau memang cara mengkhususkan harinya yang ditentang, maka “jangan marahin ibadahnya, tapi tambahin ilmunya”. Tambahin ilmunya tentang hadits-hadits shahih yang mungkin mereka tidak tahu.
Wallahu a’lam.
Ustadz Zarkasih Ahmad, Lc.