Takdir Dan Keniscayaan

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, telah meninggal dunia, bibi ana yang rumahnya di Cirebon (rumah tempat qt sebelum ke stasiun) jam 20 td. Mohon doanya akhi.”

Sesaat setelah membaca sms di atas, teringat memori satu bulan yang lalu. Malam itu saya dan salah seorang teman yang menjadi sahabat seperjuangan di kampus Ali Wardhana selama 3 tahun, berencana silaturahim ke sebuah pedesaan di Purworejo. Sembari menunggu keberangkatan kereta, kami mampir ke rumah bibi sahabat saya tadi.

Terletak di jalur strategis kota Cirebon, tidak susah menemukan rumah beliau. Bagus dan tertata, itu kesan pertama yang terlintas di benak saya ketika melihat rumah itu. Sebuah masjid jami’ berdiri kokoh di depan halaman rumah bibi itu. Tak lama menunggu, muncul seorang wanita paruh baya membukakan pintu rumahnya. Beliau menyambut kami dengan sangat ramah dan mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya.

Sebelum masuk ke ruang tamu, kami harus melewatisebuah ruangan yang di gunakan bibi tadi untuk menjalankan usahanya, sebuah warung yang menjajakan aneka camilan dan kebutuhan sehari-hari. Bersih dan rapi. Sesampainya di ruang tamu, Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun menyambut kedatangan kami dengan sangat antusias. Di ruang keluarga ada perempuan berusia sekitar 14 tahun yang menjaga adiknya yang belum genap berusia satu tahun.

Suami bibi tadi telah meninggal beberapa waktu yang lalu akibat sebuah penyakit.
Sejak itu beliau membesarkan dan merawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri. Beliau harus menjaga anak-anaknya hingga mereka mampu hidup mandiri.. Namun tadi malam, tepat pukul 20.00, bibi teman saya tadi, meninggal dunia. Terpikir oleh diri ini, bagaimana nasib dari ketiga anak tadi. Sejak tadi malam,

Tidak ada lagi pelukan hangat dari Bunda.
Tidak ada lagi sentuhan lembut dari sang Ibu.
Tidak ada lagi pengorbanan sebesar dan se ikhlas Ibunya.
Tidak ada lagi yang mendoakan setulus ibunda.
Tidak ada lagi yang meneteskan Air mata di malam hari untuk mereka.

Kini mereka harus hidup sendiri, tanpa kehadiran kedua orang tuanya, mereka kini menjadi yatim piatu. Teruntuk saudaraku yang orang tuanya masih hidup, anda sangat beruntung, maka berikanlah yang terbaik untuk mereka, jangan kecewakan mereka. Saat ini mungkin orang tua anda sedang bersimpuh di hadapan Alloh, Robbul izzati, mendoakan kebaikan bagi anda, anaknya. Saat ini mungkin beliau sedang berlapar-lapar di saat kita kekenyangan. Beliau mengorbankan segalanya demi anaknya, agar mereka berkecukupan. Saudaraku, doakan mereka, doakan kebaikan untuk mereka, doakan kesehatan untuk mereka, dan memohonlah kepada Alloh agar mereka selalu dalam penjagaan-Nya.

“Robbighfirli wali walidaiyya warham humaa kama robbayaa ni soghiro”.